Konten dari Pengguna

Basis Epistemologi Aliran-aliran Teologi dalam Islam

Andi Alfian
Magister di Bidang Studi Agama dan Budaya, Universitas Gadjah Mada.
16 Agustus 2022 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh The Dancing Rain: https://unsplash.com/photos/oVR1NmPBsWQ
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh The Dancing Rain: https://unsplash.com/photos/oVR1NmPBsWQ
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi tentang aliran teologi atau aliran kalam, kita dapat menemukan banyak sekali argumentasi-argumentasi keagamaan, dalam segala aspeknya, termasuk dalam tradisi Keislaman: terdapat banyak aliran teologi Islam. Meskipun demikian, ada banyak cara pula untuk memahami argumentasi-argumentasi tersebut, salah satunya adalah dengan cara memahami basis epistemologi masing-masing aliran teologi tersebut. Berikut ini, saya meringkas basis epistemologi dari beberapa aliran teologi dalam Islam.
ADVERTISEMENT
Syiah
Basis epistemologi dari aliran teologi ini adalah Intelektualisme-Pragmatik. Artinya, selain mempertimbangan aspek intelektual, mereka juga mengutamakan relasi emosional terhadap Rasulullah yang dijadikan sebagai landasan keputusan teologis. Perbedaan mendasar yang mengakibatkan munculnya aliran ini—yang juga sebetulnya mengawali munculnya berbagai aliran teologi dalam Islam—adalah persoalan siapa pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara.
Berbeda dengan aliran teologi yang lain, Syiah meyakini bahwa Rasulullah SAW, sebelum menutup mata sebagai tanda kematiannya, telah memberikan washilah kepada Ali bin Abi Thalib untuk menggantikannya. Karena dari segala sisi, termasuk sisi intelektualisme, Ali bin Abi Thalib-lah yang pantas menggantikannya. Tak luput lagi, hanya Ali-lah yang pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya ketika kaum Quraisy hendak membunuhnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalil (Alquran dan Hadis) juga digunakan oleh aliran Syiah untuk menguatkan pemikiran mereka dengan genealogi Intelektualisme-Pragmatik—seperti halnya yang ada dalam hadis safinah dan dalam peristiwa gahdir ghum.
Khawarij
Salah satu aliran teologi yang diduga sebagai aliran yang pertama kali muncul dalam Teologi Islam adalah aliran Khawarij. Meskipun di kemudian hari, banyak tokoh—ilmuan maupun teolog—menyanggah bahwa aliran yang pertama kali muncul adalah Syiah. Terlepas dari perdebatan itu, setelah menganalisa sejarah dan ajarannya, aliran teologi yang satu ini (Khawarij) memiliki basis epistemologi Skriptualisme-Absolut.
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana aliran Khawarij memberikan justifikasi kafir pada kaum beragama yang menafsirkan agamanya (Islam) berbeda dengan teks Alquran. Aliran ini sangat tekstual dalam memahami wahyu. Salah satu pegangan atau landasan paling sering digunakan dalam memberikan justifikasinya adalah Alquran surah al-Maidah ayat 44: “Dan barangsiapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” Semboyan mereka yang paling terkenal adalah “Tidak ada hukum selain hukum Allah.”
ADVERTISEMENT
Ciri khas pemikiran aliran ini amat dekat dengan Skriptualism-Absolut. Menutup segala ijtihad yang dimungkinkan akan muncul terhadap wahyu yang diturunkan dan, bagi mereka, barangsiapa yang tidak mengikuti wahyu sesuai yang tertulis, maka kafirlah ia!
Murjiah
Basis epistemologi dari ajaran dan pemikiran aliran teologi ini adalah Fallibilisme. Basis epistemologi ini sedikit mirip pemikiran Charles Sanders Peirce di dalam pemikiran Barat. Bahwa manusia selalu salah terhadap sesuatu, maka dari itu sudah seharusnyalah tidak memaksakan pemikirannya kepada yang lain. Hal ini sejalan dengan Murjiah yang selalu saja menyerahkan kembali segala keputusan kepada Tuhan. Karena bagi Murjiah tidak ada yang lebih pantas memutuskan selain Tuhan, bahwa Tuhanlah yang berhak memberikan hukuman dan balasan bagi ciptaannya, bukan manusia.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat dilihat ketika Murjiah mengatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam tahkim (perang shiffin) itu tetap berada dalam status mukmin atau beriman. Alasan mereka tidak lain karena “Bukankah yang bertikai paham itu adalah para sahabat Nabi Muhammad sendiri yang dalam pandangan Murjiah merupakan orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar?” Dan menurut Murjiah, hanya Allah sajalah yang tahu apakah para sahabat yang bertikai paham itu masih tetap beriman atau sudah kafir.
Jabariyah
Jabariyah adalah salah satu aliran teologi dalam Islam yang percaya bahwa segala sesuatunya berjalan atas dasar perintah dan kehendak Tuhan. Maka dari itu, segalanya, termasuk hal kecil yang ada dalam diri manusia adalah kehendaknya, manusia tidak punya kehendak bebas untuk memilih dan menentukan jalannya. Semuanya telah ditentukan.
ADVERTISEMENT
Basis epistemologi dari aliran teologi ini adalah Idealisme-Doktrin. Seperti basis epistemologi Plato dalam tradisi pemikiran filsafat. Basis epistemologi yang percaya pada satu muasal pengetahuan yakni nous (Tuhan). Yang percaya bahwa manusia ketika lahir telah diberikan segalanya hukum dari Tuhan. Sehingga manusia pada dasarnya, hanyalah menjalankan segala hukum-hukum itu tanpa kehendak sedikit pun.
Jabariyah memegang erat firman Tuhan dalam Alquran Surah al-An’am ayat 111 bahwa “Kalau sekiranya kami turunkan malaikat kepada mereka dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
Juga dalam Alquran Surah as-Saffat ayat 96 bahwa: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” Serta dalam Alquran Surah al-Anfal ayat 17 bahwa: “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar tetapi Allah-lah yang melempar.”
ADVERTISEMENT
Qadariyah
Aliran ini memiliki basis epistemologi Realisme-Empiris. Maksudnya, corak pemikiran dan ajarannya amat realistis dan empirik. Mereka percaya bahwa manusia memiliki hak penuh terhadap keputusannya. Berbeda dengan pandangan aliran Jabariyah, manusia, menurut aliran teologi ini, memiliki kehendak bebas (free-will). Dengan penuh realistis, aliran ini berpendapat bahwa bagaimana pun nasib pasti bisa diubah menjadi lebih baik. Kita hanya butuh berusaha sekuat tenaga. Sebab hal itu telah difirmankan oleh Allah dalam Alquran.
Adapun landasan teologisnya ada dalam Alquran Surah al-Rad ayat 11 bahwa: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib (keadaan) suatu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Mereka juga menggunakan dalil Surah al-Kahfi ayat 29 bahwa: “Dan katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir’.”
ADVERTISEMENT
Mu’tazilah
Basis epistemologi dari aliran Mu’tazilah adalah Rasionalisme-Dualistik. Maksudnya, corak pemikiran dan ajarannya sangat rasional. Namun, seiring berjalannya zaman aliran ini kemudian lebih mendekat kepada corak empirik-rasional, sehingga boleh dikatakan bahwa aliran ini Rasionalisme-Dualistik. Hal ini dapat kita lihat dalam banyak contoh di ajarannya.
Mu’tazilah adalah salah satu aliran teologi Islam dalam sejarah yang sangat berhati-hati menggunakan hadis, sebab menurut mereka, hadis telah mengalami lebih banyak perubahan untuk kepentingan politis. Oleh karena itu, ia amat kurang mempercayainya, kecuali hadis yang benar-benar dianggap sebagai hadis shahih yang dapat dipertanggungjawabakan. Aliran teologi ini juga sering disebut sebagai aliran Rasionalis Islam.
Asy’ariyah
Pendiri aliran ini mulanya merupakan penganut teologi Mu’tazilah, namun kemudian keluar dan mendeklarasikan diri sebagai muslim yang berteologi Asy’ariyah. Basis epistemologi dari selurah ajaran dan pemikiran aliran teologi ini adalah Intuisionisme-Kritis. Maksudnya, dengan modal intuisi (bermimpi dengan Rasulullah) ia mengkritik Mu’tazilah.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat ditemukan dalam berbagai referensi sejarah soal kemunculan teologi ini. Berdasarkan riwayat dari al-Subki dan Ibn Asakir, Abu Hasan al-Asy’ari bertemu Rasulullah SAW dalam mimpi. Mereka menjelaskan bahwa dalam mimpi itu, Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadis-lah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah adalah salah.
Maturidiyah
Aliran teologi Islam setelah Asy’ariyah adalah Maturidiyah. Aliran teologi ini, biasanya digolongkan dalam satu aliran dalam Ahlusunnah wal jamaah (Sunni) yang tergabung dalam aliran Asy’ariyah. Meskipun demikian, aliran ini memiliki basis epistemologi yang sedikit berbeda dengan Asy’ariyah jika kita melihat dengan cermat ajaran dan pemikirannya. Dari perbedaan itu, dapat disimpulkan bahwa aliran ini memiliki basis epistemologi Dualisme-Intuisi-Rasional.
Maksud dari basis epistemologi tersebut adalah berasal dari intuisi (wahyu) yang didekati dengan cara yang lebih rasional. Sehingga, corak pemikiran aliran ini lebih condong kepada Mu’tazilah dibandingkan Asy’ariyah. Abu Mansur al-Maturidi yang merupakan pengikut Abu Hanifah yang banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaan sedikit banyak mempengaruhinya dalam proses merumuskan ajaran dan pemikiran dalam teologinya.
ADVERTISEMENT
Wahabiyah
Basis epistemologi dari aliran Wahabiyah adalah Kritisisme-Puritanisme-Historis. Maksudnya, landasan paling mendasar dalam rumusan ajaran dan pemikiran Wahabiyah adalah mengkritisi praktik agama yang telah banyak tercemari dan hendak mengembalikan praktik agama yang lebih puritan, yang lebih murni, dengan begitu aliran menggunankan basis epistemologi kritis dengan landasan puritanisme-historis.
Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa “Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan dimasukkan ke dalam neraka.” Berawal dari hadis itu, Muhammad bin Abdul Wahhab—pendiri Wahabiyah—mencoba mengembalikan praktik beragama umat Islam seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dengan begitu, aliran teologi ini mengusung visi “kembali kepada Alquran dan sunnah.”
Sekian dan terima kasih, by @andialfianx
ADVERTISEMENT