Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Aturan soal Hak Angket KPK yang Diketok Fahri
28 April 2017 16:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Pimpinan sidang paripurna DPR akhirnya mengesahkan usulan hak angket KPK dalam rapat yang digelar Jumat (28/4). Keputusan Fahri Hamzah selaku pimpinan sidang menuai polemik karena dianggap tidak mengakomodir suara mayoritas fraksi yang sebenarnya menolak usulan hak angket KPK.
ADVERTISEMENT
Hingga pengesahan hak angket, pimpinan sidang tidak pernah membuka ke publik berapa jumlah anggota yang sudah meneken hak angket. Padahal, agar hak angket bisa ditindaklanjuti ada persyaratan jumlah anggota yang harus dipenuhi. Bagaimana persyaratan hak angket?
Berdasarkan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Menurut Pasal 77 ayat 3, definisi hak angket adalah:
Pasal 77:
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Prasyarat serta mekanisme hak angket sendiri juga diatur dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pengaturan mekanisme hak angket diatur di dalam Pasal 177 mengenai hak angket. Sesuai pasal tersebut, hak angket harus diusulkan oleh minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.
Berikut petikan Pasal 177 yang mengatur syarat pengusulan hak angket:
Pasal 177
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
(2) Pengusulan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan
ADVERTISEMENT
b. alasan penyelidikan.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat 3 Pasal 177, usulan itu menjadi hak angket jika mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR. Keputusan juga harus diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir di dalam paripurna.
Dalam kasus rapat paripurna pagi tadi, terdapat 283 anggota dari 560 anggota. Artinya secara jumlah anggota sudah terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Setelah pengesahan, DPR kemudian membentuk panitia angket atau yang disebut panitia khusus (pansus) yang terdiri dari atas semua unsur fraksi DPR. Hal ini diatur dalam Pasal 178 ayat 2.
Panitia angket kemudian melakukan penyelidikan tentang isu yang diajukan. Mereka dapat meminta keterangan dari pemerintah, saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya.
Fraksi yang menolak usulan hak angket KPK mengancam tidak akan mengirimkan perwakilan di pansus. Dengan begitu, maka pansus hak angket KPK tidak bisa menunaikan tugasnya.
Lalu, apa yang terjadi setelah panitia angket meminta keterangan dari pemerintah dan pihak-pihak terkait? Sesuai pasal 181, panitia angket melaporkan pada rapat paripurna DPR mengenai temuannya. Mereka diberi waktu paling lama 60 hari sejak dibentuknya panitia angket.
ADVERTISEMENT
Berikut petikan pasalnya:
Pasal 181
(1) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.
(2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket.
Lalu, keputusan apakah hak angket diteruskan atau tidak berada pada rapat paripurna. Menurut Pasal 182 UU MD3, jika rapat paripurna setuju bahwa kebijakan pemerintah bertentangan dengan aturan undang-undang, maka DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat. Jika tidak, usulan hak angket akan gugur.
Hak menyatakan pendapat merupakan rekomendasi dari pansus yang menyelidiki proses pemeriksaan terhadap Miryam S. Haryani.
Berikut petikan Pasal 182 UU MD3:
Pasal 182
(1) Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat.
ADVERTISEMENT
(2) Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut tidak dapat diajukan kembali.
(3) Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Wacana usulan hak angket bergulir dari kasus megaproyek e-KTP yang merugikan negara hampir Rp 2,3 triliun. Kasus ini menyeret banyak anggota DPR, salah satunya anggota Fraksi Hanura, Miryam S Haryani. Miryam sudah dipanggil bersaksi dalam sidang kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam kesaksiannya, Miryam menyebut diancam oleh penyidik KPK agar menyebut anggota DPR yang terlibat. Namun penyidik KPK Novel Baswedan, justru mengungkap Miryamlah yang diancam rekan-rekan anggota Komisi III agar tak menyebut nama-nama anggota DPR yang terlibat kasus e-KTP.