Konten dari Pengguna

Mempertegas Peran Negara dalam Mengawasi Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak

Andi Farhan Fauzi
Mahasiswa Sosiologi Universitas Hasanuddin
28 September 2024 16:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Farhan Fauzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Freepik
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif sosiologi, keluarga adalah agen sosialisasi pertama yang berfungsi untuk memberikan nilai, norma, dan pembelajaran bagi individu sejak dini. Hal demikian menjadikan pola asuh orang tua memegang peranan penting dalam pembentukan karakter dan masa depan anak. Sayangnya, pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua tidak selalu ideal dan dalam beberapa kasus dan dapat berpotensi merugikan perkembangan anak. Kesalahan pola asuh yang terlalu otoriter, permisif, atau kurang perhatian dapat memicu berbagai masalah perkembangan seperti rendahnya rasa percaya diri, kecenderungan perilaku agresif, hingga masalah kesehatan mental pada anak. Oleh karena itu, kehadiran negara menjadi sangat relevan dalam mengawasi dan memastikan kualitas pola asuh yang diterapkan oleh orang tua demi kesejahteraan anak-anak di masa depan.
ADVERTISEMENT

Peran Negara dalam Kesejahteraan Anak

Sumber: Deposit Photos
Secara historis, peran negara dalam kesejahteraan anak sudah lama diakui melalui berbagai kebijakan dan regulasi. Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak anak sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak PBB yang telah diratifikasi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, serta kesejahteraan anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979. Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan kesejahteraan mereka, serta memberikan sanksi yang lebih berat terhadap pelaku kejahatan terhadap anak.

Antara Kebijakan dan Realitas Lapangan

Sumber: Shutterstock
Meski telah diatur dalam undang-undang. Sayangnya, tindak kekerasan dan ketidakadilan terhadap anak di Indonesia masih marak terjadi. Berdasarkan data terbaru dari situs Kementrian Perlindungan Perempuan dan Anak, terdapat sebanyak 18.630 jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia pertahun 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12.277 terjadi di Rumah Tangga. Contoh kasus terbaru adalah kasus anak yang dibakar oleh ayahnya sendiri di Ternate karena tidak pulang seharian sehingga berujung pada kematian sang anak.
ADVERTISEMENT
Sehingga kendati kebijakan perlindungan anak telah disusun sedemikian rupa, implementasi di lapangan seringkali tidak berjalan mulus. Berbagai faktor seperti ketidakpedulian masyarakat terhadap pelanggaran hak anak, lemahnya penegakan hukum, serta rendahnya edukasi mengenai hak anak, turut mempersulit tercapainya tujuan utama dari kebijakan tersebut. Dalam banyak kasus, ketidaksetaraan gender, kemiskinan, dan keterbatasan akses terhadap pendidikan turut memperburuk kondisi anak-anak.
Sebagai contoh, anak-anak seringkali tidak hanya menjadi korban kekerasan fisik tetapi juga eksploitasi ekonomi. Banyak anak yang dipekerjakan secara ilegal atau dijadikan sebagai sumber penghasilan keluarga, mengabaikan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan waktu untuk bermain. Dalam hal ini, peran negara harus lebih dari sekadar membuat kebijakan, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan tersebut diimplementasikan secara menyeluruh dan mencakup upaya preventif, edukatif, serta rehabilitatif bagi korban kekerasan anak.
ADVERTISEMENT

Hal Lain yang Perlu Diperhatikan Pemerintah

Sumber: Shutterstock
Perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi memiliki dampak yang sangat besar terhadap pola asuh. Peran keluarga sebagai agen sosialisasi primer mulai tergerus oleh pengaruh media, teknologi, dan gaya hidup modern. Terlebih saat ini terjadi kecenderungan orang tua membiarkan anak usia dini bermain gadget, hal demikian didukung oleh data BPS pertahun 2023 yang menyebutkan bahwa sebanyak 36,99% anak telah menguasai atau memiliki telepon genggam.
Kecanduan anak pada gadget tentunya tak lepas dari pola asuh orang tua, sebagaimana dalam studi yang diterbitkan di Journal of Korean Medical Science tahun 2024 menemukan bahwa orang tua yang kecanduan terhadap gadget dibarengi dengan kurangnya pengawasan terhadap anak berhubungan secara signifikan dengan kecenderungan kecanduan gadget yang lebih tinggi pada anak-anak dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
Masalah kecanduan gadget pada anak tentunya bukan masalah biasa. Dilansir dari detik news, sebanyak 98 anak berusia 11-15 tahun menjalani rawat jalan akibat kecanduan gawai di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua Bandung pada tahun 2020. Selain itu, berbagai studi menemukan bahwa kecanduan gadget pada anak berdampak buruk terhadap perkembangan struktur dan fungsi otak anak-anak.
Menghadapi perubahan ini, pemerintah perlu mempertegas peranannya dalam mengawasi dan mengedukasi orang tua tentang pentingnya pola asuh yang sehat dan seimbang. Penyuluhan mengenai penggunaan gadget yang bijak, pembatasan waktu layar, serta peningkatan interaksi orang tua-anak perlu menjadi bagian dari program sosialisasi yang lebih luas. Selain itu, pemerintah harus memperkuat regulasi terkait konten digital yang dapat diakses oleh anak-anak serta mempromosikan alternatif aktivitas yang mendukung perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
ADVERTISEMENT

Pentingnya Pengawasan dan Evaluasi Berkelanjutan

Agar kebijakan negara dalam mengawasi pola asuh dan melindungi anak-anak berjalan efektif, dibutuhkan pengawasan dan evaluasi berkelanjutan. Badan independen yang mengawasi implementasi kebijakan perlindungan anak harus diberi wewenang yang cukup untuk melakukan evaluasi lapangan, menyelidiki pelanggaran, dan memberikan rekomendasi perbaikan secara reguler. Hasil evaluasi tersebut harus dipublikasikan secara transparan, sehingga masyarakat bisa mengetahui sejauh mana upaya perlindungan anak berjalan dan di mana letak kekurangannya.
Selain itu, peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga tidak boleh dikesampingkan. LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak dan pengawasan pola asuh bisa menjadi mitra penting bagi pemerintah dalam menjalankan program-program edukatif dan preventif. Kerja sama lintas sektor antara negara, LSM, dan masyarakat akan meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan serta mempercepat perbaikan kondisi kesejahteraan anak di Indonesia.
ADVERTISEMENT