Konten dari Pengguna

Mengembalikan Kedaulatan Rakyat pada Pemilu 2024

Anang Dony Irawan
Pengajar UMSurabaya
31 Desember 2021 17:23 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anang Dony Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan Umum merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983). Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, pelaksanaan Pemilihan Umum 2019 dan Pemilihan Umum selanjutnya menjadi berbeda dari Pemilihan Umum sebelumnya, dimana Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak. Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilihan Umum anggota DPR sebelumnya (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 9).
ADVERTISEMENT
Pembatasan pengajuan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden melalui presidential threshold oleh Partai Politik telah membatasi pula rakyat untuk mengajukan calon pemimpinnya yang dikehendaki. Walau penentuan ambang batas Presiden tidak diatur dalam konstitusi, Indonesia merujuk pada prinsip demokrasi dan konstitusional dalam praktek ketatanegaraan. Pemilih menggunakan hak pilih setelah datanya masuk dalam data pemilih yang dikelola oleh Komisi Pemilihan Umum. Penentuan ambang batas Presiden berdasarkan hasil suara yang diperoleh partai politik peserta Pemilihan Umum yang tentu tidak lepas dari akurasi data pengguna hak pilih. Partai Politik sebagai wujud keterwakilan partisipasi rakyat, diharapkan melakukan fungsi keseimbangan dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Fungsi keseimbangan itu diwujudkan dengan check and balance, yaitu keseimbangan antara eksekutif dan legislatif.
ADVERTISEMENT

Perwujudan Demokrasi di Indonesia Melalui Pemilihan Umum

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi keterwakilan telah membuat suatu aturan bahwa dalam upaya mewujudkan negara yang demokratis, maka dilakukanlah proses pemilihan umum yang diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali sesuai amanat konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem politik demokrasi. Oleh karena itu tujuan dari adanya pemilihan umum adalah untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi dengan cara memilih wakil rakyat di Badan Perwakilan Rakyat, dalam rangka mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan (Heru Cipto Handoyo, 2003). Paling tidak, pemilihan umum lahir dari konsepsi dan gagasan besar Demokrasi yang berarti merujuk John Locke dan Rousseau, keterjaminan kebebasan, keadilan dan kesetaraan bagi individu dalam segala bidang. Dalam demokrasi, ada nilai-nilai partisipatif dan kedaulatan yang dijunjung tinggi dan harus dijalankan oleh warga negara dan instrumen negara baik pada level legislatif, yudikatif maupun eksekutif (Farahdiba Rahma Bachtiar, 2014). Adanya partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Umum sangatlah diperlukan, mengingat masyarakat mempunyai hak pilih yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Hak pilih diberikan kepada setiap warganegara yang dijamin oleh Undang-Undang. Hak ini merupakan hak konstitusional setiap warganegara yang telah memenuhi syarat untuk kemudian namanya masuk dalam Daftar Pemilih. Dalam hal menyusun Daftar Pemilih, penyelenggara Pemilihan Umum melakukan beberapa tahapan pemutakhiran data pemilih dengan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk menghasilkan data yang akurat dan berkualitas. Dari data pemilih yang akurat dan berkualitas inilah diharapkan bisa terwujud pemilihan umum di Indonesia yang lebih baik, adil dan berintegritas. Keterlibatan rakyat dalam proses Pemilihan Umum merupakan hak dasar politik yang dijamin konstitusi.
Hak untuk turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hak untuk ikut serta dalam pemerintahan secara langsung misalnya, hak untuk dipilih menjadi anggota lembaga politik, yaitu lembaga perwakilan rakyat dan anggota kabinet, hak untuk menjadi kepala pemerintahan dan kepala daerah. Adapun hak untuk ikut serta dalam pemerintahan secara tidak langsung adalah hak untuk memilih anggota lembaga perwakilan dan memilih kepala daerah dan memilih kepala negara di negara republik (Peter Mahmud Marzuki, 2013). Prinsip-prinsip demokrasi yang diletakkan oleh Rousseau (Hasanuddin AF, et.al, 2004) adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Rakyat adalah berdaulat, artinya bahwa rakyat mempunyai kekuasaan yang tertinggi dalam negara. Oleh karena prinsip ini merupakan demokrasi berarti rakyat memerintah dirinya sendiri. Disini rakyat adalah bawahan sekaligus atasan;
2. Tiap-tiap orang harus dihormati menurut martabatnya sebagai manusia. Karena hal itu merupakan hak untuk bereksistensi dari setiap manusia sehingga wajib dijamin; dan
3. Tiap-tiap warganegara berhak untuk ikut membangun hidup bersama dalam negara, yaitu mempunyai hak-hak publik. Hak-hak publik manusia hanya dapat dihilangkan apabila norma-norma kehidupan masyarakat dilanggar olehnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang putusannya bersifat final. Putusan itu menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum tahun 2019 dan Pemilihan Umum seterusnya dilaksanakan secara serentak. Penyelenggaraan Pemilihan Umum serentak tentu akan membawa dampak politik, baik secara nasional maupun daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi tentu membawa dampak dan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia dalam memperbaiki sistem Pemilihan Umum yang lebih baik. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui bagaimana penentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Pemilihan Umum serentak 2019 dan Pemilihan Umum selanjutnya sebagai upaya mewujudkan pemilih yang berdaulat.
ADVERTISEMENT
Pemilihan Umum sebagai amanat konstitusi yang dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali adalah wujud suatu cita bernegara. Indonesia sebagai Negara Hukum yang selama ini telah ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945, mempunyai konsekuensi dimana setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat Negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Bahkan, ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat Negara maupun penduduk (Ni’matul Huda, 2015).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Merubah Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia

Dimulai dari Pemilihan Umum tahun 2019 yang dilaksanakan berbeda dengan Pemilihan Umum sebelum-sebelumnya, Pemilihan Umum tahun 1955 hingga Pemilihan Umum tahun 1999. Dimana Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.[Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen Pasal 1 ayat (2)] Dan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.[Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen Pasal 6 ayat (2)]
ADVERTISEMENT
Dalam proses seperti ini ada hak subjektif sekelompok pemilih yang lebih besar atau lebih kecil, yaitu apa yang disebut hak pilih, dan ada hak subjektif sedikit orang yang dipilih, yaitu hak menjadi anggota parlemen, hak untuk bersama-sama berbicara dan memutuskan di parlemen. Semua hak ini adalah hak politik.[Hans Kelsen, 2010]
Sejak Pemilihan Umum 2004, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu pasangan.[Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia hasil amandemen ke 3 Pasal 6A ayat (1)] Payung hukum yang digunakan atas pelaksanaan amanat konstitusi adalah terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai sarana peaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden (Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 1 angka 2).
ADVERTISEMENT
Melalui Undang-Undang tersebut untuk pertama kalinya dalam hal pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden ditentukan melalui ambang batas. Pasangan calon hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilihan Umum anggota DPR.[Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Pasal 5 ayat (4)] Untuk pertama kalinya sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat di Pemilihan Umum tahun 2004.
Meski tidak seluruhnya, logika ini berlaku juga ketika Pemilihan Umum legislatif dijadikan persyaratan untuk pilpres di Indonesia. Hanya saja, dalam sistem parlementer murni, partai atau gabungan partai mencalonkan dan memilih eksekutif (Perdana Menteri), sedangkan dalam sistem Indonesia sampai 2014, partai atau gabungan partai, karena hasil tertentu dari Pemilihan Umum legislatif, mencalonkan eksekutif (Presiden), lalu mempersilahkan rakyat untuk memilih. Ini artinya, pemberian mandat dari rakyat kepada Presiden tidak bersifat langsung, tetapi melalui pemberian mandat terlebih dulu kepada legislatif (isi legislatif adalah Partai Politik) baru dari rakyat.
ADVERTISEMENT
Penentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Umum serentak 2019 dan Pemilihan Umum selanjutnya berdasarkan perolehan kursi atau perolehan suara sah nasional partai politik hasil Pemilihan Umum Legislatif tidaklah relevan. Hal ini jelas menutup keinginan rakyat untuk lebih banyak pilihan calon pemimpin Negara yang lebih baik. Apalagi partai-partai politik yang tidak mencukupi perolehan suara dan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat pada Pemilihan Umum Legislatif dan partai-partai politik baru juga tidak turut serta dapat mencalonkan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pada Pemilihan Umum Serentak 2024 nantinya.
Perlu dihapuskannya aturan hukum yang mengatur tentang syarat 20 % pengajuan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Umum Serentak di Indonesia bagi partai politik berdasarkan hasil Pemilihan Umum sebelumnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada istilah Demokrasi ”dikebiri”. Ketentuan berdasarkan Perolehan Suara dalam penentuan ambang batas Presiden selanjutnya dengan sistem Pemilihan Umum Serentak dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Eksekutif tahun 2024 dengan tujuan mengembalikan kedaulatan rakyat untuk memilih calon-calon pemimpinnya.
ADVERTISEMENT