Konten dari Pengguna

Flexing dari Kacamata Teori Sosial, Etika Islam, dan Ruang Publik

Andi Fakhrullah
Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - Tertarik dengan isu Pendidikan, Sosiologi Agama dan Komunikasi Islam
15 Agustus 2023 7:34 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Fakhrullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Markus Spiske/pexels.com re-edited by @andifakhrullah
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Markus Spiske/pexels.com re-edited by @andifakhrullah
ADVERTISEMENT
Dalam era yang ditandai oleh pertumbuhan eksponensial media sosial, telah muncul fenomena yang tak terelakkan dalam tatanan interaksi sosial: flexing. Dalam konteks ini, flexing mengacu pada perilaku individu yang dengan sengaja memamerkan prestasi, atribut positif, atau gaya hidupnya kepada orang lain, terutama melalui platform media sosial.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bisa melibatkan tindakan seperti membagikan foto barang mewah atau berbagi pencapaian dengan harapan mendapatkan perhatian dan pengakuan. Meskipun fenomena ini tampak sederhana, di balik gejala flexing ini, ada tiga tujuan utama yang mendorong perilaku tersebut.

Tujuan Flexing dan Relevansinya dengan Teori Sosial

Ilustrasi flexing. Foto: Westend61/Getty Images

1. Penguatan Diri dan Afirmasi Berdasarkan Teori Penegasan Diri

Individu cenderung merasa perlu untuk memahami dan menggambarkan diri mereka sebagai sosok yang sukses dan bermakna. Ini tak jarang dilakukan melalui memamerkan pencapaian yang mencolok atau kepemilikan material yang mengesankan.
Dengan berbagi aspek-aspek ini di dunia digital, mereka berupaya menunjukkan bahwa diri mereka memiliki nilai dan relevansi. Fenomena "flexing" berfungsi sebagai bentuk penguatan diri yang eksplisit, membantu individu merasa lebih yakin dan berharga.
Peran teori penegasan diri, yang dipelopori oleh para psikolog seperti Carl Rogers dan Abraham Maslow, dapat dipahami dalam konteks ini. Teori ini mengakui bahwa individu memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan potensi mereka dan menjadi diri yang sejati.
ADVERTISEMENT
"Flexing" dapat dilihat sebagai respons terhadap dorongan ini, karena individu merasa perlu memanifestasikan prestasi dan atribut positif untuk memenuhi kebutuhan psikologis ini.
Kompetisi dan harapan sosial yang tumbuh kian kuat menjadi pendorong tambahan dalam perilaku "flexing." Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompetitif, individu merasa tekanan untuk menonjol dan berada di barisan depan.
Mereka berusaha untuk mengatasi perasaan ketidakpastian dan keraguan diri dengan menampilkan pencapaian mereka secara terang-terangan. Dalam proses ini, "flexing" berfungsi sebagai bentuk dorongan diri untuk mengatasi tekanan kompetisi dan harapan sosial yang tak henti berkembang.
Dalam konteks ini, "flexing" adalah manifestasi konkret dari teori penegasan diri. Aktivitas ini tak hanya berfungsi sebagai tampilan fisik atau materi, melainkan sebagai pernyataan diri yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Melalui "flexing," individu berbicara pada diri mereka sendiri bahwa mereka memiliki nilai, prestasi, dan tempat di dunia yang semakin terhubung dan serba cepat.
Ini menggambarkan cara orang beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi serta berusaha untuk mengatasi tantangan psikologis dalam menghadapi pandangan diri dan penghargaan sosial.

2. Validasi atau Pengakuan dari Lingkungan Sosial dan Hubungannya dengan Teori Penerimaan Sosial

Sumber: Andrea Piacquadio/pexels.com
Individu yang terlibat dalam "flexing" mengharapkan respons positif sebagai bentuk konfirmasi bahwa pencapaian, kepemilikan, atau atribut yang mereka unggulkan dilihat dan dihargai oleh orang lain. Proses ini memiliki kaitan erat dengan konsep penerimaan sosial, yang adalah aspek penting dalam teori interaksi sosial.
Teori ini menggambarkan bahwa manusia secara alami mendambakan validasi dan persetujuan dari orang-orang di sekitar mereka. Penerimaan sosial menjadi mekanisme untuk memperkuat pandangan positif tentang diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam hubungan dengan "flexing," individu mencari respons positif sebagai alat untuk membangun citra diri yang lebih kuat dan positif. Respons yang diharapkan dari lingkungan sosial menciptakan perasaan puas dan mengarah pada peningkatan rasa percaya diri.
Ketika orang lain memberikan pengakuan atas pencapaian atau atribut yang dipamerkan, ini dapat memberikan pembenaran internal dan memperkuat keyakinan individu tentang nilai dan signifikansi diri mereka.
Konsep ini mewakili perpanjangan dari teori penerimaan sosial yang dikenal dalam ilmu sosial. Teori ini menjelaskan bagaimana orang mencari persetujuan dan pujian dari lingkungan sosial mereka untuk memvalidasi pandangan positif tentang diri mereka.
"Flexing" menjadi contoh kasus nyata bagaimana media sosial dan interaksi online mendorong pencarian penerimaan sosial, dan bagaimana respons positif dari lingkungan sosial dapat memiliki dampak besar terhadap rasa puas dan rasa percaya diri individu.
ADVERTISEMENT
Dalam kerangka ini, "flexing" bukan sekadar tampilan, melainkan komunikasi kompleks yang melibatkan interaksi sosial dan dinamika psikologis. Ini menggarisbawahi betapa pentingnya penerimaan sosial dalam membentuk persepsi diri individu di era digital.
Dengan memahami konsep ini secara lebih mendalam, kita dapat memahami dinamika psikologis di balik perilaku "flexing" dan dampaknya terhadap interaksi sosial dalam masyarakat yang semakin terhubung.

3. Masker Identitas (Topeng) atau Perlindungan dalam Pandangan Erving Goffman dan Teori Dramaturgi

Sumber: Andrea Piacquadio/pexels.com
Melampaui sekadar tindakan memamerkan, "flexing" menjadi sebuah mekanisme kompleks yang menggambarkan peran penting identitas dan perlindungan dalam interaksi sosial, terutama ketika dipandang melalui lensa pandangan Erving Goffman tentang dramaturgi.
Goffman, seorang sosiolog terkemuka, mengembangkan teori dramaturgi yang menyatakan bahwa interaksi sosial dapat disamakan dengan pertunjukan di panggung drama.
Individu berperan seperti aktor yang berusaha memainkan karakter tertentu untuk menciptakan kesan yang diinginkan di hadapan penonton.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks "flexing," individu merancang citra palsu yang mencerminkan kesuksesan dan prestise, berfungsi sebagai "masker identitas" yang mengaburkan ketidakpastian dan kelemahan yang sebenarnya dirasakan.
"Flexing" menjadi bentuk perlindungan psikologis bagi individu yang merasa rentan terhadap ketidakpastian atau tekanan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan menciptakan citra palsu yang menonjolkan kesuksesan, individu mungkin merasa aman dari pertanyaan atau keraguan yang mungkin muncul jika realitas sebenarnya terungkap.
Ini bisa menjadi bentuk pelarian dari perasaan tidak aman atau tantangan yang dihadapi, memberikan rasa kendali dan dominasi atas cara orang lain memandang mereka.
Dalam konteks pandangan Goffman, "flexing" adalah bagian dari upaya individu untuk memainkan peran yang diinginkan dalam panggung sosial. Citra palsu yang mereka ciptakan menjadi kostum dan dialog yang mereka gunakan untuk membangun karakter "sukses" di hadapan penonton online.
ADVERTISEMENT
Di balik pantulan ini, "masker identitas" digunakan sebagai alat perlindungan, menghalangi orang lain untuk melihat ketidakpastian atau kelemahan yang tersembunyi di balik panggung.
Penting untuk dicatat bahwa perlindungan melalui "masker identitas atau topeng" ini dapat memiliki dampak psikologis kompleks. Meskipun mungkin memberikan rasa nyaman sesaat, mengandalkan citra palsu untuk mengatasi ketidakpastian dapat mengarah pada ketegangan dan dissonansi antara realitas dan citra yang diciptakan.
Oleh karena itu, sambil memahami aspek perlindungan dalam "flexing," penting juga untuk membahas dampak jangka panjangnya terhadap kesejahteraan mental dan emosional individu.
Melalui lensa teori dramaturgi Goffman, "flexing" menjadi lebih dari sekadar tampilan; itu adalah permainan peran yang kompleks, mewakili strategi perlindungan yang mungkin diadaptasi oleh individu dalam menghadapi tekanan sosial dan ketidakpastian dalam era media sosial yang semakin kompleks.
ADVERTISEMENT

Konsep Flexing dalam Perspektif Etika dan Nilai-Nilai Islam

Ilustrasi pamer kekayaan atau flexing. Foto: jesterpop/Shutterstock
Saat kita meneropong konsep "flexing" melalui prisma etika dan nilai-nilai dalam Islam, maka gambaran yang terungkap menjadi lebih dalam dan mengandung makna yang mendalam.
Islam sebagai agama yang mengajarkan panduan moral dan etika hidup menawarkan wawasan yang substansial dalam mengatasi fenomena "flexing" dan memandangnya dari sudut pandang yang lebih holistik.

1. Ikhlas (Niat yang Tulus): Mendalami Aspek Spiritual dalam Komunikasi

Dalam Islam, konsep ikhlas (niat yang tulus) memainkan peran sentral dalam setiap tindakan dan komunikasi. Hal ini berarti bahwa komunikasi, termasuk perilaku "flexing," seharusnya dilakukan semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah, dan bukan semata-mata mencari pujian dari manusia.
Mengapa seseorang berbagi pencapaian atau atribut tertentu di media sosial? Apakah niat di baliknya sungguh tulus, ataukah hanya untuk mendapatkan pengakuan dunia? Dalam konteks ini, Islam mengajarkan pentingnya introspeksi dan pembersihan niat saat berkomunikasi.
ADVERTISEMENT

2. Tawadhu' (Sikap Rendah Hati): Mengatasi Dorongan Superioritas

Nilai tawadhu' (sikap rendah hati) yang tercermin dalam teori penegasan diri menjadi dasar dalam Islam. Sikap merendahkan diri dan menghormati sesama adalah elemen penting dalam berinteraksi. Terlibat dalam perilaku "flexing" yang mengekspos superioritas bertentangan dengan nilai ini. Islam mendorong untuk menghormati setiap individu tanpa merasa lebih tinggi dari yang lain.

3. Berbagi dengan Sesama: Penguatan Nilai Sosial dan Kemanusiaan

Ajaran berbagi dengan sesama menggambarkan nilai-nilai sosial dan etika yang ditekankan oleh Islam. Islam mendorong umatnya untuk berkontribusi secara rendah hati dalam hal kekayaan, pengetahuan, dan prestasi. Hal ini melibatkan berbagi secara tulus tanpa bermaksud menunjukkan superioritas.

4. Etika Komunikasi yang Baik: Mengukuhkan Kualitas Interaksi

Pentingnya etika komunikasi yang baik dalam Islam merupakan panggilan untuk menjaga kesantunan dan menghormati orang lain dalam interaksi. Ini juga berarti menghindari perilaku merendahkan orang lain atau membuat mereka merasa tidak dihargai dalam upaya untuk meningkatkan citra diri sendiri.
ADVERTISEMENT

5. Menghindari Riya' (Pamer): Pendorong Kualitas Tindakan

Prinsip menghindari riya' (pamer) dalam Islam menunjukkan bahwa tindakan yang tulus dan ikhlas hanya dilakukan untuk memenuhi kehendak Allah, tanpa tergantung pada pujian atau pengakuan manusia. Konsep ini sejalan dengan teori penerimaan sosial, mengingat bahwa penerimaan sosial bisa menjadi dorongan kuat dalam perilaku manusia.

Ruang Publik dan Konsep Flexing

Sumber: Thirdman/pexels.com
Dalam konteks relevansi konsep "flexing" melalui kerangka teori ruang publik yang diusung oleh Jurgen Habermas, kita dapat memahami interaksi ini dengan lebih mendalam dan luas.
Habermas menjelaskan bahwa ruang publik adalah lingkungan di mana individu berkumpul untuk berdiskusi secara rasional dan demokratis tentang isu-isu masyarakat.
Pendekatan ini memberikan kita wawasan baru terhadap bagaimana fenomena "flexing" dalam media sosial dapat diartikan sebagai suatu bentuk mini dari ruang publik ini.
ADVERTISEMENT
Ketika individu berpartisipasi dalam perilaku "flexing" di media sosial, mereka seolah-olah memasuki ruang publik virtual yang mencerminkan elemen-elemen ruang publik yang sebenarnya. Dalam hal ini, mereka berinteraksi dengan orang lain secara virtual untuk memamerkan pencapaian dan citra diri.
Namun, perlu diakui bahwa ada tantangan dalam dinamika ini. Ketika upaya mempertontonkan diri yang berlebihan mendominasi ruang publik virtual, hal ini bisa mengaburkan substansi diskusi yang rasional dan konstruktif.
Fokus pada pencapaian pribadi yang eksternal sering kali mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih mendalam dan signifikan dalam masyarakat.
Dalam ruang publik yang ideal, diskusi akan berpusat pada pertukaran gagasan, analisis kritis, dan pemecahan masalah bersama. Namun, ketika terlalu banyak perhatian diberikan pada penampilan dan pencapaian personal, esensi ruang publik bisa terdistorsi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, penting untuk memahami bahwa meskipun "flexing" bisa menjadi manifestasi mini dari ruang publik dalam konteks media sosial, perlu ada keseimbangan yang dijaga.
Agar ruang publik virtual tetap menjadi tempat diskusi yang bermakna, kita perlu menjaga kualitas interaksi dengan fokus pada pertukaran gagasan yang mendalam dan konstruktif.
Dengan memahami implikasi dari teori ruang publik Habermas terhadap fenomena "flexing," kita dapat berkontribusi dalam menciptakan ruang diskusi yang lebih substansial dan bermanfaat dalam lingkungan digital.

Refleksi

Sebagai refleksi, dalam upaya menjalankan komunikasi yang sehat, kita perlu mendalami dan mengamalkan prinsip-prinsip di atas. Fleksibilitas dalam komunikasi tidak sekadar tentang mempertontonkan diri, melainkan juga tentang kemampuan untuk beradaptasi tanpa melupakan etika dan nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh agama Islam.
ADVERTISEMENT
Dengan memahami kedalaman makna ini, kita dapat mengelola interaksi sosial dan media sosial dengan cara yang lebih bermakna, bermanfaat, dan sesuai dengan prinsip-prinsip etika serta nilai-nilai yang dianut oleh Islam, sekaligus menghormati ruang publik sebagai wadah diskusi yang substansial dalam masyarakat modern.