Konten dari Pengguna

Politik Uang dalam Era Digital

Anasyta Sani Dhuhani Mahfudin
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Ilmu Komunikasi
23 November 2024 11:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anasyta Sani Dhuhani Mahfudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi by AI GPY
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi by AI GPY
ADVERTISEMENT
Anasyta Sani Dhuhani Mahfudin*
Di zaman digital yang berkembang pesat ini, praktik politik uang telah memasuki fase yang lebih rumit dan susah diawasi. Politik uang, yang selama ini dianggap sebagai salah satu masalah utama dalam demokrasi, kini semakin berkembang dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial sebagai saluran utama. Fenomena ini tidak hanya merusak kualitas pemilu, tetapi juga membahayakan integritas demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan teknologi digital, kampanye politik semakin bergantung pada media sosial, aplikasi perpesanan, dan platform daring lainnya untuk mencapai pemilih. Di satu sisi, hal ini membawa kemudahan karena politik menjadi lebih terbuka dan dapat diakses masyarakat. Namun, di sisi lain, era digital justru membuka ruang bagi praktik politik uang yang lebih sulit untuk dideteksi. Sekarang, politik uang tidak hanya terbatas pada uang tunai atau barang, tetapi juga dapat berupa “hadiah digital” seperti pulsa, voucher belanja, atau akses konten eksklusif yang diberikan kepada pemilih untuk mendapatkan dukungan.
Salah satu bentuk politik uang yang semakin sering terjadi adalah melalui media sosial, di mana kandidat atau partai politik menggunakan iklan berbayar yang ditargetkan kepada pemilih tertentu. Ini memungkinkan kandidat menyampaikan pesan yang lebih personal dan persuasif, bahkan dengan iming-iming hadiah atau janji tertentu. Banyak pemilih yang mudah tergoda dengan tawaran tersebut, tanpa menyadari bahwa mereka sedang terlibat dalam transaksi yang merusak integritas pemilu.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, aplikasi perpesanan seperti WhatsApp dan Telegram kini menjadi saluran utama untuk menyebarkan informasi politik, termasuk politik uang. Di grup atau pesan pribadi, pembagian uang atau barang dapat dilakukan dengan cara yang tertutup dan sulit untuk dilacak. Bentuk politik uang seperti ini sangat berbahaya, karena selain mengancam prinsip keadilan pemilu, juga memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di kalangan pemilih.
Pemerintah dan penyelenggara pemilu di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memberantas praktik politik uang di dunia digital. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memperkuat regulasi terkait kampanye digital dan iklan politik, serta meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas politik di media sosial. Selain itu, penting untuk mendidik masyarakat agar lebih kritis terhadap informasi yang diterima dan tidak mudah terpengaruh oleh tawaran yang bersifat materialistik.
ADVERTISEMENT
Reformasi sistem pemilu yang lebih responsif terhadap perkembangan teknologi juga diperlukan, dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Penegakan hukum terhadap pelaku politik uang harus lebih tegas, dengan menyediakan mekanisme pelaporan yang lebih mudah dan dapat diakses oleh masyarakat.
Era digital memberikan banyak kemudahan dalam berpolitik, tetapi juga menyimpan potensi risiko besar terhadap integritas pemilu. Oleh karena itu, menjaga agar politik uang tidak merusak proses demokrasi di Indonesia memerlukan kerjasama antara pemerintah, lembaga pemilu, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan politik yang bersih dan adil.
Penulis adalah Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA)*