Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Filsafat Utilitarianisme Menakar Pemangkasan Eselon PNS
17 Desember 2020 6:46 WIB
Tulisan dari Ananda Putri Sujatmiko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Setiap kali saya mendengar pidato politik para pemimpin kita, saya ngeri karena selama bertahun-tahun tidak mendengar apa pun yang manusiawi.”
ADVERTISEMENT
Kegelisahan itu dituliskan Albert Camus, penerima nobel kesusastraan tahun 1957 dalam catatan perjalanannya yang berjudul “Notebooks 1935-1942”. Camus terkesan mencemooh, tapi tidak juga salah.
Pemerintah kerap mendapat panggung karena kebijakan publik yang dihasilkan dianggap tidak “bijak” dalam “kebijakan”. Begitupun dengan saat ini. Arahan Presiden pada pidato 20 Oktober 2019 untuk melakukan penyederhanaan birokrasi menjadi dua level dengan mengalihkan jabatan struktural menjadi Jabatan Fungsional (JF) berbasis kehahlian masih dipandang skeptis oleh para PNS.
Tidak dipungkiri bahwa birokrasi bekerja dalam mesin demokrasi yang dinamis. Pemerintah dihadapkan pada satu kaki ingin menciptakan birokrasi yang agile, efisien, serta menjadikan PNS lebih berkeahlian, namun satu kaki lagi dinilai mencelakakan PNS misalnya dari aspek karir dan psikologi.
ADVERTISEMENT
Padahal secara etimologi, “kebijakan” bukan lahir dari terjemahan wisdom (kebijaksanaan) dalam bahasa Inggris, melainkan policy yang dari bahasa Latin politia (negara, administrasi publik) dan bahasa Yunani yaitu politeia (administrasi, pemerintah) dan politēs (warga negara). Konstruksi kebahasaan ini berimplikasi pada etik kebijakan publik yang menjadi ruang kontestasi atas corak seperti apa yang ingin dihadirkan oleh pembuat kebijakan dalam proses administratif dan politis untuk mengatur warga negaranya.
Etika Kebijakan
Trade-off dalam kebijakan merupakan sifat lahiriah, yakni di mana satu pihak diuntungkan sedang yang lain dirugikan. Namun, terdapat nilai universal kebijakan yaitu ketika kebijakan dinilai secara etik maka berpihak pada kepentingan publik (dalam hal ini publik masyarakat dan publik aparatur negara).
Jeremy Bentham meneguhkan prinsip the greatest happiness of the grateat number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari sebanyak-banyaknya orang). Dalam konteks kenegaraan, Bentham berpendapat bahwa setiap produk hukum harus bertujuan memberikan sebesar-besarnya manfaat kepada sebanyak-banyaknya manusia.
ADVERTISEMENT
Utilitarianisme: Kebermanfaatan Besar dalam Penyederhanaan Birokrasi
[1] What is Good?
Pertanyaan ini dijawab Bentham dengan pisau analisis hedonisme yang berpandangan bahwa yang baik adalah kesenangan. Apapun adalah berharga jika menghasilkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Bercermin dari konsep tersebut, pemerintah memapankan proses penyederhanaan dengan tidak mengurangi penghasilan bagi PNS yang dialihkan. Upaya ini dilakukan dengan melekatkan fungsi manajerial dengan tambahan angka kredit 25% pada jabatan struktural yang dialihkan. Bahkan, terdapat beberapa jabatan struktural yang ketika dialihkan menjadi JF justru surplus penghasilan, seperti JF Analis Kebijakan, Peneliti, Perencana, Analis Pengelolaan Keuangan APBN, dan Analis SDM Aparatur.
Meskipun demikian, terdapat pula jabatan struktural yang penghasilannya berkurang terutama karena perbedaan jenjang, misalnya pengalihan JF jenjang Muda dan jenjang Madya. Namun perbaikan struktur penggajian PNS saat ini memang masih digodok agar dapat menyelaraskan antara menantangnya proses reformasi birokrasi dengan insentif yang diterima bagi aparatur.
ADVERTISEMENT
[2] Whose well-being?
Maksimalisasi kesejahteraan diarahkan pada kelompok, yang dalam kacamata penyederhanaan birokrasi yaitu kelompok masyarakat umum maupun masyarakat PNS. Per tanggal 4 Desember 2020, terdapat 70 Kementerian/Lembaga selesai melakukan peneyderhanaan birokrasi dari eselon III hingga eselon V, dengan total menghapuskan 37.132 struktur. Kebijakan yang dikawal Wakil Presiden melalui Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional ini ditujukan agar birokrasi lebih cepat dalam pengambilan keputusan dan tata kelola pelayanan masyarakat, hingga terciptanya budaya kerja yang responsif.
Memang tujuan tersebut tidak dirasakan satu-dua tahun. Karena hingga artikel ini ditulis, masih banyak K/L/D yang belum mengusulkan penyederhanaan birokrasi. Beberapa inisiatif pengaturan saat ini pun sedang disusun sebagai stimulus, seperti peraturan yang mengatur tentang penyetaraan penghasilan, mekanisme tata kerja, mekanisme inpassing, dan optimalisasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) untuk mendukung sistem kerja baru.
ADVERTISEMENT
Ketika proses penyederhanaan birorkasi ini selesai, kita patut berharap PNS sudah menjadi kelompok pakar yang profesional agar dapat memberikan pelayanan terbaik. Kondisi ini akan menjadi pengungkit penyelesaian prioritas kerja Presiden dalam pembangunan sumber daya manusia. Dengan kata lain, para utilitarianis dapat menilai ini sebagai sebuah kebaikan yang berlaku untuk semua.
[3] Foreseeable consequences
J.J.C.Smart (1973) mengilustrasikannya dengan menyelamatkan Adolf Hitler yang tenggelam tahun 1937. Dalam konsekuensi aktual, upaya tersebut adalah benar. Namun ternyata, membiarkan Hitler tenggelam tepat untuk dilakukan karena akan menyelamatkan banyak manusia dari kematian dan kesengsaraan pada tahun 1938 hingga 1945.
Dalam penyederhanaan birokrasi, bagi pemerintah sendiri proses ini tidaklah mudah. Konsekuensi aktualnya yaitu penyesuaian penambahan beban anggaran, perlu disusun berbagai infrastruktur regulasi percepatan penyederhanaan birorkasi, bahkan hingga kekhawatiran para PNS tidak dapat berkembang dalam karir fungsional yang baru.
ADVERTISEMENT
Selama ini, publik berpendapat PNS adalah jabatan paling “nyaman” karena malas kerja tetap dapat naik pangkat. Oleh Weber kondisi ini disebut sebagai officaldom (kerajaan pejabat). Tak peduli mau lamban atau korup, masyarakat tetap bergantung pada negara. Namun melalui penyederhanaan birokrasi, konsekuensinya adalah aparatur didorong berkinerja tinggi dengan mengumpulkan angka kredit agar dapat naik pangkat.
Para pimpinan instansi perlu berkomitmen untuk mengkasentuasi kebijakan ini. Beberapa langkah yang perlu dilakukan yaitu secara teliti mengidentifikasi jabatan struktural mana yang dapat dan tidak dapat dialihkan berdasarkan kriteria SE Menteri PANRB tentang Langkah Strategis dan Konkret Penyederhanaan Birorkrasi. Selain itu, pimpinan instansi juga perlu terus-menerus memberikan advokasi kepada PNS-nya bahwa proses ini memang tidak mudah, namun perlu bergandengan dilakukan demi perbaikan sistem. Para instansi pembina JF pun perlu juga mengevaluasi kebijakan pengembangan karir bagi JF yang dibinanya.
ADVERTISEMENT
Reformasi Birokrasi Sama dengan Memperbaiki Pesawat yang Sedang Terbang
Dalam rapat koordinasi penyederhanaan birokrasi pada Januari 2020, Prof Eko Prasodjo mengingatkan mereformasi birokrasi perlu dilakukan hati-hati. Beliau mengatakan reformasi dilakukan seperti memperbaiki pesawat yang sedang terbang: memperbaiki mesin pesawat tanpa menyebabkan pesawatnya jatuh atau oleng.
Berbagai kegelisahan bahkan dari para PNS sendiri tak elak bermunculan dalam ruang-ruang diskusi. Atas pertimbangan administratif, teknokratis, maupun politis, pemerintah perlu fokus pada percepatan penyusunan kebijakan. Terlihat rumit memang, namun reformasi birokrasi terus berjalan. Tidak ada yang diuntungkan dari birokrasi yang berbelit dan lamban, kecuali oknum yang enggan bertransformasi menjadi lebih baik.
Ya, birokrasi memang entitas yang sangat dinamis atas kompleksitas kebutuhannya. Terakhir, izinkan saya menutup tulisan ini dengan kembali mengutip sepotong tulisan dari Albert Camus dalam Notebooks 1942-1951: “Pemenuhan apapun adalah perbudakan. Mereka mewajibkan untuk pemenuhan yang lebih tinggi lagi.”
ADVERTISEMENT