Presidensi G20 dan Tantangan Milenial Indonesia

Andhika Beriansyah
Penyusun Bahan Kebijakan pada Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden. Alumnus Program Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia. Meminati isu-isu pemikiran dan kebijakan publik. Saat ini tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor.
Konten dari Pengguna
29 April 2022 15:26 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andhika Beriansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan secara virtual saat Pertemuan Tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 FMCBG) di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (17/2/2022). Foto: Hafidz Mubarak A/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan secara virtual saat Pertemuan Tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 FMCBG) di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (17/2/2022). Foto: Hafidz Mubarak A/Antara Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terhitung sejak 31 Oktober 2021, setelah Indonesia menerima status Presidensi G20 dari Italia, Indonesia gencar mengkampanyekan status tersebut di dalam negeri. Tema yang diusung pemerintah Indonesia adalah Recover Together, Recover Stronger atau “Bangkit Bersama, Bangkit Lebih Kuat” dengan tiga isu prioritas, yakni arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
G20 pada awalnya adalah sebuah forum kerja sama ekonomi yang terdiri dari 20 negara dengan proporsi produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Mengutip situs web Sherpa G20 Indonesia, G20 merupakan forum ekonomi utama dunia yang memiliki posisi strategis karena secara kolektif mewakili sekitar 65% penduduk dunia, 79% perdagangan global, dan setidaknya 85% perekonomian dunia.
Inisiatif membentuk G20 juga merupakan sebuah langkah korektif dari negara-negara dengan ekonomi terbesar anggota G7 (Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Kanada, dan Jepang) yang berupaya memperluas jangkauan dalam upaya memperkuat dan stabilisasi sistem perekonomian global.
Indonesia sebagai negara dengan PDB US$1.058,42 miliar berada di urutan ke 16 di antara anggota G20, di atas Turki, Arab Saudi, Argentina, dan Afrika Selatan. Sedangkan di antara negara-negara yang bukan anggota G7, hanya Tiongkok dan India yang berada pada posisi tujuh teratas. Hal ini boleh dikatakan wajar, mengingat Tiongkok dan India merupakan dua negara dengan penduduk terbanyak di dunia sehingga memiliki dampak pada besarnya postur ekonomi kedua negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun selain isu perekonomian, perkembangan terkini membuat dinamika persiapan KTT G20 di Bali jadi menghangat karena isu-isu politik global, khususnya di seputar isu konflik militer Rusia dengan Ukraina. Perdana Menteri Australia, Scott Morrison melontarkan reaksi penolakan akan kemungkinan kehadiran Putin dalam KTT G20 di Bali.
Terakhir, “gangguan” terjadi pada pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota G20 yang dilaksanakan di Washington DC, AS akibat aksi walk-out yang dilakukan delegasi AS, Inggris, dan Kanada.
Peristiwa-peristiwa ini memberikan pesan-pesan tersirat pada bangsa Indonesia, bukan sebatas konteks mencari solusi masalah ekonomi, tetapi juga tentang posisi Indonesia dalam konstelasi politik global. Persoalan yang bukan hanya perlu disikapi dengan teliti oleh para elite pemimpin Indonesia, tetapi juga bagi generasi Y dan Z sebagai generasi muda yang perlu bersiap menyongsong masa depan kepemimpinan nasional.
ADVERTISEMENT

Harapan Reformasi Tatanan Global

Immanuel Wallerstein, seorang intelektual ekonomi politik dari AS, pada dekade 1970-an menyusun Teori Sistem Kapitalisme Dunia (TSKD) atau biasa diketahui Teori SIstem Dunia. Dalam TKSD Wallerstein mengkritik dan menantang tatanan ekonomi dunia yang menurutnya terbagi pada tiga kelompok: negara inti, negara semiperiferi, dan negara periferi. Wallerstein mengatakan bahwa mungkin saja terjadi pergeseran antara negara semiperiferi dengan negara periferi dengan syarat dapat melaksanakan salah satu atu kombinasi dari tiga alternatif strategi pembangunan: menangkap dan memanfaatkan kesempatan, strategi promosi dengan undangan, atau strategi berdiri di atas kaki sendiri (Suwarsono, & So, 1994).
Berkaca pada konstelasi yang ada di G20, upaya untuk menghasilkan kerja sama yang konstruktif dan setara di antara negara-negara memang ada. Namun keterbatasan anggota serta aspek-aspek non-ekonomi yang jelas mempengaruhi kondisi kemapanan dan kemakmuran suatu negara, sayangnya dikesampingkan.
ADVERTISEMENT
Jika menjadikan TSKD Wallerstein sebagai unit analisa G20, dapat terlihat bahwa G7 masih memainkan peran sebagai negara inti yang memiliki kekuatan sebagai pusat modal, dengan anggota lainnya sebagai negara-negara berkembang yang mengelilinginya sebagai negara semiperiferi. Setelah berkiprah lebih dari 1 dekade, G20 tidak menawarkan kebaruan. Bahkan pandemi Covid-19 yang baru saja terjadi justru memperparah ketimpangan global.
Merujuk pada World Inequality Report 2022 (WIR) ada 10 persen penduduk dunia yang menguasai 52 persen pendapatan global. Sementara 50 persen penduduk dunia hanya menguasai 8,5 persen dari pendapatan global saja. Ini tantangan yang jelas ada di depan mata G20, khususnya Indonesia yang mengemban tugas Presidensi G20 tahun 2022, tahun ketika dunia secara optimis berupaya melakukan pemulihan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Semangat reformasi tatanan dunia sebenarnya merupakan jati diri Indonesia sejak awal kemerdekaan. Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia sudah menantang stagnansi tatanan dunia dengan Gerakan Non Blok dan Konferensi Asia Afrika. Melongok kiprah globalnya, Presiden Soekarno seperti mengirimkan pesan bahwa masa depan dunia ada di luar negara-negara Barat kapitalis-imperialis yang mengakumulasi kapital dengan menempuh jalan kolonialisme selama berabad-abad.
Belakangan, presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2012 juga dalam berbagai kesempatan menyampaikan pesan bahwa tatanan dunia harus berubah. Yudhoyono mengatakan bahwa Dewan Keamanan (DK) PBB, yang masih mewarisi mentalitas “Cold War” harus diubah menjadi “Warm Peace”. Implikasi paling sederhana dari reformasi DK PBB ini adalah perubahan komposisi anggota tetap dan atribut hak veto.
ADVERTISEMENT
Jika G20 memang ingin serius mengambil peran dalam reformasi tatanan dunia, dimulai dari ekonomi, harus ada komitmen serius di antara para anggotanya untuk menjaga stabilitas dan kondusifitas. Ketegangan seperti Perang Dagang antara Tiongkok dan AS tidak perlu lagi terjadi, atau negara-negara lainnya mulai berpikir untuk menghentikan agresi dan mendorong kerja sama yang konstruktif. G20 juga harus mulai memikirkan peta jalan bagi pemulihan ekonomi global, mengingat anggotanya adalah negara dengan mayoritas dalam hal populasi dan keuangan global.
Indonesia bisa memberikan kontribusi dengan mendorong agar anggota G20 mereorientasi kebijakan-kebijakan mereka sesuai tiga isu prioritas. Tiga isu utama ini juga menjadi pekerjaan rumah dalam negeri Indonesia, terutama bagi kelompok generasi muda Indonesia.
Generasi muda perlu mengidentifikasi kembali aspek-aspek kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan hari ini maupun masa depan. Pemerintah yang mempercayai figur dari generasi milenial sebagai juru bicara Presidensi G20 adalah sebuah tanda positif.
ADVERTISEMENT
Generasi muda Indonesia perlu paham bahwa kuantitas SDM Indonesia misalnya, adalah persoalan multidimensi. Ia dapat berdampak positif, tetapi juga negatif. Kekuatan modal asing misalnya melihat bahwa SDM Indonesia adalah sasaran pasar mereka. Sisi positifnya, Indonesia dapat meningkatkan daya tawar. Namun sisi negatifnya, Indonesia akan selalu ketergantungan dengan bangsa lain.
Kuantitas SDM Indonesia juga merupakan peluang pendongkrak kemajuan bangsa jika mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan yang memberdayakan. Tetapi di sisi lain juga menjadi tantangan jika kuantitas SDM yang besar tersebut gagal berkembang. Tahun 2030 di mana besarnya jumlah penduduk usia produktif diharapkan menjadi “bonus demografi” berpotensi gagal dan akhirnya menjadi “bencana demografi”.
Padahal sebagaimana diketahui khalayak umum, generasi masa depan Indonesia masih dihantui tingginya angka tengkes (stunting). Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen. Angka ini masih lebih tinggi dari standar WHO sebesar 20 persen dan jauh dari target ambisius Presiden Jokowi pada tahun 2024 yakni sebesar 14 persen.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, generasi milenial Indonesia masih harus lebih mawas diri. Mereka adalah generasi muda yang harus menyadari tantangan dan harapan menyongsong Indonesia maju pada 2045 yang tersemat pada pundak mereka.
Kesempatan tampil sebagai pemimpin dalam forum-forum kerja sama multilateral seperti G20 harus disambut antusias namun tetap fokus pada orientasi amanat konstitusi: menjaga perdamaian dunia dan memenuhi kepentingan nasional. Guna mencapai tujuan itu, generasi milenial Indonesia harus paham bahwa kiprah global mereka harus menjaga semangat reformasi tatanan global baik aspek politik maupun ekonomi.
*tulisan ini opini pribadi penulis dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja

Referensi

Chancel, L., Piketty, T., Saez, E., Zucman, G. et al. World Inequality Report 2022, World Inequality Lab wir2022.wid.world
ADVERTISEMENT
Suwarsono dan So, Alvin Y. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
https://sherpag20indonesia.ekon.go.id/sejarah-singkat-g20
https://goodstats.id/article/peringkat-ekonomi-negara-anggota-g20-XWp0Z
https://kumparan.com/kumparannews/pm-australia-sebut-rencana-kehadiran-putin-ke-indonesia-keterlaluan-1xkHcrrahq8
https://kumparan.com/kumparanbisnis/sri-mulyani-tanggapi-walkout-3-delegasi-di-pertemuan-menkeu-g20-1xvJhauHU8j
https://amp.kompas.com/nasional/read/2012/09/26/02455018/index-html
https://kumparan.com/kumparannews/bkkbn-6-1-juta-anak-di-indonesia-alami-stunting-1xbFep2IiY3/1