Konten dari Pengguna

Gerakan Literasi Sekolah Dalam Mewujudkan Ekosistem Pendidikan di Sekolah Dasar

3 Oktober 2017 15:21 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andhika Rachmanah Ayahfatimahandianipuspa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gerakan Literasi Sekolah Dalam Mewujudkan Ekosistem Pendidikan di Sekolah Dasar
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pemerintah meluncurkan Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) pada tahun 2015 sebagai jawaban atas rendahnya budaya literasi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dari beberapa penelitian selama dekade ini, terlihat Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lain dalam hal literasi. Survei yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain, misalnya, menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca. Survei dilakukan sejak 2003 hingga 2004, menempatkan Indonesia berada di atas Bostwana di peringkat 61 dan di bawah Thailand di posisi 59. Dalam survei ini, Finlandia menempati posisi teratas disusul Norwegia, Denmark dan Swedia. Peringkat ditentukan dari variabel hasil tes pemahaman literasi terhadap siswa untuk melihat perilaku literasi mereka. Selain itu, ada 15 variabel lain yang terbagi dalam lima kategori, yaitu p\erpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer sesuai dengan jumlah populasi (Media Indonesia, 30 Agustus 2016).
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Programme for Internstional Student Assesment (PISA) 2012 menempatkan Indonesia pada posisi 64 dari 65 negara dalam budaya literasi masyarakat pada tahun 2012. Untuk minat baca siswa dalam penelitian sebelumnya pada tahun 2009, PISA menempatkan Indonesia di urutan 57 dari 65 negara (Republika, 15 Desember 2014). Di tahun 2012 juga United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menyebutkan indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,001. Berarti dari 1.000 orang, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. UNESCO juga menyebut Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca. (solopos.com , 10 Oktober 2016).
Inilah latar belakang pemerintah meluncurkan program GLS melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Menurut menteri pendidikan saat itu, Anies Baswedan, pertama mengajarkan anak membaca, lalu membiasakan anak membaca hingga menjadi karakter, setelah itu barulah menjadi budaya. Dalam Program GLS ditekankan pada membiasakan anak membaca bukan buku pelajaran 15 menit sebelum pembelajaran dimulai untuk mewujudkan budaya baca seperti yang tercantum dalam Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang gerakan penumbuhan budi pekerti.
ADVERTISEMENT
Pengertian Literasi Sekolah dalam konteks GLS adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. Selanjutnya GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik (Panduan Gerakan Literasi Sekolah). GLS tidak hanya sekedar membaca tapi sebuah upaya menciptakan lingkungan sekolah secara utuh, yang di dalamnya termasuk warga sekolah berupaya menciptakan budaya literasi. Selain membaca, seorang literat harus mampu mengolah dan menggunakan semua kemampuan bahasa.
Target utama dari GLS yang dicanangkan kemendikbud ini adalah menciptakan ekosistem pendidikan di sekolah yang literat. Ada lima indikator ekosistem pendidikan di sekolah yang literat, diantaranya:
ADVERTISEMENT
1. menyenangkan dan ramah peserta didik, sehingga menumbuhkan semangat warganya dalam belajar;
2. semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan menghargai sesama;
3. menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan;
4. memampukan warganya cakap berkomunikasi dan dapat berkontribusi kepada lingkungan sosialnya; dan
5. mengakomodasi partisipasi seluruh warga sekolah dan lingkungan
Menyenangkan dan Ramah
Rumah adalah tempat sebuah keluarga berkumpul dan bertemu. Rumah yang sehat secara psikologis dapat dilihat dari raut bahagia penghuninya. Rumah akan menjadi tempat yang menyenangkan dan sangat dirindukan ketika penghuninya merasa nyaman dan aman. Sekolah merupakan rumah kedua bagi peserta didik karena selama usia sekolah mereka pulang pergi antara rumah dan sekolah. Sekolah tidak hanya menjadi ruang kaku tempat mentransfer segala ilmu pengetahuan tapi harus menjadi tempat yang juga dirindukan oleh peserta didik.
ADVERTISEMENT
Sekolah harus bisa menjadi rumah kedua jika situasi sekolah menyenangkan buat peserta didik. Kondisi peserta didik yang dinamis dan beragam perlu pengelolaan sekolah yang komplek dan menyeluruh. Tidak sepeti di rumah, keinginan dan minat peserta didik bermacam-macam dan sangat berwarna. Sekolah perlu menganalisa latar belakang peserta didik kemudian mencari hubungan yang dapat mempersatukan keberagaman. Perlu ada batasan pemunculan ego dari individu warga sekolah termasuk guru di dalamnya, sehingga di sekolah nampak kepentingan bersama yang menonjol.
Pembatasan tersebut tentu berkaitan erat dengan aturan dan tata tertib sekolah. Tapi tentu dalam penerapannya harus ada saling pengertian antara warga sekolah. Bukan hanya boleh dan tidak, penghargaan dan hukuman, tapi lebih kepada pemahaman serta alasan logis latar belakang peraturan. Kesan yang ditonjolkan adalah pembuat aturan dan pelaksana aturan menerima dengan terbuka. Lantas menaati peraturan tersebut dengan penuh kesadaran.
ADVERTISEMENT
Ramah tidak sekedar bahasa tutur dan sikap yang halus dari guru dan orang dewasa di sekitar sekolah. Tetapi juga merupakan komunikasi dua arah yang saling sadar antar warga sekolah. Komunikasi yang efektif akan sangat penting dalam menciptakan ramah ini. Komunikasi yang luwes baik verbal maupun nonverbal sangat menentukan penciptaan kesan ramah tadi karena ramah adalah hasil dari komunikasi itu sendiri.
Empati, peduli, dan menghargai sesama
Sikap empatik terhadap orang lain dapat tumbuh dengan proses penyadaran ‘Jika aku menjadi dia’. Pembiasaan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain sangat penting untuk menumbuhkan rasa peduli dan menghargai sesama.
Sekolah selain membuat peraturan dan tata tertib, perlu merangsang kepekaan peserta didik terhadap lingkungan sekitarnya. Sekolah jangan dipersempit hanya menjadi sebuah ruang tempat peserta didik menimba ilmu pengetahuan yang sangat kognitif. Tetapi sekolah harus menjadi sebuah lingkungan komplek yang membentuk sikap dan karakter peserta didik. Pembiasaan seperti menengok teman yang sakit, berkunjung ke panti asuhan, melihat secara langsung pekerjaan orang tua, kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah, dapat dijadikan sarana untuk membentuk kepekaan sosial mereka. Sikap yang empatik, peduli, dan saling menghargai menjadi komponen utama selain kemampuan akademik dalam sekolah.
ADVERTISEMENT
Semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan
Sedari lahir manusia dibekali sifat rasa ingin tahu yang tinggi. Ketika tahap anak-anak rasa ingin tahu dapat tumbuh dan berkembang dengan berbagai pertanyaan dalam benaknya. Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang dapat memelihara rasa ingin tahu ini terus berkembang. Berikan peserta didik alasan-alasan logis yang menantang mereka untuk mencari tahu tentang segala sesuatu. Biasakan dalam pembelajaran di awali dengan pembahasan topik masalah. Kata kuncinya adalah membuat mereka penasaran.
Hadirkan pula manfaat dari memperoleh ilmu pengetahuan atau konsep materi yang sedang dipelajari. Peserta didik harus dapat merasakan manfaat ilmu pengetahuan secara langsung untuk membuat mereka sadar pentingnya belajar. Berkembangnya rasa ingin tahu dan tersadarnya mereka terhadap manfaat ilmu pengetahuan dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap pengetahuan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Selama ini, peserta didik tidak diberikan penyadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan. Sehingga mereka menggap belajar hanya sebuah rutinitas wajib yang harus dilakukan dan membosankan. Selain jenuh di sekolah dan timbul rasa tidak butuh, dampak yang lebih fatal adalah menyuburkan sikap malas belajar.
Cakap berkomunikasi dan kontribusi terhadap lingkungan sosial
Masyarakat abad 21 yang penuh tantangan dan rintangan terutama penguasaan teknologi dan saratnya informasi. Mudahnya informasi menyebar hanya dalam hitungan detik, menjadi sebuah sarana yang efisien dalam menangkap informasi. Keterampilan berkomunikasi diperlukan, selain untuk menangkap informasi dan menyampaikannya kembali, kemampuan ini menyangkut keterampilan menyaring informasi yang diperoleh.
Masalah informasi saat ini, menyentuh ranah pribadi dan sosial. Banyak masyarakat yang tergerak setelah menerima informasi baik secara pribadi atau berkelompok. Seperti kasus pengumpulan poin, sumbangan bencana alam, aksi memungut sampah, dan masih banyak lagi dimana semua berawal dari informasi viral di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Keterampilan berkomunikasi yang baik, santun, dan efektif diperlukan dalam lingkungan sekolah sehingga peserta didik terbiasa bersikap ilmiah dalam menanggapi sebuah topik masalah. Ketika mereka bersinggungan dengan lingkungan sosialnya, maka mereka dapat berperan sebagai pelaku aksi bukan objek dari masalah-masalah sosial. Peserta didik diharapkan dapat menunjukkan sikap peduli, tergerak, dan menjadi pelaku mengatasi masalah sosial di lingkungannya. Tentu disesuaikan dengan aspek perkembangan mentalnya. Misalnya, untuk peserta didik sekolah dasar mereka peduli terhadap masalah kebersihan lingkungan, kegiatan pengajian, perayaan hari besar agama atau nasional. Mereka aktif dan partisipatif di dalamnya.
Mengakomodasi partisipasi seluruh warga sekolah dan lingkungan
Sekolah dengan ekosistem pendidikan yang baik adalah dapat menghidupakan unsur-unsur penunjang sekolah. Selain peserta didik dan guru, warga sekolah lainnya termasuk orangtua dan masyarakat sekitarnya adalah unsur biotik sebuah ekosistem. Sarana prasarana, kurikulum, tata tertib dan aturan, serta pembiayaan pendidikan sebagai unsur abiotik ekosistem di sekolah. Lingkungan yang sehat di sekolah harus dapat memadukan dan mewadahi segala bentuk partisipasi warganya.
ADVERTISEMENT
Melalui komunikasi yang baik, diharapkan akan tergambar keinginan dan harapan warga sekolah. Mereka diberi ruang yang luas untuk turut aktif menghidupkan ekosistem sekolah. Ketika ada permasalahan dalam pembelajaran, tugas proyek misalnya. Guru tidak lagi bergerak sendiri tetapi ikut melibatkan warga sekolah lainnya. Dalam hal ini, tidak hanya tertuju pada biaya tapi tenaga dan pikiran juga kita libatkan di dalamnya.
Hubungan antara GLS dengan Ekosistem Pendidikan
Gerakan Literasi Sekolah menjadi katalisator dalam mewujudkan ekosistem pendidikan. GLS menjadi jembatan untuk mewujudkan lingkungan sekolah yang menyenangkan dan ramah. Program GLS bukan hanya sekedar kegiatan membaca, tapi bagaimana meningkatkan minat baca warga sekolah. Tentu untuk meningkatkan minat baca perlu dikemas dengan kegiatan yang menyenangkan dan nyaman. Di setiap kelas dibuat pojok-pojok baca dengan terus menambah koleksi buku serta desain yang atraktif dan menarik perhatian peserta didik.
ADVERTISEMENT
Selain menyenangkan, guru dengan ramah mengajak peserta didik masuk ke dalam pojok baca dan mulai membaca bersama dengan nyaman dan penuh makna. Selesai membaca melakukan refleksi berupa resensi sederhana tentang isi buku yang telah dibaca. Dalam kegiatan akhir ini, terjadi interaksi antara guru dengan peserta didik atau peserta didik dengan peserta didik.
Kegiatan ini dapat juga dijadikan sarana untuk mengembangkan sikap empati, peduli, dan menghargai sesama. Setiap peserta didik diupayakan mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sekait isi buku. Peserta didik lain menyimak dan menanggapi dengan cara yang baik, santun, dan menyampaikan alasan yang logis dalam berpendapat.
GLS memiliki tiga tahapan dalam pelaksanaannya di setiap sekolah. Tahap pertama adalah tahap pembiasaan melalui kegiatan membaca 15 menit sebelum pembelajaran. Tahap kedua pengembangan berupa melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan. Terkhir, tahap pembelajaran yakni menggunakan buku pengayaan dan strategi membaa di semua mata pelajaran.
ADVERTISEMENT
Dalam kegiatan pembiasaan perlu menata sarana dan lingkungan kaya literasi. Penataan ruang kelas, kantin, UKS, ruang olahraga, halaman sekolah dan halaman sekolah. Ruang baca dan penyediaan buku bacaan yang sesuai dengan perkembangan peserta didik mutlak diperlukan. Kita juga bisa memanfaatkan dinding, anak tangga dan tiang gedung untuk memperkaya teks dengan membubuhkan infografis, poster, kartu artikel, dan berbagai media baca lain yang menarik. Perlu diperhatikan komposisi warna dalam penataannya karena anak mudah tertarik terhadap warna yang mencolok. Melibatkan masyarakat untuk menciptakan suasana lingkungan yang literat juga sangat dibutuhkan. Ini sekait dengan biaya penataan sarana tadi tidak sedikit. Partisipasi orang tua, tokoh masyarakat, dinas terkait termasuk melibatkan badan atau lembaga perpustakaan yang ada di sekitar sekolah sangat mendukung terciptanya lingkungan literat.
ADVERTISEMENT
Tahapan berikutnya dalam GLS sangat tergantung pada ketersediaan buku pengayaan dan kemampuan guru dalam menciptakan suasana yang literat. Ini menjadi masalah yang paling penting untuk segera dicari pemecahannya. Seperti kita ketahui ketersediaan buku menjadi masalah utama dalam mensukseskan GLS. Buku yang tersedia di perpustakaan terbatas. Daerah yang jauh dari pusat kota juga mengalami kendala dalam mencari buku-buku yang sesuai dengan peserta didik. Untuk penggunaan buku digital pun masih sangat terbatas. Ini bisa disiasati dengan pembuatan kliping, mencetak artikel dari berbagai sumber, mengadakan donasi buku di lingkungan sekolah, dan bekerja sama dengan sekolah lain yang memiliki koleksi buku lebih lengkap.
Untuk tahap pengembangan, peserta didik tidak sekedar dituntut membaca. Mereka juga diminta untuk mengetahui penggunaan perpustakaan yang baik, proses produksi buku dan menulis. Kegiatan harus ditujukan untuk mendekatkan mereka pada kegiatan literasi yang lebih luas. Walaupun bukan termasuk penilaian akademik tetapi kegiatan GLS dalam tahapan ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan di sekolah. Ekosistem sekolah sudah mulai terwujud di tahap ini. Indikatornya adalah guru dan peserta didik cinta buku dan menulis.
ADVERTISEMENT
Terakhir GLS telah terintegrasi dalam pembelajaran. Peserta didik dalam tahapan ini diarahkan memiliki kemampuan kebahasaan dari tingkat awal sampai lanjut. Mulai dari kemampuan fonetik di kelas rendah sampai membuat karya tulis yang baik di kelas tinggi.
Seluruh tahapan GLS ditujukan untuk meningkatkan penguatan pendidikan karakter sehingga pada akhrinya dapat terwujud ekosistem pendidikan yang diharapkan di lingkungan sekolah. Ekosistem yang baik dapat meningkatkan tidak hanya kualitas intelegensi peserta didik tapi jauh dari itu dapat menumbuhkan karakter peserta didik yang seusai dengan jati diri bangsa. Kini tinggal para pemangku kepentingan baik yang ada di sekolah, dinas pendidikan dan pemimpin daerah dapat mengakomodir terutama pembiayaan serta aturan yang mendukung terlaksananya GLS. Sekolah harus mampu mengelola seluruh sumber daya yang ada dengan mengacu pada prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Terakhir guru sebagai ujung tombak GLS harus menjadi pelopor literasi, dengan menjadi guru yang literat, guru yang cinta buku dan guru yang menghasilkan karya tulis.
ADVERTISEMENT