Haluan Negara yang Adaptif

Andhika Beriansyah
Penyusun Bahan Kebijakan pada Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden. Alumnus Program Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia. Meminati isu-isu pemikiran dan kebijakan publik. Saat ini tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor.
Konten dari Pengguna
1 Februari 2022 6:56 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andhika Beriansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sidang Paripurna MPR RI di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Kamis (3/10/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sidang Paripurna MPR RI di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Kamis (3/10/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Isu amandemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945 kembali mengemuka belakangan ini. Hal tersebut berkaitan dengan wacana penambahan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode yang dilontarkan oleh salah satu menteri Kabinet Kerja. Pro dan kontra pun bermunculan, karena UUD 1945 hasil amandemen tahun 1999 telah membatasi masa jabatan presiden hanya menjadi dua periode dengan masing-masing periode berdurasi lima tahun (pasal 7).
ADVERTISEMENT
Namun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga yang disematkan kewenangan melakukan amandemen UUD 1945 dalam UUD 1945 itu sendiri, memang telah merencanakan amandemen UUD 1945 pada periode 2019-2024. Ketua MPR, Bambang Soesatyo, telah mengatakan bahwa rencana amandemen UUD 1945 oleh MPR terkait dengan upaya memunculkan kembali aspek haluan negara yang dihapuskan dalam UUD 1945.
Pada era sebelum reformasi, pembangunan Indonesia selalu merujuk pada GBHN yang dituangkan dalam bentuk Ketetapan MPR (TAP MPR) setiap lima tahun sekali ketika MPR terbentuk setelah pemilu dilaksanakan. TAP MPR ini kemudian menetapkan rencana pembangunan lima tahun yang pada masa Orde Baru biasa disebut Repelita.
Demokratisasi sistem politik setelah kejatuhan Orde Baru yang berimbas pada perubahan mekanisme sistem pemerintahan dan birokrasi, juga menuntut pembaruan model rujukan rencana pembangunan yang lebih fleksibel dan sangat memungkinkan untuk lebih adaptif dengan perubahan-perubahan, terutama dan khususnya, beradaptasi dengan arah kebijakan politik Presiden RI yang terpilih dalam pemilu setiap lima tahun sekali.
ADVERTISEMENT
Arah kebijakan nasional pada era reformasi kemudian tertuang dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 yang menjadi dasar hukum mengenai rencana pembangunan jangka panjang (20 tahun) untuk kurun waktu 2005-2025. UU tersebut merupakan rangkaian dari UU yang sebelumnya telah dibuat mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yakni UU Nomor 26 tahun 2005 serta menjadi payung hukum bagi penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD).
Klaim MPR periode 2019-2024 bahwa pembahasan mengenai pokok-pokok haluan negara (PPHN) merupakan tema yang sudah dibahas sejak dua periode MPR yang lalu. Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (yang pada periode sebelumnya juga menjabat pimpinan MPR), mengatakan bahwa kajian mengenai PPHN sudah dimulai sejak MPR periode 2009-2014 dan dilanjutkan pada periode 2014-2019. Namun pembahasan sampai saat ini masih berkutat pada pilihan payung hukum apa yang akan dipakai. Baik TAP MPR ataupun UU, dianggap memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Namun di luar pembahasan teknis tersebut, perlu menjadi perhatian bagaimana PPHN atau haluan negara next generation dapat menjawab tantangan Indonesia di masa depan. Apakah perubahan ini dapat membantu mengarahkan?

Proyeksi Masa Depan Indonesia

Setidaknya ada tiga hal yang perlu dibahas dalam upaya membentuk instrumen baru haluan negara sebagai pedoman pembangunan jangka panjang maupun jangka menengah di Indonesia. Pertama, yaitu apakah bentuk produk hukum haluan negara yang baru memiliki dapat memandu pembangunan yang merata dan berkelanjutan di Indonesia; Kedua, bagaimana bentuk baru haluan negara dapat beradaptasi dengan tantangan demografi Indonesia di masa depan; Ketiga, bagaimana haluan negara tersebut selain menjadi pedoman pembangunan, juga menjadi panduan langkah strategis bangsa Indonesia dalam tatanan global.
ADVERTISEMENT
Isu pembangunan di Indonesia merupakan persoalan yang cukup lama menjadi perhatian masyarakat, setidaknya dikarenakan dua aspek: pemerataan dan keberlanjutan. Narasi pemerataan pembangunan Indonesia selalu berkaitan dengan pemerataan akses layanan dasar publik di lapangan, seperti fasilitas administrasi kependudukan, kesehatan, dan pendidikan. Ketiga hal tersebut sebenarnya merupakan urusan pemerintahan wajib yang terbagi pada pemerintah daerah sebagaimana amanat pasal 12 UU Nomor 23 Tahun 2014.
Oleh karenanya, dalam mengulas aspek pemenuhan beberapa urusan pemerintahan wajib, persoalan tersebut niscaya beririsan dengan keberhasilan pelaksanaan sistem otonomi daerah oleh masing-masing pemerintah daerah. Pada 2019, UNDP melaporkan bahwa meskipun Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan indeks pembangunan manusia (IPM) yang tinggi, namun masih terdapat permasalahan dalam aspek pemerataan. Bahkan 17,4 persen dari nilai IPM Indonesia hilang karena ketimpangan, lebih besar dibandingkan dengan sebagian besar negara tetangga di Asia Timur dan Pasifik.
ADVERTISEMENT
Melalui Peraturan Presiden 59 tahun 2017, Indonesia juga telah meratifikasi Sustainable Development Goals (SDGs), 17 target pembangunan yang dipancang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk dipenuhi tahun 2030. Sedangkan 17 target SDGs tersebut tidak hanya sebatas pada capaian statistik ekonomi dan kualitas manusia, tetapi juga pembangunan lingkungan hidup. Guna mencapai target pembangunan yang merata dan berkelanjutan, oleh karenanya wawasan tentang target pembangunan ini harus dimiliki tidak hanya oleh pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Hal ini juga perlu menjadi pertimbangan bagi penyusunan PPHN.
Sebagai bentuk antisipasi jangka panjang PPHN, MPR juga perlu mempertimbangkan situasi generasi muda, para milenial, dan generasi Z, yang notabene akan berada pada usia puncak dalam karier profesional mereka pada beberapa tahun ke depan. Termasuk yang bekerja sebagai aparatur pemerintah dan menjadi bagian dari proses pengambilan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Mereka yang tergolong generasi milenial dan generasi Z, telah terbiasa menghadapi banyak disrupsi yang membentuk karakter mereka, baik karena perkembangan teknologi informasi, paparan praktik bernegara yang demokratis sejak usia muda, serta tantangan pandemi COVID-19 yang telah mengubah banyak aspek dalam kegiatan ekonomi dan sosial. Pengalaman terbiasa menghadapi perubahan-perubahan yang cukup signifikan dengan waktu yang relatif singkat menjadi faktor pembentuk karakteristik generasi muda yang cenderung mudah beradaptasi dengan perubahan yang signifikan dengan tempo cepat. PPHN sebagai rujukan pembangunan perlu menyusun trajektori di masa depan terhadap gaya generasi muda saat ini, karena sebuah keniscayaan mereka yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Indonesia di masa depan.
Terakhir adalah bagaimana PPHN menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia menghadapi konstelasi geopolitik sesuai dengan dinamika zaman. Pada awal kemerdekaan, prinsip diplomasi Indonesia dengan Politik Bebas Aktif berhasil membawa Indonesia selamat menghadapi kondisi polarisasi kekuatan dua blok besar dunia pasca Perang Dunia II, yakni Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet. Indonesia juga berperan aktif dalam upaya menciptakan perdamaian dunia dengan membentuk organisasi-organisasi multilateral yang dapat menjadi jembatan komunikasi antarnegara untuk menciptakan kesepahaman yang membantu menciptakan perdamaian dunia seperti Gerakan Non Blok, Konferensi Asia Afrika, serta Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara atau ASEAN.
ADVERTISEMENT
Posisi geografis Indonesia yang sangat strategis (karena terletak di antara dua samudera, dua benua, dan rute perdagangan tersibuk di dunia) serta profilnya sebagai negara penduduk muslim terbesar di dunia yang mengadopsi sistem politik demokrasi, menjadi modal mengapa posisi dan artikulasi Indonesia di percaturan global sangat penting bagi negara lain. Empat alur laut Kepulauan Indonesia yang sangat strategis bagi pelayaran dan menyimpan sumber daya yang besar, juga harus menjadi perhatian saat ini dan di masa yang akan datang.
Dengan dunia yang dihadapkan dengan perkembangan teknologi yang makin cepat dan pesat di satu sisi, tetapi juga terjebak dengan potensi konflik multiaktor yang makin kompleks di sisi lain, Indonesia harus menemukan kembali Politik Bebas Aktif yang sesuai konteks zaman. Hal tersebut dibutuhkan sebagai alat untuk mempertahankan kepentingan nasional Indonesia, di samping untuk menciptakan perdamaian dunia.
ADVERTISEMENT
Sejarah telah mencatat negara besar seperti Turki Ottoman dan Uni Soviet dengan segala kekuatan sumber daya yang dimiliki, eksistensinya harus berakhir. Eksistensi lebih dari enam abad usia Turki Utsmani serta tujuh dekade usia Uni Soviet, tidak dapat membuat keduanya mampu bertahan menghadapi tantangan perubahan zaman dan hingga akhirnya menyeret mereka ke ajal di abad ke-20.
Dalam buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012), Acemoglu dan Robinson mengungkapkan bahwa negara yang mampu bertahan adalah negara dengan arsitektur politik yang mampu mendorong keterbukaan akses terhadap sumber daya. Sedangkan menurut Subkhan dalam artikel berjudul GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, usulan-usulan mengembalikan GBHN atau acuan pedoman pembangunan lainnya, lebih karena mengedepankan aspek politik atau kekuasaan bukan karena ingin menghadirkan pedoman teknis yang efektif bagi pembangunan di Indonesia. Oleh karenanya, selain tinjauan yuridis, dalam ikhtiar menghadirkan haluan bernegara yang baru perlu jua melalui tinjauan aspirasi dimensi lain agar lebih komperhensif untuk menciptakan haluan bernegara yang lebih adaptif bagi Indonesia yang maju dan kuat.
ADVERTISEMENT

Referensi