Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Impunitas Penegakan HAM pada Kasus Kesalahan Penembakan oleh Satgas Tinombala
5 Oktober 2022 18:44 WIB
Tulisan dari Cynthia Ardanentya,SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut sebagai HAM) merupakan hak fundamental yang dimiliki oleh setiap orang tanpa memandang etnis, gender, asal kebangsaan, agama, bahasa, atau status sosial. HAM mencakup hak sipil dan politik seperti hak hidup, kebebasan berekspresi dan hak sosial, budaya, dan ekonomi seperti hak atas pangan, hak untuk bekerja, dan hak untuk dipilih dan pemilih. Pada pelaksanaannya HAM dilindungi dan diatur oleh serangkaian sistem hukum internasional maupun nasional.
ADVERTISEMENT
Instrumen HAM paling dasar dalam hukum internasional terdapat dalam Pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1949 yang menyatakan bahwa “pengakuan terhadap martabat yang melekat dan.. Hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar dari kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia, …pengabdian dan ketidakpatuhan terhadap hak asasi manusia telah menghasilkan tindakan yang keji. Hak asasi manusia adalah penting agar manusia tidak mengambil jalan lain sebagai usaha terakhir untuk memberontak melawan kelaliman dan penindasan, sehingga hak asasi manusia harus dilindungi oleh aturan hukum”.
HAM dan hukum bekerja sangat erat dan tidak dapat dipisahkan sebagaimana hukum berfungsi sebagai pelindung HAM dan sebagai dasar berperilaku manusia. Semangat perlindungan HAM dalam ranah internasional kemudian diadopsi oleh Indonesia melalui Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang mencantumkan mengenai hak-hak dasar manusia.
ADVERTISEMENT
Namun pada pelaksanaannya, HAM tidak selalu sesuai dengan sistem hukum, seperti halnya pada kasus kesalahan penembakan di Poso. Pada bulan Juni 2020, dua orang petani bernama Syarifuddin dan Firman tewas ditembak Satuan Tugas (Satgas) Tinombala (yang saat ini telah berganti nama menjadi Operasi Mandago Raya ) di Poso pesisir utara yang dilakukan secara membabi buta. Peristiwa ini dimulai ketika kedua korban memasuki area KM 09 tetapi tidak melapor ke petugas pos sekat terlebih dahulu. Pos sekat ini merupakan zona merah atau daerah rawan munculnya gangguan keamanan yang timbul dari gencatan senjata kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (yang selanjutnya disebut “MIT”). Awalnya kelompok teroris ini didirikan tahun 2011 oleh Santoso yang menyatakan sumpah setia kepada negara Islam Irak dan Syam dan menganut ideologi gerakan radikal. Kelompok tersebut menebar teror pada masyarakat sekitar dan menyebabkan sejumlah korban jiwa dan membakar sejumlah bangunan salah satunya bangunan yang sering digunakan warga untuk tempat beribadah.
ADVERTISEMENT
Timbulnya ancaman teror dari kelompok tersebut membuat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis serta Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto membentuk Satgas Operasi Tinombala pada tahun 2016. Satgas tersebut untuk memberantas MIT hingga kelompok bersenjata tersebut dinyatakan habis atau tidak memiliki anggota jaringan lagi.
Peristiwa kesalahan penembakan yang dilakukan oleh Satgas Tinombala tidak hanya terjadi satu kali. Pada tahun 2016 Satgas Tinombala salah menembak sasaran salah seorang tim satgas 1 Intelijen Tinombala atas nama Serda Muhammad Ilman tewas di Desa Towu. Sebelumnya pada 9 April, Satgas Tinombala melakukan penganiayaan dan penembakan pada seorang warga sipil yang meminta minum di kediaman salah satu warga tanpa melakukan pemeriksaan identitas terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Atas kasus kesalahan penembakan yang telah beberapa kali dilakukan oleh Satgas Tinombala, perlu diteliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum berbasis HAM dalam proses kesalahan penembakan oleh Satgas Tinombala dan faktor yang mempengaruhi penerapan HAM dalam operasi Satgas Tinombala.
Penegakan hukum berbasis HAM dalam Operasi Tinombala
Kesalahan penembakan yang telah beberapa kali dilakukan membuat kinerja satgas tersebut seakan tidak berlandaskan HAM. Penegakan HAM seharusnya dilakukan sesuai Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
Secara khusus, Pasal 3 Ketentuan Berperilaku bagi Petugas Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials) menyatakan petugas penegak hukum seharusnya menggunakan kekerasan dan senjata api hanya ketika benar-benar diperlukan dan dibutuhkan dalam menjalankan tugasnya.
ADVERTISEMENT
Penembakan warga sipil secara membabi buta membuat Satgas Tinombala tidak menerapkan prinsip-prinsip dasar penegakan hukum yaitu nesesitas dan proporsionalitas. Nesesitas sebagai sebuah keadaan yang mengharuskan anggota Satgas Tinombala menghadapi keadaan terpaksa yang tidak dapat dihindarkan atau dielakkan tidak tercipta secara utuh. Penggunaan kekerasan dan senjata api seharusnya menjadi satu-satunya tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran yang diharapkan, sedangkan proporsionalitas berarti penggunaan senjata api hanya diterapkan jika berhadapan dengan keadaan:
Akan tetapi sangat sulit menyatakan bahwa perbuatan Satgas Tinombala merupakan pelanggaran HAM sebab perbuatan mereka dilindungi oleh hukum atas surat tugas yang sah sesuai Pasal 50 KUHP bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan, tidak boleh dihukum. Pihak Polri menjelaskan bahwa Satgas Tinombala telah bertindak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penugasan yaitu memberi peringatan terlebih dahulu untuk meminta tidak bergerak dan melarikan diri, namun peringatan tersebut justru tidak dihiraukan. Petugas telah memberikan tembakan peringatan tetapi justru kedua warga petani tersebut melarikan diri dan membuat petugas melepaskan tembakan dan membuat kedua warga tersebut meninggal.
ADVERTISEMENT
Polri telah melakukan investigasi dan pemeriksaan secara internal terhadap 12 anggota dan satu tim yang bertugas pada saat itu. Pemeriksaan internal itu dilindungi oleh Pasal 13 ayat (5) Peraturan Kepala Polisi Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian bahwa aparat kepolisian yang saat itu sedang bertugas harus terlebih dahulu diperiksa secara internal oleh tim investigasi. Pelaksanaan investigasi yang dilakukan secara internal membuat mereka tidak dapat serta merta diadili melalui Peradilan Umum yang sesuai kerangka hukum pidana. Masyarakat umum juga tidak dapat mengetahui hasil maupun sanksi yang dikenakan oleh yang dikenakan pada pelaku kesalahan penembakan.
Lebih lanjut, Polri menyatakan bahwa keluarga korban telah membuat surat pernyataan yang dibuat tanpa paksaan berharap bahwa anggota Satgas Tinombala yang terbukti melakukan kesalahan penembakan tidak dipecat dari institusi kepolisian namun dipersilakan jika diberikan tindakan atau sanksi. Pengampunan hukum oleh keluarga korban atas pelanggaran HAM inilah yang kemudian disebut sebagai impunitas. Impunitas ini dipahami sebagai tindakan yang mengabaikan tindakan hukum yang melanggar hak asasi manusia, atau diterjemahkan sebagai “absence of punishment”. Sebuah proses dimana setiap individu luput dari berbagai bentuk penghukuman terhadap berbagai tindakan ilegal maupun kriminal yang pernah mereka lakukan. Inilah problematika HAM yang dihadapi oleh masyarakat Poso, impunitas terhadap oknum kepolisian dan militer.
ADVERTISEMENT
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan HAM oleh Satgas Tinombala
Penegakan hukum yang dilakukan oleh Satgas Tinombala belum sesuai dengan prinsip-prinsip dasar HAM, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
ADVERTISEMENT
Penegakan HAM dalam Operasi Satgas Tinombala memang jauh dari sempurna, sejumlah korban warga sipil berjatuhan demi menumpas aksi terorisme yang tersebar di daerah Poso. Pengaturan internasional maupun nasional seharusnya tetap diterapkan dalam setiap tindakan militer yang diambil demi terciptanya kepastian hukum.
HAM harus dimaknai bukan sebagai penghalang pekerjaan penegak hukum tetapi sebagai sebuah sarana untuk melindungi masyarakat dan membawa institusi menjadi lebih baik. Tidak hanya warga sipil tetapi juga aparat penegak hukum perlu memperkaya pengetahuan mengenai instrumen hukum dan HAM untuk meningkatkan penegakan hukum yang baik.