Konten dari Pengguna

Jepang "Dijajah" Warga Asing

Anargya Mathari
Mahasiswa Studi Kejepangan, Universitas Airlangga.
1 April 2024 16:03 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anargya Mathari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shibuya crossing (shutterstock.com/marcociannarel/File)
zoom-in-whitePerbesar
Shibuya crossing (shutterstock.com/marcociannarel/File)
ADVERTISEMENT
Penduduk merupakan unsur penting dalam pembentukan negara. Tanpa adanya seseorang yang menghuni suatu wilayah, maka wilayah tersebut tidak dapat dikatakan sebagai negara. Jumlah penduduk suatu negara akan terus berkembang selama perkawinan dan kelahiran masih terjadi di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun tidak jarang terjadi bahwa suatu negara mengalami penurunan populasi yang diakibatkan oleh beberapa faktor. Seperti permasalahan yang terjadi di Negeri Matahari Terbit. Jepang merupakan salah satu negara dengan harapan hidup tertinggi di dunia, namun hal itu berbanding terbalik dengan fakta bahwa Jepang juga merupakan negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia. Saat ini Jepang sedang mengalami masa kritis terhadap penurunan populasi warga negaranya.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Kementrian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang (2023) menyebutkan bahwa populasi Jepang terus menurun secara signifikan hingga Desember 2022 hingga 0,56 persen. Bahkan, Jepang diprediksi akan terus mengalami penurunan populasi pada 2005 (Soumushou, Suzuki, 2007 : 5)

SHOUSHIKA

ilustrasi keluarga (nippon.com)
Dari permasalahan yang terjadi, lahirlah fenomena Shoushika. Shoushika berasal dari huruf kanji 「少」: sedikit「子」: anak「化」: perubahan. Sehingga Shoushika dapat didefinisikan sebagai perubahan jumlah kelahiran menjadi lebih sedikit dan jika hal ini terjadi terus-menerus maka akan mengakibatkan hilangnya populasi dari generasi muda.
ADVERTISEMENT
Berbagai cara telah ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah penurunan jumlah penduduk, namun semuanya mengalami kegagalan sehingga pemerintah perlu mencari kembali cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang sedang terjadi.

PENYEBAB DARI PENURUNAN POPULASI

ilustrasi Gempa Tohoku di Jepang, 2011 (grid.id)
Penurunan populasi di Jepang ini disebabkan oleh dua permasalahan yang besar yang terjadi di Jepang, yaitu pada masa Pasca Perang Dunia II dan terjadinya bencana alam yaitu Gempa Tohoku yang merupakan salah satu gempa terbesar yang terjadi di Jepang. Menurut Dosen Antropologi Kanazawa University, Prof Haruya Kagami pada saat Kuliah Umum di Universitas Hasanuddin, Ia menjelaskan bahwa penurunan populasi di Jepang pada masa pasca perang dunia ke II diakibatkan oleh tingginya angka kematian bayi yang baru lahir, hal ini disebabkan oleh lingkungan yang kotor.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, penurunan populasi Jepang juga diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi pada tahun 2011. Gempa yang terjadi di bagian utara pulau Honshu ini sekaligus menyebabkan tsunami setinggi 40 meter. Akibatnya, lebih dari 18.000 orang meninggal dan lebih dari 400.000 bangunan hancur.
Dilansir dari National Geographic (Oktober 19, 2023) menyatakan bahwa tidak hanya rumah, tempat usaha, dan akses jalan saja yang hancur, namun tsunami dengan ketinggian 40 meter itu juga menghancurkan tiga reaktor nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi dan menyebabkan bahan radioaktif yang beracun bocor ke atmosfer dan Samudera Pasifik. Dari kejadian ini, lebih dari 150.000 orang terpaksa mengungsi dari daerah tersebut dan mencari kembali tempat yang layak dihuni.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang menyebabkan kekosongan penduduk dalam suatu wilayah dan juga menyebabkan padatnya populasi di kota-kota besar. Hal ini sering kali menyebabkan masyarakat Jepang memiliki tingkat stress yang tinggi diakibatkan karena menghabiskan lebih banyak waktu dalam perjalanan kerja yang melelahkan. Dari kelelahan dalam bekerja itu dapat mempengaruhi seseorang dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, termasuk aktivitas seksual.
Selain dipengaruhi dari kelelahan dalam bekerja, penurunan aktivitas seksual juga dapat disebabkan oleh gaya hidup yang modern dan biaya hidup yang mahal. Di Jepang, laki-laki memiliki peran tradisional sebagai pencari nafkah, sedangkan perempuan tinggal di rumah untuk mengurus anak-anaknya. Namun di masa yang sekarang dimana biaya mengurus anak serta biaya untuk hidup sangat mahal, para perempuan biasanya akan memilih untuk bekerja daripada membangun keluarga dengan seseorang.
ADVERTISEMENT
Pernikahan Shinto di Jepang. (conasur.com)
Pernikahan di Jepang tetap banyak dilakukan, namun mereka juga memilih untuk menunda memiliki anak. Perempuan di Jepang berpikir jika ia menikah dan memiliki anak maka ia tidak akan mempunyai kesempatan untuk bekerja lagi karena waktunya akan dihabiskan untuk mengurus rumah dan anak. Hal itu menjadi penyebab beberapa perusahaan di Jepang biasanya mempekerjakan perempuan di posisi yang sementara dan gampang digantikan. Pihak perusahaan mengetahui bahwa saat perempuan Jepang menikah dan memiliki anak, mereka akan meninggalkan tempat kerja dan fokus mengurus rumah tangga.

RESESI SEKS

Survey pasutri yang melakukan hubungan intim (nippon.com)
Dengan apa yang terjadi di Jepang, munculah resesi seks, yaitu penurunan aktivitas seksual. Dalam survey terbaru di Jepang yang dilakukan oleh Riason d'Etre, 68% pasangan suami istri mengaku jarang melakukan hubungan intim sama sekali. Sehingga bisa disimpulkan bahwa lebih banyak pasutri yang memutuskan untuk menikah namun tidak ingin memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Fenomena resesi seks ini juga menyumbang angka yang tinggi dalam penurunan angka kelahiran per-tahunnya di Jepang. Dilansir dari detik.com menyatakan bahwa akibat dari resesi seks ini, Oji Nepia, brand popok bayi, mengumumkan akan beralih memproduksi popok dewasa. Hal ini diakibatkan karena angka kelahiran di Jepang yang kian merendah sehingga menyebabkan penjualan popok bayi menjadi menurun drastis.

UPAYA PEMERINTAH JEPANG

ilustrasi pemerintah Jepang (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Tentu saja pemerintah Jepang tidak akan tinggal diam melihat masalah ini terus menerus terjadi sepanjang tahunnya di Jepang, maka pemerintah Jepang melakukan beberapa cara untuk mengatasi penurunan populasi tersebut.
Dimulai dari program “Angel Plan” pada tahun 1994 yang mengharuskan pasangan yang sudah menikah untuk setidaknya memiliki 2 anak per rumah tangga. Pada tahun 1999, program ini mengalami perubahan. Pemerintah memberi penekanan lebih untuk mempermudah para pasangan dalam membesarkan anak-anaknya, yaitu dengan membangun lebih banyak pusat penitipan anak di dekat stasiun kereta. Namun “Angel Plan” gagal mencapai tujuannya.
ADVERTISEMENT
Namun pemerintah Jepang tidak menyerah, pada tahun 2002 muncul kembali program baru yang bernama “Plus One Plan”. Program ini bertujuan untuk mendorong setiap keluarga untuk meningkatkan jumlah anak yang mereka miliki sebanyak satu. Pemerintah juga berupaya agar program ini berhasil dengan menjadikan karier lebih sesuai dengan pengasuhan anak. Mereka berupaya mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk mengizinkan karyawan laki-laki mengambil cuti melahirkan untuk membantu istri di rumah mengurus anak.
Dilansir dari Japan Platform for Migrant Workers menyebutkan bahwa menurut Badan Pelayanan Imigrasi, jumlah warga asing yang tinggal di Jepang meningkat tiap tahunnya. Namun setelah tahun 2020, jumlahnya menurun karena adanya pembatasan masuk akibat virus Corona, tetapi kemudian terus meningkat sampai sekarang. Hal ini disebabkan karena penurunan angka kelahiran dan meningkatnya jumlah lansia, sehingga Jepang mengalami kekurangan tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Jepang menghadapi tantangan serius terkait penurunan populasi yang dipicu oleh faktor-faktor kompleks seperti rendahnya tingkat kelahiran, dampak pasca Perang Dunia II, dan bencana alam seperti Gempa Tohoku. Fenomena seperti Shoushika, resesi seks, dan perubahan dalam peran gender juga turut memengaruhi dinamika populasi.
Meskipun pemerintah telah mengimplementasikan beberapa program untuk merespons masalah ini, upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil, sehingga Jepang mulai mengandalkan tenaga kerja asing untuk mengisi kekosongan tenaga kerja yang semakin meningkat. Dengan demikian, penanganan masalah penurunan populasi Jepang memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan kebijakan demografi, perubahan sosial, dan manajemen tenaga kerja secara menyeluruh.