Konten dari Pengguna

Optimalisasi Potensi Fiskal dengan Teknik Amati, Tiru, Modifikasi (ATM)

Ananda Wigneswara
PNS di Direktorat Jenderal Pajak
3 Februari 2025 19:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ananda Wigneswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelabuhan menjadi katalis ekonomi yang penting bagi wilayah yang unggul secara lokasi. Sumber: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Pelabuhan menjadi katalis ekonomi yang penting bagi wilayah yang unggul secara lokasi. Sumber: Pexels.com
ADVERTISEMENT
Sejak 1 Januari 2011, pemerintah pusat memberlakukan desentralisasi fiskal. Tujuannya agar pemerintah daerah (pemda) lebih optimal dalam mengembangkan potensi wilayahnya. Agar masing-masing pemda tidak terlalu timpang, ditetapkanlah dua opsi pendanaan utama: (i) Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan (ii) Transfer ke Daerah dan Desa (TKDD). Sesuai namanya, TKDD adalah subsidi silang dari pusat untuk membantu pemda yang PAD-nya masih rendah.
ADVERTISEMENT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata optimal berarti (ter)baik, tertinggi, atau paling menguntungkan. Sebagai sumber pendanaan, PAD dapat disebut berperan optimal jika nilainya cukup untuk membiayai belanja. Pada Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) terbitan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), istilah optimal diganti dengan “mandiri”. Ya, mandiri dari subsidi pusat.
Bagi Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, rendahnya rerata skor IKF nasional sudah menjadi isu menahun yang “dimaklumi”. Bak memberi gincu pada babi, upaya eksternal (modernisasi administrasi pajak pemda, revisi undang-undang dsb.) akan sia-sia selama kapasitas ekonomi daerahnya memang rendah. Otonomi daerah telah berjalan selama lebih dari dua dekade; pemda-pemda lawas seharusnya sudah cukup matang untuk mengatasi masalah ini.
Skor Indeks Kemandirian Fiskal Pemerintah Kabupaten/Kota (diolah penulis dari Data BPK, 2021)
Berdasarkan laporan BPK (2021), hanya 3 dari 470 pemda tingkat kabupaten/kota yang memperoleh predikat mandiri pada 2020: (i) Surabaya, (ii) Badung, dan (iii) Tangerang Selatan. Ketiganya mengungguli 99 persen pemda lain secara signifikan. Bagaimana bisa? Mari kita ulas.
ADVERTISEMENT
Kabupaten Badung
Pemda Badung berdiri pada tahun 1958. Sejak lebih dari satu dasawarsa lalu, perekonomian wilayah seluas 420 kilometer persegi itu telah didominasi oleh sektor pariwisata dan pergudangan. Selaras, data 2019 s.d. 2023 menunjukkan penerimaan PBJT (pajak yang berasal dari jasa perhotelan, restoran, hiburan, dsb.) yang sangat besar; mencapai + 69 persen dari total penerimaan pajaknya.
PDRB ADHB Kabupaten Badung per Klasifikasi Lapangan Usaha (diolah penulis dari data BPS)
Sebagai warga lokal, Penulis setuju jika pariwisata di Badung disebut “meledak” sejak tahun 2013-an. Dalam waktu kurang dari lima tahun, wilayah persawahan seperti Canggu dan Munggu pun berubah menjadi hotel, villa, dan restoran. Industri pariwisata menyerap tenaga kerja dan meningkatkan mobilitas internasional sehingga mampu mengangkat ekonomi masyarakat dengan sangat cepat. Kesuksesan ini diperoleh diperoleh dengan pondasi yang sangat kokoh: (i) reputasi dan (ii) aksesibilitas.
ADVERTISEMENT
Badung Selatan memiliki berbagai spot selancar kelas dunia yang memang sudah beken sejak 1980-an. Keindahan ombak maupun suasana Kuta, Uluwatu, Balangan, dan Seminyak disebut-sebut menandingi Hawaii dan Maldives. Lokasinya sangat mudah dijangkau wisatawan; hanya tujuh jam penerbangan dari Sydney atau satu hingga satu setengah hari penerbangan dari Eropa; dan sangat dekat dari Bandara Ngurah Rai. Selain itu, pasokan logistik lancar dan relatif murah sebab dekat dengan pusat perdagangan seperti Surabaya. Dipadu dengan budaya dan sopan-santun masyarakatnya, kesuksesan pariwisata di Badung memang hanya masalah waktu.
Refleksi Potensi Pariwisata
Masih banyak objek-objek wisata potensial lainnya di luar Bali. Sebagai contoh, Penulis pernah berkunjung ke Pantai Nemberala, Loedi, dan Bo’a di Pulau Rote. Jujur saja, semuanya tidak kalah cantik dibanding pantai-pantai di Bali. Isu utama pariwisata pulau tersebut (berdasarkan pengamatan Penulis) adalah aksesibilitas. Ironisnya, keunggulan kompetitifnya milik pulau tersebut juga masih seputaran akses. Ya, kedekatan jaraknya dengan Australia.
ADVERTISEMENT
Aksesibilitas dapat meningkat jika pulau tersebut memiliki bandara internasional dan jalur penerbangan khusus. Masalahnya, pemerintah pusat hanya akan memberikan kemewahan tersebut apabila reputasi wilayahnya sudah cukup kuat. Terlebih dahulu pemda setempat harus membenahi isu menahun seperti kelangkaan BBM, pemadaman listrik, monopoli jalur logistik, dan jalan berlubang/putus. Pemda juga perlu memastikan bahwa pendidikan formal dapat diakses seluruh kawula mudanya. Tanpa hal tersebutpun, sudah banyak wisatawan yang jatuh cinta dan berani berinvestasi di Rote; Pembaca bisa bayangkan potensi maksimum pariwisata di ujung selatan Indonesia tersebut.
Kota Surabaya
Selanjutnya adalah Kota Surabaya. Pemda Surabaya didirikan pada tahun 1950. Sejak lebih dari satu dasawarsa lalu, perekonomian pada wilayah seluas 336 kilometer persegi itu telah didominasi oleh sektor perdagangan serta industri pengolahan. Data 2019 s.d. 2023 menunjukkan penerimaan per jenis pajak yang merata (sangat tipikal perkotaan): Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB P2) sebesar + 34 persen, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar + 31 persen, dan PBJT sebesar + 32 persen.
PDRB ADHB Kota Surabaya per Klasifikasi Lapangan Usaha (diolah penulis dari data BPS)
Surabaya telah menjadi kota pelabuhan sejak abad ke-14. Pada era kolonial, VOC menjadikannya sebagai salah satu pusat perdagangan utama di Hindia Belanda, dengan aktivitas utama berupa ekspor-impor komoditas seperti gula, kopi, dan rempah-rempah. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Surabaya menjadi kota industri dan pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, bersaing dengan Batavia (Jakarta) dan Semarang. Setelah kemerdekaan Indonesia pun, Surabaya tetap menjadi pusat ekonomi penting dengan Pelabuhan Tanjung Perak sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di Indonesia. Kota ini juga berkembang sebagai pusat industri, jasa, dan perdagangan yang menghubungkan kawasan timur Indonesia dengan pasar global.
ADVERTISEMENT
Menguasai jalur perdagangan adalah cara paling ampuh untuk meningkatkan ekonomi daerah. Sektor jasa di Singapura mampu berkembang pesat sebab menjadi hub perdagangan global. Hegemoni jalur perdagangan sifatnya dinamis; ada masa ketika jalur yang sama dikuasai oleh Malaka dan Palembang. Kembali ke Surabaya, ia pun baru menjadi kota pelabuhan dominan sejak era kolonial. Jika Pelabuhan Tanjung Perak dan infrastruktur penunjangnya tidak dibangun, pasar dan pusat grosir tidak dimodernisasi, angka kriminalitas tinggi, pergeseran hegemoni sangat mungkin terjadi.
Refleksi Potensi Pelabuhan
Beberapa wilayah lain memiliki potensi serupa. Kota Makassar misalnya. Posisi kota tersebut sangat strategis untuk menjadi pusat pelabuhan Indonesia timur. Selain itu, wilayahnya juga kaya dengan sumber daya alam berharga seperti emas dan minyak bumi. Tetapi, tingkat perekonomiannya masih sangat jomplang. IKF-nya apalagi, hanya 0,09 dan masih di bawah rerata nasional. Isu mendasar yang harus dibenahi adalah kualitas infrastruktur dan konektivitas regional.
Perbandingan PDRB ADHB Kota Makassar dan Kota Surabaya (diolah penulis dari data BPS)
Pada tahun 2024, pemerintah pusat telah merampungkan proyek Pelabuhan Makassar New Port (MNP). Dengan lapangan kontainer berkapasitas 2,5 juta TEUs, MNP menjadi pelabuhan terbesar kedua di Indonesia setelah Tanjung Perak. Sebagai pusat logistik modern, ia dirancang untuk mempercepat arus perdagangan dan meningkatkan daya saing regional timur. Konektivitas darat telah dibangun, yaitu melalui KA Trans-Sulawesi dan Proyek Tol Mamminasata. Ibarat membangun rumah, pondasi dan kolom-kolomnya sudah hampir rampung. Membangun dinding (kualitas penegakan hukum) dan atap (kualitas SDM lokal) adalah PR bagi Pemda Makassar.
ADVERTISEMENT
Simpulan
Terdapat benang merah pada kesuksesan ekonomi pemda-pemda tersebut: (i) punya keunggulan kompetitif, (ii) terus mengembangkan kualitas infrastruktur, dan (iii) mengelola SDM. Ada daerah yang berkembang karena intervensi politis pemerintah pusat, ada pula yang berkembang secara organik; hal ini tetap saja tidak elok untuk dijadikan alasan. Setiap daerah dibekali TKDD oleh pusat, maka gunakan dana tersebut untuk proyek-proyek yang dapat memajukan ekonomi wilayah. Nantinya, kapasitas fiskal daerah juga akan berkembang secara bertahap.
Terakhir, penulis mengutip kata-kata dari Lee Kuan Yew, Founding Father Singapura yang sepertinya cocok untuk memotivasi pemda-pemda dalam mengembangkan perekonomiannya. “The world does not owe us a living. We cannot live by the begging bowl.”