Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Program Penguatan Pendidikan Karakter dengan Ekosistem Pendidikan
12 September 2017 16:29 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Andhika Rachmanah Ayahfatimahandianipuspa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Moral generasi kita semakin hari semakin tergerus oleh arus modernisasi yang semakin hedonis. Di tengah kegamangan identitas bangsa, budaya asing terus menerus menghantam kehidupan generasi milenial kita. Akankah karakteristik bangsa ini hilang tergeser identitas budaya asing? Bagaimanakah langkah kita untuk menghadapi arus globalisasi di era modern agar kita tetap berada pada jati diri bangsa?
ADVERTISEMENT
Budaya adalah sesuatu yang lahir dan besar bersama manusia penciptanya, yang dilestarikan oleh keturunannya dan menjadikannya tradisi yang melekat menjadi identitas. Budaya terus dipertahankan dari setiap generasi melalui pendidikan, baik dengan tutur ataupun dengan tulisan, yang selanjutnya dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya menjadi identitas suatu bangsa, selama dia masih tetap dipertahankan oleh para pelakunya. Dia akan hilang jika eksistensinya pada masyarakat mulai ditinggalkan. Walaupun terus diinformasikan, selama tidak menjadi ruh dalam kehidupan maka budaya tersebut akan punah. Budaya ini menjadi sebuah karakter, ciri, dan kebanggaan, lebih jauh lagi menjadi sebuah harga diri dan martabat suatu bangsa.
Nenek moyang bangsa Indonesia diyakini sebagai bangsa yang religius. Hal ini dapat dilihat dari mudahnya agama-agama yang dibawa oleh para pendatang melalui perdagangan dan kemudian berkembang pesat dalam masyarakat bahkan di lingkungan keluarga raja-raja. Kita bisa melihat perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak agama seperti Hindu, Budha, dan Islam pada masa sebelum kemerdekaan. Agama yang berkembang turut mewarnai karakteristik bangsa dan budaya karena terjadi proses difusi, asimilasi, serta akulturasi dalam perjalanan panjangnya.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai agama dan diwariskan melalui budaya para ulama dan pendiri bangsa, kemudian dituangkan ke dalam dasar negara yang disebut Pancasila. Namun tampaknya, ruh Pancasila nampaknya kurang membekas dalam kepribadian para generasi bangsa.
Pendidikan memerankan peranan penting dalam menjaga eksistensi budaya bangsa. Melalui pendidikan, sebuah bangsa akan terus melahirkan generasi yang memiliki rasa cinta terhadap budayanya. Ini bisa terjadi jika konteks pembelajaran menekankan pada pemeliharaan budaya tersebut.
Istilah pendidikan karakter sebenarnya telah lama dikenal dalam dunia pendidikan. Pada masa Yunani (Abad 7SM), telah mengenal pendidikan karakter melalui beberapa fase dalam pemikiran beberapa tokohnya seperti Socrates dan Pluto. Di masa ini, masyarakat dikenalkan tentang pentingnya moral dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa Romawi, pendidikan karakter diutamakan pada pendidikan keluarga. Keluarga sebagai ruang pendidikan dalam menanamkan moral setiap manusia yang akhirnya terakumulasi menjadi moral sebuah bangsa.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke-19, pendidikan karakter kembali dikenalkan oleh seorang tokoh bernama, FW Foerster (1869-1966). Dia merupakan pencetus pendidikan karakter yang menekankan pada dimensi etis-spiritual. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte. Ia secara tegas menolak gagasan Comte yang mereduksi pengalaman manusia hanya terbatas pada hidup yang harus serba ilmiah. Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Pemikiran tentang pentingnya pendidikan karakter sebetulnya telah lama diungkapkan oleh para pendiri bangsa. Sokarno sebagai presiden pertama republik ini pernah mengatakan tentang pentingnya pembentukan karakter sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan pembangunan bangsa Indonesia. Pada masa orde baru, pendidikan karakter masuk ke dalam dunia pendidikan melalui program P4nya atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan mata pelajaran PMP atau Pendidikan Moral Pancasila. Pada era reformasi di Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, pendidikan karakter ini berwujud Pelajaran Budi Pekerti.
ADVERTISEMENT
Sementara pada Kurikulum KTSP 2006 dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 20111, pemerintah mencanangkan pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa. Pendidikan Karakter diartikan sebagai pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action) dalam pencangan tersebut. Ada 18 nilai pendidikan karakter yang ditetapkan pemerintah dalam kurikulum KTSP tersebut yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12)Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca,(16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab. 18 Nilai karakter tersebut harus terintegrasi dalam pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo mencanangkan Gerakan Nasional Revolusi Mental yang didalamnya terdapat program Penguatan Pendidikan Karakter atau PPK. PPK mengutamakan lima nilai karakter, yaitu Religius, Nasionalis, Mandiri, Gotong Royong, dan Integritas. Penguatan kelima karakter ini dalam pendidikan terutama pendidikan dasar diharapkan dapat membentuk individu yang menjadi pelaku perubahan dalam diri sendiri dan masyarakat sekitarnya. PPK hadir dalam dunia pendidikan sebagai ruh bersama dengan kemampuan intelektualitas dalam pembentukan generasi muda yang tangguh, cerdas dan berkarakter. PPK hadir dalam rangka menyongsong Generasi Emas 2045.
PPK hadir untuk memperkuat karakter generasi muda kita dengan melakukan harmonisasi antara olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi dan numerasi) dan olah raga (kinestetik) sesuai dengan falsafah Pancasila. Jadi, dalam pembelajaran ke depan siswa secara seimbang memperoleh ilmu pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang menonjolkan kepribadian bangsa, bukan hanya kecerdasan kognitif saja. Hal ini dilandaskan bahwa kecerdasan kognitif saja tidak dapat menjadi jalan keluar individu dalam menghadapi kesulitan hidup di masa yang akan datang. Tetapi diperlukan kemampuan emosional spritual yang tangguh agar dapat menemukan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Penerapan PPK tak lepas dari kerjasama antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Perlu adanya sebuah iklim yang baik agar penerapannya dapat terwujud seperti yang diharapkan. Sekolah sebagai penanggung jawab berlangsungnya PPK perlu mengadakan sosialisasi dan pemberian pemahaman terhadap orang tua siswa sebagai warga sekolah dan masyarakat sebagai mitra sekolah.
Ekosistem pendidikan yang terdiri atas sekolah, keluarga dan masyarakat harus terjadi sebuah simbiosis mutualisme antar hubungan ketiganya. Ini dapat terlaksana karena akhirnya masyarakat yang akan menerima keuntungannya. Seharusnya PPK yang sedang berjalan nantinya dapat mewujudkan generasi muda yang jauh dari Narkoba, Kenakalan Remaja, Maksiat, dan penyakit masyarakat lainnya karena siswa selain di sekolah dia akan melakukan proses pembelajaran sepanjang waktu termasuk di rumah dan lingkungan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Siswa yang bersekolah akan mendapatkan tugas atau pekerjaan rumah (PR) yang sekait dengan pengembangan lima nilai dalam PPK. Nilai Religius misalnya, maka siswa diharapkan dekat dengan kegiatan spiritual seperti beribadah baik secara pribadi atau bersama-sama di rumah. Nilai Gotong Royong, dapat berupa tugas kerja bakti atau ikut dalam kegiatan kepemudaan di lingkungan sekitarnya. Jadi, tugas rumah tidak hanya bagian mata pelajaran pokok di sekolah tapi sudah menjadi bagian lima karakter utama yang ingin diterapkan oleh pemerintah dalam PPK.
Jika itu dapat terbentuk dengan baik, niscaya ekosistem pendidikan yang baik dapat terwujud pula dan pada akhirnya generasi emas kita dapat kita raih di masa yang akan datang.