Konten dari Pengguna

Literasi Kita dan Miskinnya Buku

12 September 2017 11:54 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andhika Rachmanah Ayahfatimahandianipuspa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Literasi Kita dan Miskinnya Buku
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pemerintah mulai tahun 2016 mulai menggalakan Gerakan Literasi Sekolah yang dikenal dengan GLS. Kegiatan yang secara umum dipahami sebagai kegiatan membaca buku non pelajaran selama 10-15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan siswa tetapi seluruh warga belajar, termasuk guru dan orang tua murid diharapkan mulai gemar membaca buku. Benar, tujuan akhirnya adalah minat baca meningkat di masyarakat bukan hanya warga sekolah.
ADVERTISEMENT
GLS lahir karena dalam beberapa dekade ini, Indonesia dianggap miskin dalam hal gemar membaca. Ditambah dengan hadirnya gadget yang terus menggerus generasi muda kita menjauh dari buku.
Berikut beberapa penelitian yang menunjukkan rendahnya minat baca bangsa Indonesia:
1. Hasil penelitian internasional, Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015 tentang kemampuan membaca siswa juga menyebutkan bahwa kemampuan membaca siswa di Indonesia menduduki urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei. Hasil itu lebih rendah dari Vietnam yang menduduki urutan ke-12 dari total negara yang disurvei.
2. Berdasarkan data Bank Dunia Nomor 16369-IND dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement), untuk kawasan Asia Timur, Indonesia memegang posisi terendah dengan skor 51,7, dibawah Filipina dengan skor 52,6. Data lainnya dari UNDP, angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen (pada tahun 2013, kompasiana 5/04/2013).
ADVERTISEMENT
3. Pada tahun 2002, Penelitian Human Development Index (HDI) yang dirilis UNDP menyebutkan, melek huruf Indonesia berada di posisi 110 dari 173 negara. Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009. Pada tahun 2006 berdasarkan studi lima tahunan bertajuk Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), Indonesia menempati posisi 36 dari 40 negara. Pada tahun 2006 berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukan, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%), mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%).
4. Pada tahun 2009 berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca ini, dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi).
ADVERTISEMENT
5. Pada tahun 2012 Indonesia nangkring di posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan ‘melek huruf’. Indonesia sebagai Negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang.
Dari hasil penelitian beberapa lembaga dunia di atas, dapat disimpulkan betapa rendahnya minat baca bangsa kita. Ini sangat memprihatinkan karenanya pemerintah melalui kementrian pendidikan mulai menggalakan Gerakan Literasi di tingkat sekolah.
Dari beberapa laporan, sekolah, terutama yang telah menerapkan Kurikulum 2013 tampak rutin melakukan pembiasaan membaca ini. Bahkan beberapa daerah telah mulai pada tahap pengembangan. Jadi, tidak sekedar membaca tapi lebih kepada kegiatan literasi itu sendiri. Sesungguhnya literasi bukan hanya kegiatan membaca saja.
ADVERTISEMENT
Pengertian literasi secara sempit adalah kemampuan membaca, namun kemudian ditambahkan juga dengan kemampuan menulis. Literasi berasal dari bahasa latin yaitu littera yang berarti huruf sehingga pada mulanya literasi diartikan pada pemahaman huruf berupa membaca dan menulis. Pada abad pertengahan di benua eropa, sebutan literatus ditujukan kepada orang yang dapat membaca, menulis dan bercakap-cakap dalam bahasa Latin. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003).
Ilustrasi anak membaca buku (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak membaca buku (Foto: Pixabay)
Pentingnya mengembangkan kegitan literasi adalah kebermaknaan literasi untuk menemukan, menciptakan, dan mengubah budaya ke arah yang lebih tinggi lagi sehingga dapat membentuk peradaban maju sebuah bangsa. Sadar akan hal tersebut, maka tentu buku merupakan bahan wajib yang harus terpenuhi. Bagaimana mungkin kita berliterasi kalau tidak ada sumber bacaan.
ADVERTISEMENT
Buku saat ini sudah berkembang dari yang berbentuk cetak menjadi digital. Namun, perkembangannya masih dirasakan sangat lambat terkecuali sastra. Buku pengayaan atau penunjang untuk siswa sekolah sangat minim. Hampir seluruh sekolah di Indonesia hanya mengandalkan buku pelajaran dalam pembelajaran. Kalau kita bandingkan dengan negara lain, kita sangat tertinggal. Seorang siswa hendaknya memiliki satu atau dua buku penunjang selain buku pelajaran untuk tiap mata pelajaran. Sehingga di rumah mereka dapat memperdalam materi yang sedang dipelajari.
Hal ini berakibat pada pelaksanaan GLS, masih terlihat anak-anak lebih banyak membaca buku cerita atau sastra berupa cerita-cerita rakyat dan novel terutama dalam mengisi kegiatan GLS. Walau di beberapa sekolah terlihat sudah mulai membaca buku yang bersifat pengetahuan umum atau keagamaan, jumlahnya masih sangat sedikit. Buku pengetahuan umum pun seharusnya lebih menunjang pembelajaran sehingga waktu baca mereka lebih bermakna dan materi pembelajaran dapat lebih berkembang.
ADVERTISEMENT
Dari sini, seharusnya kita mulai menata GLS untuk membentuk siswa yang unggul dan literat. Jangan sampai mereka akhirnya terlena dengan cerita fiksi yang tidak terlalu sekait dengan tujuan pembelajaran. Kalaulah boleh membaca fiksi menjadi hiburan dikala penat, bukan saat proses pembelajaran (GLS ada di jam anak sekolah).
Kendalanya adalah jumlah buku yang sulit di dapat. Bukan hanya mahal, jumlahnya sangat terbatas atau boleh dikatakan miskin. Kementrian Pendidikan khususnya harus melihat kebutuhan ini. Sehingga segera membuat kebijakan untuk pemenuhan buku pengayaan atau penunjang yang berkualitas. Ketika anak, mulai mempelajari topik atau materi mereka memiliki sumber bacaan yang relevan.
Memang sudah banyak buku digital, tapi buku digital seharusnya melalui proses seleksi yang ketat. Buku cetak saja banyak yang kecolongan dalam hal isinya, apalagi buku digital. Sementara itu, negara kita yang begitu luas penggunaan digital masih sangat awam. Jangan sampai mengenaralisasi keadaan sekolah dengan hanya melihat keadaan di kota-kota besar saja.
ADVERTISEMENT
Harapannya ke depan, literasi dapat terus memperkaya perjalanan peradaban bangsa ini, jelas terarah dan kaya akan buku-buku yang menambah ilmu pengetahuan anak-anak kita. Pembentukan karakterpun dapat terwujud jika disusun secara bertahap dan sistematis tidak dentgan cara yang drastis, kalau tidak mau dibilang sadis.