Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Akal-akalan Pemerintah, Peras Uang Rakyat dengan Dalih Bangun Rumah untuk Rakyat
3 Juli 2024 16:32 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ananda Hilma Azizah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini akan berlaku bagi seluruh tenaga kerja di Indonesia, termasuk mereka yang bekerja di sektor swasta. Sebagaimana dijelaskan pada pasal 7 PP Tapera yang merinci kriteria peserta Tapera, program ini tidak hanya ditujukan untuk ASN saja, namun juga untuk pekerja lainnya yang menerima gaji. Kemudian dijelaskan lebih rinci pada pasal 5 PP Tapera, bahwa setiap pekerja yang berusia minimal 20 tahun atau sudah menikah dan memiliki pendapatan setidaknya sebesar upah minimum, diwajibkan untuk menjadi peserta Tapera.
ADVERTISEMENT
Menurut pemerintah, dana Tapera ini nantinya akan digunakan untuk membiayai penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Aturan terbaru juga menjelaskan bahwa hanya peserta Tapera yang berpenghasilan maksimum Rp 8–10 juta di Papua, yang bisa mendapatkan bantuan kredit, selebihnya tidak. Namun akan dijanjikan dengan imbalan tertentu ketika pensiun.
Kebijakan tersebut tentu banyak menuai kritik dari kalangan masyarakat, baik kalangan pengusaha maupun pekerja. Banyak pekerja yang juga mengaku mereka bukan hanya sebatas ogah untuk dipotong gajinya sebesar 3%, tetapi mereka juga tidak yakin bisa memiliki rumah dari iuran Tapera ini.
Pernyataan tersebut diakui juga oleh Presiden Partai Buruh dan KSPI Said Iqbal, yang berpendapat bahwa iuran Tapera sebesar 3% tidak mencukupi untuk membeli rumah oleh buruh saat pensiun atau di PHK. Dengan upah rata-rata Rp 3,5 juta per bulan, iuran tersebut hanya menghasilkan Rp 105.000 per bulan atau Rp 1.260.000 per tahun.
ADVERTISEMENT
Jika dihitung, dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan uang yang terkumpul sekitar Rp 12.600.000 sampai Rp 25.200.000. jumlah tersebut dinilai tidak akan mencukupi untuk membeli rumah, sekalipun ditambahkan dengan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera. “Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah," begitu kata Said Iqbal.
Pernyataan tersebut juga dikuatkan oleh Ekonom sekaligus Direktur Center of Economicand Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, yang menilai bahwa Tapera belum tentu menjadi upaya untuk mendapatkan perumahan yang layak sebab potongan upah 3% bahkan tak cukup untuk membayar uang muka rumah yang dibutuhkan masyarakat.
Pihak pengusaha juga banyak yang tidak setuju dengan pemaksaan PP Tapera ini, salah satunya Shinta Kamdani, Ketua Umum APINDO. Shinta menyebutkan bahwa perusahaan sendiri sudah banyak memiliki tanggungan, mulai dari jaminan tenaga kerja, jaminan kematian, pensiun jaminan sosial kesehatan dan lainnya. Shinta menilai bahwa seharusnya iuran tersebut bersifat sukarela bukan wajib, oleh karenanya Shinta meminta pemerintah untuk merevisi aturan tersebut.
ADVERTISEMENT
Penetapan PP Tapera ini mesti dipertimbangkan kembali oleh pemerintah. Segala aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat perlu didengar. Kebijakan yang minim sosialisasi ini terkesan seperti memeras uang rakyat dengan dalih membangun rumah untuk rakyat. Terlebih tidak semua peserta Tapera bisa mendapatkan manfaat atau benefit yang sama.
Sebab untuk mendapatkan pembiayaan perumahan, peserta Tapera harus memenuhi beberapa persyaratan yang sudah ditetapkan dalam PP Tapera Pasal 28 yang berbunyi: Untuk mendapatkan pembiayaan perumahan, peserta harus memenuhi persyaratan: 1) mempunyai masa kepesertaan paling singkat 12 bulan 2) termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah 3) belum memiliki rumah 4) menggunakannya untuk pembiayaan pemilikan rumah pertama, pembangunan rumah pertama, atau perbaikan rumah pertama.
Tak hanya itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga pernah mengungkap sejumlah permasalahan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), mulai dari data ganda hingga uang peserta Rp 567 miliar tak dicairkan. BPK menemukan peserta sebanyak 124.960 orang belum menerima pengembalian sebesar Rp 567,45 miliar dan peserta pensiun ganda sebanyak 40.266 orang sebesar Rp 130,25 miliar.
ADVERTISEMENT
Permasalah tersebut tidak bisa dianggap remeh sebab ini merupakan kunci untuk membangun masyarakat yang sejauh ini telah terkikis oleh isu korupsi yang merajalela. Sudah seharusnya pemerintah memperlihatkan komitmen yang kuat dalam mengelola dana ini secara transparan.
Pastikan bahwa tata kelola dana Tapera diperkuat dengan melibatkan aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Keterlibatan lembaga-lembaga independen ini akan membantu menjaga akuntabilitas dan mencegah potensi penyalahgunaan dana yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat.