news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Bukan hanya Finansial: Menilik Kebutuhan Anak dalam Kacamata Pemikiran Sosiolog

Andi Farhan Fauzi
Mahasiswa Sosiologi Universitas Hasanuddin
22 Maret 2025 20:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Farhan Fauzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pierre Bourdieu, Sumber: Getty Images.
zoom-in-whitePerbesar
Pierre Bourdieu, Sumber: Getty Images.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini sebenarnya lanjutan dari tulisan saya sebelumnya di Kumparan yang berjudul “Mempertegas Peran Negara dalam Mengawasi Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak”. Saya rasa isu yang saya angkat dalam tulisan ini penting untuk dibahas karena dari pengamatan saya pribadi, masih banyak orang tua yang membesarkan anaknya cukup dengan memberikan uang dan fasilitas. Padahal, kebutuhan anak jauh lebih luas dari sekadar finansial.
ADVERTISEMENT
Coba deh, saya mau tanya dulu. Menurut kalian, kalau terlahir di keluarga kaya, hidup pasti lebih bahagia dan sejahtera? Kalau jawabannya "iya", maka temuan psikolog ini berkata sebaliknya. Suniya Luthar adalah seorang psikolog perkembangan yang di akhir tahun 90-an hingga ia wafat meneliti tentang kesehatan mental anak-anak dari keluarga kaya. Menurutnya, anak-anak dari keluarga berpenghasilan tinggi sebenarnya memiliki risiko lebih tinggi terhadap depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang kurang mampu.
Mengapa bisa? Menurutnya, ada dua sebab. Pertama, anak-anak ini sering mengalami tekanan tinggi untuk berprestasi, baik dari orang tua, sekolah, maupun lingkungan mereka. Kedua, mereka sering merasa jauh dari orang tua mereka, baik secara emosional maupun fisik, karena orang tua sibuk dengan pekerjaan atau tuntutan sosial mereka. Akibatnya, meskipun punya banyak uang dan fasilitas, anak-anak ini tetap merasa kesepian dan tertekan.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari hal ini, saya teringat dengan pemikiran salah seorang tokoh sosiolog asal Prancis. Ialah Pierre Bourdieu pada tahun 1970 yang menjelaskan bagaimana kehidupan kita bukan hanya sekedar pilihan, namun dibentuk habitus, modal, dan ranah.
Habitus adalah kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak yang terbentuk sejak kecil berdasarkan lingkungan kita. Sedangkan modal yang dimaksud bukan cuma duit (modal ekonomi), namun segala sesuatu yang bernilai dalam kehidupan sosial yakni modal budaya (pendidikan, keterampilan, kebiasaan intelektual), modal sosial (hubungan dengan orang lain, dukungan emosional), serta modal simbolik (pengakuan dan status sosial). Sementara itu, ranah adalah arena di mana semua modal ini dimainkan, misalnya dunia pendidikan, dunia kerja, atau kehidupan sosial.
Kalau kita kaitkan dengan kebutuhan anak, jelas bahwa membesarkan anak tidak bisa hanya bergantung pada modal ekonomi saja. Toh anak-anak dari keluarga kaya seperti yang diteliti Luthar pun rentan mengalami tekanan psikologis.
ADVERTISEMENT
Orang tua yang membekali anak dengan pemahaman luas tentang dunia, kebiasaan membaca, cara berpikir kritis, serta nilai-nilai sosial yang baik, sebenarnya sedang membentuk habitus anak agar lebih kuat dan siap menghadapi tantangan hidup. Sebaliknya, kalau anak hanya dibesarkan dengan orientasi pada pencapaian akademik dan kesuksesan materi, mereka bisa tumbuh dengan habitus yang rapuh karena harga diri mereka hanya bergantung pada pencapaian dan bukan pada keseimbangan hidup. Ketika mereka gagal atau tidak memenuhi ekspektasi yang tinggi, mereka lebih rentan mengalami kecemasan dan depresi.
Selain itu, modal sosial juga sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan anak. Anak yang punya hubungan dekat dengan keluarga, teman, dan komunitas akan merasa lebih aman dan diterima dalam lingkungan sosialnya. Modal sosial bukan sekadar punya banyak kenalan, tapi tentang bagaimana hubungan tersebut bisa memberikan manfaat emosional dan dukungan yang stabil. Sebab ketika anak merasa didukung dan dicintai, mereka akan lebih mampu menghadapi tekanan hidup dan memiliki ketahanan psikologis yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau kita mau anak tumbuh dengan baik, kita tidak bisa hanya fokus pada memberikan fasilitas terbaik dan uang yang cukup. Anak butuh lingkungan yang mendukung secara emosional, intelektual, dan sosial. Orang tua yang ingin anaknya benar-benar bahagia dan berkembang tidak cukup hanya menyediakan sekolah mahal dan berbagai les tambahan, tapi juga harus hadir secara emosional, membangun kebiasaan yang sehat, dan menciptakan suasana yang penuh kasih sayang. Sebab, pada akhirnya, kesejahteraan anak tidak bisa diukur hanya dengan angka di rekening bank, tapi juga dengan bagaimana mereka merasa dicintai, dihargai, dan didukung dalam setiap langkah mereka.