Buya Hamka dan Gen Z

Anas Roiyan
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seorang Aktivis Gen-Z Rabu Hijrah, juga seorang Financial Advisor dan Bibliophile yang sedang berkarya lewat tulisan.
Konten dari Pengguna
28 April 2023 8:43 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anas Roiyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dok pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dok pribadi
ADVERTISEMENT
Populasi anak muda mendominasi daripada kaum tua. Tentu menjadi peluang dan tantangan tersendiri bagi bangsa kita, kalau mampu untuk dioptimalkan tentu akan ada hasilnya, pun sebaliknya kalau tidak tentu akan ada dampak negatifnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data BPS 2020, tercatat bahwa populasi Gen Z di Indonesia sebesar 27,94 persen, lebih banyak dibanding Milenial, Gen X, bahkan juga dari Baby Boomer. Ini juga sebetulnya sejalan dengan hasil survei yang kerap dilakukan beberapa tahun terakhir, bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi.
Para ahli menyatakan bahwa Gen Z memiliki sifat dan karakteristik yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi ini dilabeli sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation). Ryan Jenkins (2017) dalam artikelnya berjudul “Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation” misalnya menyatakan bahwa Gen Z memiliki perbedaan dalam harapan, prefensi, perspektif kerja serta dinilai menantang bagi organisasi
Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka gunakan sama alaminya layaknya mereka bernapas.
ADVERTISEMENT
Namun selain punya karakter positif, Gen Z ini juga memiliki sisi negatif. Seperti misalnya menyukai hal yang instan, cenderung malas dan suka membandingkan, tentu ini tak lepas dari pengaruh kedekatan generasi ini dengan teknologi saat ini.
Dalam sejarah Indonesia, Negara kita mempunyai banyak pahlawan, bahkan beberapa di antaranya masih menjadi contoh tersendiri bagi kita hingga kini. Sebutlah misalnya Hamka, tokoh pahlawan dari Minangkabau ini tetap dielu-elukan hingga kini, karyanya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck maupun Tafsir Al-Azhar masih terus dibaca oleh banyak orang.
Baru-baru ini, dunia perfilman tanah air dihebohkan dengan rilisnya film Buya Hamka. Tak tanggung-tanggung, film ini dibuat menjadi tiga volume, dengan total waktu sebanyak 9 jam, dan dipenuhi oleh banyak aktor-aktris terkenal.
Fok: Dok pribadi
Bukan tanpa alasan kenapa akhirnya perjalanan hidupnya buya Hamka difilmkan, namun karena memang perjalanan hidup beliau patut untuk kita simak.
ADVERTISEMENT
Kalau menyebut kata Hamka, pasti yang terlintas di benak kita adalah sosok Ulama, penulis masterpiece Tafsir Al-Azhar, seorang Professor serta penerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir. Banyak prestasi yang diraih, banyak gelar kehormatan yang didapat, serta banyak karya yang dihasilkan, seolah hidup beliau ini selalu mulus-mulus saja.
Padahal kalau dibaca secara lengkap The history of Hamka, maka akan banyak kita temukan bahwa hidup Hamka itu penuh liku, penuh cobaan, tidak mulus-mulus saja seperti yang terlihat.
Dimulai dari masa kecil, Hamka kecil tidak tamat SD, namun gantinya ia bersekolah di surau, belajar ilmu syariah di Sumatera Thawalib, dididik oleh Buyanya, Haji Rasul. Hamka kecil bisa dibilang nakal, ia suka kabur dari sekolahnya di surau, pernah suatu hari ia bahkan tidak masuk selama 2 minggu dengan alasan sakit, sebelum akhirnya ketahuan Buyanya bahwa ia sebetulnya baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Tersebab tidak punya kertas ijazah, puluhan tahun berikutnya, saat hendak mendaftarkan diri menjadi salah seorang guru, ia ditolak. Menjadi nestapalah dia, dikiranya hanya dengan kemampuan dan ilmu yang dia miliki, keinginannya menjadi guru akan mudah, ternyata realitanya tidaklah demikian.
Selain itu, fakta yang mungkin jarang orang tahu adalah bahwa Hamka termasuk anak broken home. Awalnya keluarganya utuh, namun saat ia beranjak remaja, Haji Rasul dan Siti Safiyah, yaitu kedua orang tuanya, memutuskan bercerai.
Tentu ini menjadi kejadian yang menyakitkan buat Hamka yang sedang beranjak remaja. Ini juga yang membuat dia semakin tidak senang dengan buyanya, sebisa mungkin ia jarang pulang ke rumah, waktunya ia habiskan untuk bermain, membaca buku-buku sastra dan cerita kesukaannya, termasuk meminimalisasi pertemuannya dengan buyanya.
Foto First look film Buya Hamka. Foto: Dok. Falcon Pictures
Beranjak Dewasa, Hamka tumbuh seperti pemuda lainnya, mudah jatuh hati dengan para gadis, namun yang paling membekas di hatinya adalah senyuman dari gadis manis, sosok yang lebih muda darinya dua tahun. Gadis itu juga sudah dijodohkan orang tuanya, sedari kecil saat-saat ia belum mengerti.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan tersebut sudah menjadi hal lumrah di Minangkabau zaman itu. Namun apa mau dikata, saat sudah merencanakan akan menikahinya, ternyata gadis tersebut sudah dilamar orang. Sudah ditolak lamaran kerja, ia juga ditinggal nikah. Seperti kata peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Tak sampai di situ, cobaan hidupnya terus datang kepadanya, saat itu karena kedekatan beliau dengan penjajah, beliau dianggap berkhianat terhadap Indonesia, masa-masa itu memang sedang masa bergejolak, saat pergantian kekuasaan dari penjajahan Belanda ke Jepang, sebelum akhirnya Indonesia merdeka tahun 1945.
Untuk itu akhirnya Hamka diminta mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua Konsul Muhammadiyah di Medan. Bahkan pernah pula ia menerima surat kaleng yang isinya sumpah-serapah.
Sudah banyak cobaan dalam hidupnya Hamka, tapi mungkin yang paling besar adalah saat beliau di penjara. Di umur yang sudah tidak muda, beliau dijebloskan ke penjara karena terlalu tajam mengkritik pemerintah. Lewat tulisan tajam yang dirilisnya, di suatu pagi, setelah mengisi kajian di Masjid Al-Azhar, beliau didatangi polisi berpakaian preman di rumahnya, lantas ia digeledah dan ditangkap.
ADVERTISEMENT
Jadi, pribadi Hamka yang kita kenal saat ini, penuh dengan karya, penuh dengan penghargaan, bahkan walaupun tak tamat SD tapi digelari professor, tidaklah jadi secara instan. Harusnya cerita Hamka ini menjadi salah satu referensi Gen Z dalam menjalani Hidup; tidak mudah mengeluh, tidak mudah membandingkan, menjauhi hal-hal yang bersifat instan.
Ingatlah bahwa umur Gen Z saat ini masih terbilang muda, tak layak rasanya kalau sudah menganggap gagal hanya gara-gara tidak masuk kampus favorit, tak ingin lagi hidup hanya karena ditinggal nikah oleh sang pujaan, atau merasa minder karena tidak punya Iphone 14 agar bisa flexing di media sosial.
Beberapa hal dasar yang membuat Hamka terus menjadi primadona banyak orang, yang pertama adalah konsistensi. Sedari kecil, Hamka konsisten membaca dan menulis. Baru kemudian beranjak dewasa ia juga konsisten berbicara.
Foto First look film Buya Hamka. Foto: Dok. Falcon Pictures
Konsistensi itu berat, ia adalah habits, makanya kata James Clear agar lebih mudah konsisten, buatlah ia menjadi lebih kecil, atomic habits. 1 persen mungkin keliatan sedikit, tapi kalau kita mengerjakan suatu hal atau membangun kebiasaan dengan 1 persen setiap harinya, tanpa sadar kita sudah melakukan self improvement 365 persen dalam setahun.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan membaca dan menulis ini sudah dibangun Hamka sejak kecil, berawal dari buku-buku cerita yang ia baca maupun yang ia tulis, tapi karena aktivitas ini dilakukannya sepanjang hari, bertahap perubahan itu terlihat, buku dengan banyak genre ia lahap, tulisan dengan banyak jenis juga ia buat, sampai akhirnya lahirlah masterpiece nya Tafsir Al-Azhar.
Kedua, punya growth mindset, bukan fixed mindset. Sebab growth mindset itu adalah pola pikir yang membuat kita ingin selalu mengembangkan diri dan memiliki berbagai keterampilan baru.
Pola pikir seperti ini jugalah yang membuatnya terus bertumbuh, pola pikir ini jugalah yang membuatnya akhirnya memutuskan untuk merantau, karena baginya di perantauan, akan ada banyak hal baru yang ia temui, akan ada orang-orang yang lebih hebat yang bisa dia contoh. Terbukti, di perantauan, dia bertemu dengan Haji Agus Salim, bersahabat baik dengan Soekarno maupun Hatta, berdiskusi banyak dengan Muhammad Natsir dan masih banyak lainnya.
ADVERTISEMENT
Penolakan-penolakan yang kerap terjadi dalam hidupnya, secara tidak dasar juga mempengaruhi pola pikirnya, sebab dengan adanya penolakan itu, ia membuka mindset Hamka bahwa ia belumlah jadi hebat.
Ketiga, grit. Secara pengertian grit itu lebih dekat dengan padanan kata ketabahan/kegigihan. Disadur dari Angela Duckworth, seorang psikolog dan peneliti asal Amerika yang menyatakan bahwa kebanyakan orang-orang yang mempunyai grit adalah mereka yang menuai kesuksesan.
Apakah Hamka punya grit? Tentu. Terbukti sedari kecil ia gigih dengan hidupnya yang broken home, semasa dewasa dikucilkan dari Muhammadiyah Medan, di masa kemerdekaan, ia di sempat juga di penjara. Kalau tak punya grit, rasa-rasanya sudah lama Hamka frustrasi, atau bahkan bunuh diri.
Lebih lanjut kata Angela Duckwroth, untuk menguatkan grit di dalam diri kita, agar kita lebih gigih, adalah dengan menemukan hal yang kita senangi, yaitu passion. Sebab biasanya, mau sekeras dan sesulit apapun yang kita hadapi, kalau berhubungan dengan hal yang kita senangi, kita tetap akan mengerjakannya.
ADVERTISEMENT
Passion Hamka adalah membaca, menulis, berbicara sekaligus juga berdakwah, maka mau sekeras apapun rintanganya, tetap akan dia lakukan, sebab ia menyukainya. Gabungan dari konsistensi, growth mindset, dan grit akhirnya membentuk Hamka yang kita kenal seperti sekarang.
Untuk Gen-Z, cerita Hamka ini mungkin bisa menjadi inspirasi, bahwa apa yang datang atau didapatkan dengan mudah, tidak akan bertahan lama. Sebaliknya, apa yang bertahan lama tidak akan datang atau didapat dengan mudah. Semua butuh proses.