Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fear Into Peace, Melawan Rasa Takut dalam Hubungan dengan Mindfulness
9 Desember 2024 11:43 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ananda Sakha Haura tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketakutan kehilangan seseorang yang disayang adalah emosi yang sering muncul bagi kita saat menjalin hubungan, baik itu dalam hubungan romantis, keluarga, maupun pertemanan. Ketakutan ini seringkali mempengaruhi seseorang dalam menjalin hubungan sosialnya, seperti perilaku terlalu bergantung (attachment behavior), dan mencari kepastian yang berlebihan. Dalam hal ini perilaku yang didorong rasa sayang ataupun ketakutan akan hilang justru dapat merusak hubungan karena menimbulkan tekanan emosional untuk diri sendiri, maupun orang lain.
ADVERTISEMENT
Rasa sayang yang kita rasakan seringkali bersifat subjektif, terikat pada harapan dan kebutuhan kita terhadap orang lain. Pada akhirnya hal ini membuat kita terlalu bergantung, mengemis kepastian, menaruh ekspektasi berlebih, dan mengalami ketakutan besar akan kehilangan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Mindfulness adalah salah satu praktik meditasi yang dapat membantu mengurangi kecemasan dalam hubungan interpersonal, salah satunya adalah perilaku begging atau ketergantungan karena takut kehilangan atau sesuatu buruk akan terjadi. Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kita mengupas dan memahami filosofi Mindfulness terlebih dahulu.
Menurut Kabat Zinn, Mindfulness adalah kemampuan untuk hadir sepenuhnya dalam momen saat ini yang sedang terjadi, tanpa menilai atau berusaha mengubah pengalaman apapun yang muncul. Hal ini berarti, setiap pikiran, perasaan, atau sensasi yang dirasakan kita terima apa adanya tanpa ada analisis atau penilaian berlebihan.
ADVERTISEMENT
Dalam fondasi filosofi Mindfulness, kita diajak untuk mendekatkan diri pada realita atau “experience reality as it is”, ketika kita memilih untuk hidup sebagai makhluk hidup di dunia, maka realita konsekuensi yang akan terjadi di masa depan adalah akan menua, sakit, atau kematian. Terlihat menyeramkan dan penuh penderitaan, namun mendekatkan diri dan sadar dengan ‘realita’ yang akan terjadi membuat kita cepat bangkit dan pulih.
Pada dasarnya manusia memang cenderung untuk menendang jauh pengalaman yang tidak mengenakan, dan menarik hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya. Hal ini membuat kita semakin takut berhadapan dengan sesuatu yang dirasa tidak enak, dan ingin secara terus-menerus merasakan kesenangan dari suatu pengalaman. Manusia juga seringkali untuk mengandai-ngandai dan menilai pengalaman bahkan saat pengalaman itu belum terjadi saat ini (delusi). Mindfulness mencoba untuk menekan hal tersebut agar kita sadar penuh, hadir utuh, dan dekat pada realita hidup.
ADVERTISEMENT
Jika kita tarik dalam konteks awal, keputusan kita untuk menjalin hubungan dengan seseorang saja sudah memiliki realita konsekuensi yang akan datang, entah perpisahan dan kematian (hal yang sudah menjadi realita dalam hidup).
Mindfulness bukan berarti tidak boleh merasakan sedih akan kehilangan orang yang kita sayang, namun mendekatkan kita akan kesadaran dan hadir utuh dari setiap pengalaman yang kita alami termasuk sedih. Tidak melihat ‘seperti apa itu pengalamannya’ apapun itu diterima, tidak mencoba mengubahnya, dan dirasakan secara apa adanya karena hal yang terjadi saat ini adalah realitanya.
Dalam hubungan kita seringkali terbawa oleh pikiran apa yang bisa terjadi di masa depan. Cobalah fokus apa yang terjadi saat ini, hadir sepenuhnya pada saat ini, tanpa harus terlalu khawatir apa yang akan terjadi di masa depan. Karena apa yang terjadi adalah konsekuensi dari apa yang kita lakukan.
ADVERTISEMENT
Ketika muncul ketakutan atau kecemasan dalam hubungan, cobalah untuk menerima pikiran tersebut sebagai sesuatu yang hanya ‘terjadi’ tanpa menilai. Misalnya, gunakan kalimat “Saya merasa takut sekarang” dibandingkan dengan “Saya adalah orang yang takut”. Brown & Ryan (2003) menjelaskan bahwa mengamati pikiran tanpa menilai membantu individu untuk memisahkan diri dari pikiran, sehingga mengurangi kecemasan yang dipicu oleh ketakutan.
Namun, Mindfulness bukan berarti hanya menerima kenyataan tanpa tindakan, tetapi juga membawa kesadaran penuh terhadap respons yang kita berikan. Selain menerima, Mindfulness membuat kita tetap responsif, bijaksana, dan tidak terjebak pada pola reaktif yang dapat memperburuk situasi hubungan kita. Menurut Brach (2003), penerimaan tidak berarti kita harus membiarkan diri kita terus-menerus terluka, tetapi mendorong kita untuk bertindak secara konstruktif atau mengambil tindakan yang memang diperlukan.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, Mindfulness mengajak kita untuk memahami bahwa dalam setiap hubungan, ketakutan dan kecemasan yang muncul dapat berisiko memicu perilaku bergantung yang berlebihan. Kita dapat hadir sepenuhnya dalam setiap momen, menerima kenyataan apa adanya tanpa penilaian berlebihan, dan merespons dengan bijaksana. Bukan hanya kesadaran untuk menerima segala sesuatu, tetapi juga kesadaran untuk bertindak secara konstruktif dan memahami realitas hidup yang tak terhindarkan, seperti kematian dan perpisahan dalam hubungan. Dengan Mindfulness, kita dapat mengurangi kecemasan yang berlebihan, melihat hubungan dengan lebih jelas, dan merespons dengan kedamaian yang berasal dari penerimaan.
ADVERTISEMENT