Konflik Israel-Palestina dalam Teori Poskolonialisme: Perspektif Orientalisme

Anandya Wisam Anggara
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI
Konten dari Pengguna
7 April 2024 12:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anandya Wisam Anggara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 7 Oktober 2023, konflik antara Palestina dan Israel kembali mencuat ke permukaan dengan kekerasan yang mengguncang wilayah Gaza. Sejarah yang panjang dan rumit dari konflik ini telah menjadi fokus perhatian dunia, namun dalam kerangka teori poskolonialisme, khususnya melalui lensa orientalisme yang diperkenalkan oleh Edward Said, konflik ini mengungkapkan dinamika yang lebih dalam dari dominasi dan perlawanan.
ADVERTISEMENT

Sejarah Panggung Konflik: Dari Nakba hingga Perang Gaza

Untuk memahami esensi konflik ini, kita perlu melihat ke belakang sejarahnya, khususnya ke periode Nakba pada tahun 1948 ketika ratusan ribu warga Palestina terusir dari tanah mereka oleh pendirian negara Israel. Nakba, atau "bencana" dalam bahasa Arab, bukan hanya sekadar sebuah peristiwa, tetapi merupakan simbol dari penindasan kolonial yang berkepanjangan.
Konflik berlanjut dengan serangkaian perang, okupasi, dan ekspansi pemukiman Israel, yang semakin merenggut hak-hak dan identitas Palestina. Konsekuensinya adalah penderitaan yang berkepanjangan bagi rakyat Palestina, terutama yang tinggal di Gaza yang terjebak dalam blokade dan serangan yang terus-menerus.

Perspektif Orientalisme dalam Konteks Konflik

Pendekatan Orientalisme, yang diperkenalkan oleh Edward Said dalam karyanya yang terkenal, mengungkap bagaimana Barat memandang Timur, khususnya dunia Arab, sebagai "lain", eksotis, sensual, misterius, dan inferior. Orientalisme menciptakan narasi yang membenarkan dominasi kolonial, dengan menggambarkan orang-orang Timur sebagai primitif, tidak beradab, dan layak untuk diperintah.
ADVERTISEMENT
Kata 'orientalisme' telah menjadi bagian dari bahasa akademis dan menjadi konsep kunci dalam teori poskolonialisme. Orientalisme menyoroti struktur mendasar kekuasaan, pengetahuan, hegemoni, budaya, dan imperialisme yang secara historis tertanam dalam apa yang disebut Said sebagai “wacana kolonial,” yaitu sebuah wacana yang menampilkan Timur sebagai “Yang Lain”.
Dalam konteks konflik Israel-Palestina, orientalisme hadir dalam banyak bentuk. Israel, didukung oleh Barat, terus-menerus menggambarkan dirinya sebagai 'pahlawan yang berjuang melawan teroris', sementara memandang rakyat Palestina sebagai ancaman yang perlu ditundukkan. Israel diberikan legitimasi atas dasar klaim sejarah dan agama yang mendukung dominasi mereka atas tanah Palestina. Dalam narasi ini, rakyat Palestina sering kali diabaikan atau dianggap sebagai penghalang bagi perdamaian, tanpa memperhitungkan pengalaman mereka sebagai korban kolonialisme dan pendudukan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Media Barat sering kali memperkuat narasi ini, menempatkan Israel sebagai subjek yang beradab dan berhak atas pertahanan diri, sementara merendahkan pengalaman dan perjuangan rakyat Palestina. Sebagai akibatnya, orientalisme tidak hanya memengaruhi persepsi Barat terhadap konflik tersebut, tetapi juga berkontribusi pada pembenaran terhadap kebijakan dan tindakan yang merugikan rakyat Palestina.

Implikasi Teori Poskolonialisme

Teori poskolonialisme adalah aliran pemikiran kontemporer yang dianggap sebagai alat intelektual untuk penelitian dan kritik akademis. Teori poskolonialisme digunakan di antara dan lintas disiplin ilmu sebagai alat penting untuk mendekonstruksi lapisan, struktur, dan bentuk yang mendasari yang tertanam dalam masa lalu kolonial dan masa kini pasca-kolonial.
Teori poskolonialisme menyelidiki dampak penaklukan Eropa terhadap negara-negara jajahan dan mempelajari respons dan diskursus dalam perlawanan mereka terhadap perampasan budaya dan dominasi imperialisme. Poskolonialisme tidak hanya berarti “setelah berakhirnya kolonialisme” tetapi juga “setelah era kolonialisme dimulai”.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif poskolonialisme, konflik Israel-Palestina adalah contoh klasik dari konsekuensi kolonialisme yang berkelanjutan. Dalam pemahaman poskolonial, penindasan tidak berakhir dengan penarikan pasukan kolonial, tetapi berlanjut dalam bentuk-bentuk baru, seperti okupasi militer dan dominasi politik.
Teori poskolonialisme juga menyoroti pentingnya memahami narasi alternatif dan memberikan suara kepada yang terpinggirkan. Dalam konteks konflik ini, hal ini berarti mendengarkan pengalaman dan aspirasi rakyat Palestina, yang sering kali diabaikan atau direduksi menjadi stereotip oleh Barat.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Menghadapi konflik yang tampaknya tak kunjung berakhir, penting bagi masyarakat internasional untuk memperdalam pemahaman mereka tentang dinamika yang berlangsung. Ini melibatkan mengakui peran orientalisme dalam memperkuat ketidaksetaraan dan kekerasan yang terjadi, serta komitmen untuk mendukung hak-hak dasar rakyat Palestina.
ADVERTISEMENT
Harapan terbesar terletak pada kemampuan kita untuk melampaui narasi-narasi kolonial yang membagi-bagi dan menindas, dan untuk membangun di alog yang inklusif dan adil. Hanya dengan pengakuan atas kesetaraan dan martabat semua pihak, kita dapat berharap untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan di wilayah yang disengketakan ini.
Dengan memahami konflik Israel-Palestina melalui lensa teori poskolonialisme, khususnya dalam konteks orientalisme, kita dapat mengungkap dinamika kekuasaan yang tersembunyi dan membangun landasan yang lebih kuat untuk rekonsiliasi dan perdamaian yang berkelanjutan. Langkah-langkah ini mungkin kecil, tetapi sangat penting dalam perjalanan menuju keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik ini.
Referensi
Burney, S. (2012). Orientalism: The Making of the Other. Counterpoints, 417(PEDAGOGY of the Other: Edward Said, Postcolonial Theory, and Strategies for Critique), 23-39.
ADVERTISEMENT
Burney, S. (2012). Edward Said and Postcolonial Theory: Disjunctured Identities and the Subaltern Voice. Counterpoints, 417(PEDAGOGY of the Other: Edward Said, Postcolonial Theory, and Strategies for Critique), 41-60.
Said, E. W. (1979). Orientalism. New York: Vintage Books A Division of Random House.