Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Meninjau Kembali Kebijakan Luar Negeri Bebas Aktif di Bawah Prabowo Subianto
6 Januari 2025 10:25 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Anastasia Febiola S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia tampaknya telah memasuki era baru dalam politik luar negerinya di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo telah terlibat di luar negeri dengan para pemimpin asing, menjadi salah satu presiden Indonesia pertama yang memanfaatkan momentum selama masa transisi untuk memperkuat hubungan dengan mitra. Hal ini tidak mengherankan karena Prabowo selalu menunjukkan minat yang besar terhadap hubungan luar negeri dan telah menjadi praktisi diplomasi pertahanan selama masa jabatannya sebagai Menteri Pertahanan. Bahkan selama kampanye Pilpres, Prabowo menggarisbawahi dalam debat dan pernyataannya tentang pentingnya politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif serta komitmen nusantara untuk melanjutkan sikap ‘many friends, zero enemies’ yang telah menjadi ciri khas Indonesia selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Menariknya, jika Prabowo telah menunjukkan sikap yang lebih aktif terhadap politik luar negeri, hal itu dilihat sebagai pendekatan yang pragmatis oleh sebagian ahli dan pengamat. Ada yang menjelaskan bahwa sikap seperti itu dapat menjelaskan spektrum luas dari sikap yang diambil oleh Prabowo dan tim kebijakan luar negerinya terkait berbagai isu strategis. Kebijakan luar negeri yang pragmatis ini misalnya tercermin dalam destinasi kunjungan resmi Prabowo ke Beijing dan Washington DC sebelum menghadiri forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Lima, Peru, dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil. Perlu dicatat bahwa selama G20, Prabowo menekankan dua aspek yang dapat menjadi sorotan tren kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinannya, dengan fokus pada ketahanan pangan dan energi, serta seruan gencatan senjata di Gaza dan Ukraina demi stabilitas regional dan perdamaian dunia.
ADVERTISEMENT
Apa pun itu, di luar kebijakan luar negeri yang lebih dari sekadar ramah dan aktif ini, lingkungan keamanan global terus berkembang, dan meningkatnya risiko serta ketegangan pasti dapat memengaruhi Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan aktif tersebut juga harus mempertimbangkan beberapa faktor yang seharusnya membentuk sikap Jakarta di tingkat regional dan global. Salah satu faktor pertama ialah hasil pemilihan presiden AS dan dampaknya terhadap hubungan bilateral Amerika Serikat–Indonesia. Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih kemungkinan akan menciptakan kembali kondisi yang sama dengan periode 2017-2021 di mana Indonesia tidak menjadi bagian dari prioritas Washington dalam strategi Free and Open Indo-Pacific (FOIP) nya, khususnya di sektor ekonomi. Sementara para ahli berpendapat bahwa dunia kemungkinan akan menyaksikan strategi ‘America First’ yang diperbarui, kebijakan M. Trump di tengah persaingan AS-Tiongkok kemungkinan akan memengaruhi hubungan Jakarta-Washington di masa mendatang, terutama mengingat kedekatan Indonesia dengan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, komitmen Prabowo untuk terus memperkuat kemitraan AS-Indonesia selama masa jabatannya dapat menjadi tantangan mengingat hubungan yang sedang berlangsung antara Jakarta dan Beijing mungkin baru-baru ini melampaui pertimbangan ekonomi setelah Pernyataan Bersama tanggal 9 November, yang dapat menyiratkan bahwa Indonesia mengakui klaim yang tumpang tindih dengan Tiongkok di Laut Cina Selatan, dimana hal itu bertentangan dengan sikap Indonesia sebagai negara non-penggugat.
Sementara itu, dukungan Washington yang tak henti-hentinya kepada Israel juga dapat memengaruhi hubungannya dengan Jakarta: perlu diingat bahwa pada bulan April tahun ini, Prabowo berargumen bahwa negara-negara barat memiliki standar ganda dalam sebuah editorial di The Economist, dengan alasan bahwa mereka "lebih menghargai nyawa Ukraina daripada nyawa warga Gaza". Jika Jakarta tidak dapat mengabaikan begitu saja sikap Washington secara global dan bahkan lebih lagi di Indo-Pasifik, ada kemungkinan bahwa perang yang dilancarkan oleh Israel di Gaza dan di Lebanon dapat menahan Indonesia untuk mendukung sikap AS.
ADVERTISEMENT
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah kunjungan Prabowo ke Moskow yang mungkin menekankan kemungkinan rekalibrasi kebijakan luar negeri Indonesia dan bagaimana presiden baru berupaya menegakkan sikap non-blok dan otonomi strategis Jakarta—menganggap Rusia sebagai salah satu 'sahabat karib' Indonesia. Penting untuk dicatat bahwa selama KTT G20, Prabowo telah menyerukan gencatan senjata di Ukraina tanpa menyebut Rusia sebagai agresor dan pihak yang bertanggung jawab utama atas perang tersebut. Meskipun tampaknya ini merupakan upaya untuk mempertahankan sikap kebijakan luar negeri bebas-aktif, tanggapan seperti itu mungkin dapat mencitrakan bahwa netralitas Jakarta melibatkan toleransi terhadap pelanggaran hukum internasional.
Faktanya, karena perang di Ukraina baru-baru ini mencapai milestone 1.000 hari dan kedua negara berjuang dengan war of attrition, penggunaan Rudal Balistik Jarak Menengah (IRBM) yang dilengkapi dengan hulu ledak konvensional baru-baru ini merupakan provokasi lain dari Moskow dan dapat mendorong eskalasi konflik yang berkelanjutan. Perlu disebutkan bahwa penggunaan senjata semacam itu dilakukan setelah eskalasi konflik dan terungkapnya ribuan tentara Korea Utara yang bertempur bersama tentara Rusia di Kursk. Faktanya, Pyong Yang telah memasok sistem persenjataan kepada Moskow, termasuk artileri dan amunisi, self-propelled howitzer, dan beberapa peluncur roket sejak berbulan-bulan lalu.
ADVERTISEMENT
Juga penting untuk mempertimbangkan bahwa kemitraan Rusia-Korea Utara sebaiknya tidak dilihat sebagai sekadar dukungan politik dengan elemen militer yang minim; saat Moskow membutuhkan tenaga kerja untuk melawan Ukraina, Pyong Yang menginginkan teknologi pertahanan dan pendanaan. Para ahli berpendapat bahwa pengerahan pasukan adalah cara bagi Korea Utara untuk mendapatkan sumber daya, yang mana Rusia mungkin harus mengeluarkan biaya sebesar USD2.000 per prajurit Korea Utara setiap bulannya, terutama di tengah isolasi internasional. Sebagai gantinya, Pyong Yang tidak hanya mendapatkan uang, tetapi juga minyak dan petrokimia. Yang lebih penting, sekarang mereka dapat mengakses teknologi pertahanan dan militer yang sebelumnya ragu-ragu dibagikan oleh Moskow untuk menghindari pengenaan sanksi lebih lanjut. Teknologi ini berkisar dari rudal anti-udara/permukaan-ke-udara dan rudal hipersonik, hingga kapasitas nuklir yang pada akhirnya akan memengaruhi stabilitas regional di kawasan Indo-Pasifik, termasuk bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada gilirannya, aliansi dan dinamika yang lebih kuat yang melibatkan Rusia dan Korea Utara tidak hanya dapat memengaruhi masa depan Ukraina, tetapi juga dapat mempertaruhkan stabilitas regional. Bertindak melanggar hukum internasional dan sanksi yang dijatuhkan melalui resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Korea Utara hanya akan menyebabkan ketegangan di kawasan tersebut dan meningkatkan risiko eskalasi konflik yang ada, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, Semenanjung Korea.
Secara keseluruhan, penting bagi Indonesia untuk menilai tantangan-tantangan ini secara cermat guna memastikan bahwa kebijakan luar negeri Jakarta tetap bebas aktif serta menguntungkan Indonesia dan kepentingan kedaulatannya. Faktanya, status Jakarta sebagai kekuatan menengah dan regional seharusnya dapat membekali para pengambil keputusan utama Indonesia dengan cukup keyakinan untuk tidak mendukung pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan hukum internasional. Memang, kebijakan 'bebas-aktif' tidak boleh diterjemahkan hanya sebagai upaya untuk mempromosikan netralitas. Seperti yang tersirat dalam postur tersebut, kebijakan luar negeri Indonesia harus secara aktif memerjuangkan perdamaian dunia dan HAM, sebagaimana tercermin dalam sikap Jakarta terhadap Gaza dan Lebanon.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang berhak merumuskan kebijakan luar negerinya bebas dari campur tangan pihak luar, Indonesia juga harus memerjuangkan hukum internasional dan melihat lebih jeli pelanggaran-pelanggaran ini, seperti keterlibatan Pyong Yang di Ukraina, dengan mempertimbangkan dampaknya pada keseimbangan kekuatan regional. Ketidakmampuan untuk mempertegas sikap ini tidak hanya akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah, tetapi juga bagi Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Lebih jauh lagi, hal itu juga dapat menyebabkan Indonesia kehilangan dukungan dari negara-negara demokrasi lainnya, dan pada akhirnya membahayakan kedaulatan dan kepentingannya sendiri, dimana hal ini bertentangan dengan semangat kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.