Konten dari Pengguna

Menguak Era Baru Evolusi: Rekayasa Genetika dan Masa Depan Manusia

ANDI AKBAR MAS PUTRA
Seorang mahasiswa dari Universitas Brawijaya Jurusan Psikologi yang gemar mendalami ilmu tentang kepribadian maupun berkaitan dengan penjelasan psikologis.
3 Juni 2024 8:29 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ANDI AKBAR MAS PUTRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Picture from iStock)
zoom-in-whitePerbesar
(Picture from iStock)
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan panjang evolusi, Homo sapiens telah menempuh jalur yang berbeda dari spesies lainnya, berkat kemampuan uniknya dalam beradaptasi dan menguasai lingkungannya. Namun, pada abad ke-21, kita sedang menyaksikan titik balik yang signifikan dalam sejarah manusia. Seleksi alam, yang telah lama menjadi pendorong utama evolusi, kini mulai digantikan oleh desain cerdas. Manusia tidak lagi terbatas oleh batasan biologis alami, tetapi mulai mengambil alih kendali atas proses evolusi itu sendiri melalui inovasi dalam rekayasa genetika dan bioteknologi.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi tiga dimensi penting dari perubahan revolusioner ini. Pertama, kita akan melihat bagaimana manusia modern mungkin sedang menuju akhir dari Homo sapiens seperti yang kita kenal. Selanjutnya, kita akan membahas berbagai eksperimen biologi yang menggabungkan elemen dari spesies yang berbeda, menunjukkan potensi dan risiko dari rekayasa genetika. Terakhir, kita akan mempertimbangkan upaya kontroversial untuk menghidupkan kembali spesies yang telah punah, seperti Neanderthal, yang menimbulkan pertanyaan etis dan ilmiah yang mendalam tentang masa depan umat manusia dan evolusi.

Akhir dari Homo Sapiens

Meskipun seleksi alam telah memberikan Homo sapiens keunggulan dibandingkan spesies lain, proses ini memiliki batasan. Sapiens tidak dapat sepenuhnya bebas dari batasan biologis mereka. Namun, di awal abad ke-21, manusia mulai menembus batas-batas ini. Kita memasuki era desain cerdas, di mana hukum seleksi alam digantikan oleh desain yang disengaja. Selama miliaran tahun, evolusi didorong oleh seleksi alam, bukan oleh pencipta cerdas. Jerapah, misalnya, memiliki leher panjang karena kompetisi, bukan karena kehendak makhluk super. Meskipun desain cerdas memungkinkan penciptaan spesies baru, seperti ayam yang gemuk dan lamban, manusia masih memiliki keterbatasan. Kita tidak dapat menciptakan karakteristik yang sepenuhnya baru di luar batasan genetik spesies.
ADVERTISEMENT
Revolusi Agrikultur adalah contoh awal, di mana manusia membiakkan ayam untuk mendapatkan sifat yang diinginkan. Sekarang, para ilmuwan merekayasa makhluk hidup di laboratorium, menciptakan spesies baru yang tidak mungkin terjadi secara alami. Salah satu contohnya adalah Alba, kelinci hijau berpijar yang dibuat oleh Eduardo Kac. Munculnya Alba menandakan awal era baru di mana kehidupan akan dibentuk oleh desain cerdas, bukan seleksi alam. Perubahan ini dapat terjadi melalui rekayasa biologi, rekayasa cyborg, atau rekayasa kehidupan non-organik. Jika ini terjadi, sejarah manusia akan dilihat sebagai periode eksperimen dan magang untuk mempersiapkan era baru ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kini Homo sapiens sedang memasuki era baru di mana kita akan memiliki kendali lebih besar atas evolusi kita sendiri.
ADVERTISEMENT

Mengenai Tikus dan Manusia

Manusia telah lama menggunakan rekayasa biologi untuk memodifikasi organisme untuk berbagai tujuan, baik praktis maupun estetika. Contohnya pengebirian sapi dan babi untuk meningkatkan produksi, dan pengebirian manusia untuk tujuan budaya. Kemajuan dalam biologi molekuler membuka kemungkinan baru yang tak terbayangkan sebelumnya. Salah satu contohnya adalah tikus yang ditanamkan "telinga" dari sel tulang rawan sapi. Hal ini menunjukkan bahwa manusia kini mampu menggabungkan elemen dari spesies berbeda. Jika potensi desain cerdas terwujud sepenuhnya, hal ini dapat memicu revolusi biologi yang lebih besar daripada revolusi sejarah. Kehidupan akan diatur oleh desain cerdas, bukan lagi oleh seleksi alam.
Rekayasa genetika menimbulkan banyak isu etis, politik, dan ideologis. Kritik terhadap rekayasa genetika datang dari berbagai pihak, termasuk kaum religius, aktivis hak-hak binatang, dan aktivis hak asasi manusia. Kekhawatiran utama adalah potensi penyalahgunaan teknologi ini untuk menciptakan manusia super, memperbudak manusia lain, atau merusak lingkungan. Saat ini, rekayasa genetika masih terkonsentrasi pada organisme dengan lobi politik rendah, seperti tumbuhan, jamur, bakteri, dan serangga. Namun, beberapa mamalia seperti sapi dan babi juga sudah menjadi target rekayasa genetika untuk meningkatkan produksi dan ketahanan penyakit. Generasi berikutnya rekayasa genetika diprediksi akan lebih ambisius, dengan fokus pada memodifikasi perilaku dan struktur sosial hewan. Contohnya adalah tikus yang direkayasa secara genetika untuk menjadi monogami.
ADVERTISEMENT

Kembalinya Neanderthal

Kini, para ahli tidak hanya ingin mentransformasikan garis keturunan hidup, sebab mereka juga memiliki keinginan untuk menghidupkan kembali makhluk yang sudah punah. Para ahli genetika tidak hanya ingin mentransformasi garis keturunan makhluk hidup. Mereka bermaksud menghidupkan kembali makhluk yang sudah punah juga. Contohnya, kini ada beberapa ilmuwan yang mengambil satu sel telur yang sudah difertilisasi dari gajah masa kini, menggantikan DNA gajah dengan DNA mamut yang sudah direkonstruksi, dan menanam sel telur itu dalam rahim seekor gajah. Mereka kemudian berharap mamut pertama setelah 5.000 tahun akan lahir.
Namun, hal ini tentunya tidak hanya akan berhenti pada mammot saja, sebab seorang profesor dari Universitas Harvard mengemukakan bahwa dengan rampungnya Proyek Genom Neanderthal, kita kini bisa menanam DNA Neanderthal yang sudah direkonstruksi ke dalam sel telur Sapiens sehingga memproduksi anak Neanderthal pertama dalam 30.000 tahun. Hal ini dilakukan sebab beberapa hal, yakni kita bisa menjawab sebagian pertanyaan tentang asal-usul dan keunikan Homo sapiens. Dengan membandingkan Neanderthal dengan otak manusia. Selain itu, sebagian berpandangan bahwa, jika Homo sapiens bertanggung jawab atas punahnya Neanderthal, maka Sapiens juga punya tugas moral untuk membangkitkannya kembali.
ADVERTISEMENT
Dalam jangka menengah, mungkin beberapa dekade rekayasa genetika dan bentuk-bentuk lain rekayasa biologi bisa jadi akan memungkinkan kita untuk membuat perubahan-perubahan yang berdampak jauh tidak hanya pada psikologi, sistem kekebalan, dan harapan hidup, tetapi juga pada kapasitas intelektual dan emosional. Revolusi Kognitif yang mengubah Homo sapiens dari kera yang tidak signifikan menjadi penguasa dunia tidak mengharuskan perubahan kecil pada struktur otak internal. Mungkin perubahan kecil lainnya sudah cukup untuk memantik Revolusi Kognitif Kedua, menciptakan satu jenis kesadaran yang sama sekali baru, dan mentransformasi Homo sapiens menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali.
Perkembangan pesat dalam bidang rekayasa genetika dan bioteknologi telah membuka pintu bagi kemungkinan yang tak terbayangkan sebelumnya, menggantikan seleksi alam dengan desain cerdas yang dikendalikan oleh manusia. Dari mengakhiri era Homo sapiens, menciptakan organisme hibrida yang luar biasa, hingga upaya menghidupkan kembali spesies yang telah punah, kita berada di ambang era baru dalam sejarah evolusi. Namun, dengan kemajuan ini juga datang tanggung jawab besar. Pertanyaan etis, moral, dan lingkungan menuntut kita untuk berhati-hati dan bijaksana dalam melangkah ke depan. Kita harus memastikan bahwa dalam mengejar kemajuan ilmiah, kita tidak kehilangan kemanusiaan kita atau mengabaikan konsekuensi jangka panjang yang mungkin timbul. Masa depan evolusi kini berada di tangan kita, dan bagaimana kita memilih untuk mengarahkan teknologi ini akan menentukan nasib kita sebagai spesies di planet ini.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Harari, Y. N. (2015). Sapiens. Harper.