Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Di Dunia Captain America, Heroisme Dijual; Di Palestina, Heroisme Diperjuangkan
13 Februari 2025 20:36 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Andi Muhammad Haekal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketika industri film kembali diramaikan oleh perilisan Captain America: Brave New World yang tayang pada 12 Februari 2025, ada kenyataan pahit yang sering diabaikan. Hollywood, yang sering kali menjadi simbol kemewahan dan hiburan, telah lama menjadi alat propaganda untuk menormalkan ketidakadilan. Film ini, dengan Shira Haas—aktris asal Israel yang secara terang-terangan mendukung kebijakan Israel terhadap Palestina—di salah satu peran utamanya, adalah pengingat betapa industri hiburan dapat digunakan untuk menyembunyikan kejahatan kolonialisme modern.
ADVERTISEMENT
Sabra, adalah karakter baru yang diperkenalkan dalam Captain America: Brave New World, mengacu pada komik, karakter ini menggunakan kostum putih berhias Bintang Daud, adalah gambaran lain dari bagaimana Hollywood membangun narasi yang melanggengkan ketidakadilan. Nama Sabra sendiri membawa luka mendalam bagi rakyat Palestina, mengingat tragedi pembantaian Sabra dan Shatila pada 1982, di mana ribuan warga sipil kehilangan nyawa akibat kekejaman milisi yang didukung tentara Israel.
Cerita ini tentu melambangkan bagaimana narasi Hollywood dapat digunakan untuk mempromosikan normalisasi apartheid Israel, seperti yang sering dikritik oleh Gerakan Boycott, Divestment, Sanctions (BDS). Dalam perspektif konstruktivisme, narasi semacam ini bukan hanya menggambarkan realitas, tetapi juga membentuk cara masyarakat memandang heroisme dan keadilan. Dengan mendukung film seperti ini, secara tidak langsung, kita ikut andil dalam mengabaikan penderitaan rakyat Palestina dan melegitimasi pendudukan yang telah merenggut masa depan jutaan anak.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh mengenai film ini, perusahaan induk Marvel, Disney, juga memiliki riwayat keterlibatan langsung dengan entitas yang mendukung penjajahan. Pada Oktober 2023, CEO Disney Robert A. Iger mengumumkan sumbangan 2 juta dolar AS untuk bantuan kemanusiaan di Israel, menyebut aksi Hamas sebagai "terorisme" tanpa menyentuh akar penjajahan yang menempatkan rakyat Palestina dalam posisi korban.
Anak-Anak Palestina: Superhero Sesungguhnya
Di Gaza dan Tepi Barat, setiap anak tumbuh di tengah puing-puing dunia yang dihancurkan. Tidak ada taman bermain atau ruang aman untuk bermimpi—hanya reruntuhan bangunan, suara pesawat tempur, dan deru bom yang menjadi melodi sehari-hari. Namun, dari reruntuhan inilah lahir pahlawan-pahlawan kecil, yang keberanian dan tekadnya melebihi kisah epik yang pernah diceritakan oleh Hollywood.
ADVERTISEMENT
Adalah Aya dan Malak, dua anak perempuan yang kisahnya diabadikan dalam liputan khusus, dokumenter Gaza: Still Alive (2019) karya jurnalis asal Inggris, Harry Fear. Kehidupan mereka digambarkan sebagai potret nyata dari anak-anak Gaza yang mencoba bertahan di tengah trauma, ketakutan, dan blokade yang menghancurkan. Malak, yang masih belia, tumbuh dengan ketakutan mendalam akibat penjajahan berkepanjangan, sementara Aya mencoba melanjutkan hidup meski dihantui luka batin. Di mata mereka, bermimpi adalah sebuah kemewahan yang sulit diraih. Yang tersisa hanyalah keberanian untuk bertahan hidup.
Namun, tidak semua anak Palestina memiliki kesempatan untuk terus bertahan. Dunia menyaksikan tragedi Mohammed al-Durrah, bocah 12 tahun yang ditembak mati di pelukan ayahnya oleh tentara Israel pada tahun 2000. Tangis dan ketakutan Mohammed saat itu menjadi simbol perlawanan Palestina, sekaligus pengingat bahwa di tanah ini, bahkan anak-anak tidak lepas dari incaran senjata penjajah.
ADVERTISEMENT
Di tengah kisah penuh penderitaan itu, ada pula kisah Samar Sbaeh yang membangkitkan harapan, ia membagikan kisahnya di International Conference on Palestine Kuala Lumpur (ICPKL) di Seremban, Malaysia (11/02/2023). Samar, seorang perempuan Gaza, ditangkap secara brutal oleh tentara Zionis di rumahnya ketika sedang hamil muda. Di penjara, Samar menjalani mimpi buruk. Dalam kondisi terikat dan tanpa anestesi total, ia melahirkan putranya, Baraa, melalui operasi cesar. Bayi yang seharusnya lahir ke dunia dengan kasih sayang malah memulai hidupnya di balik jeruji besi—tanpa sinar matahari, tanpa nutrisi yang layak, dan dengan popok bekas sebagai satu-satunya pakaian. Meski begitu, Samar tetap bertahan, dan hari ini, Baraa telah menjadi penghafal 25 juz Al-Qur'an, simbol kecil dari kemenangan atas kekejaman.
ADVERTISEMENT
Kisah-kisah ini bukanlah sekadar cerita duka, tetapi juga pengingat bahwa anak-anak Palestina adalah representasi nyata dari heroisme yang tulus—bukan seperti heroisme yang dijual di layar bioskop. Mereka adalah saksi hidup dari proyek kolonialisme yang, seperti dijelaskan oleh Ilan Pappé dalam The Ethnic Cleansing of Palestine (2006), telah direncanakan secara sistematis sejak–bahkan sebelum 1948. Di bawah blokade yang mengisolasi, mereka tetap berjuang untuk meraih secercah harapan, meski akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan kebebasan dasar nyaris tidak ada.
Di balik angka statistik yang sering kita lihat, ada wajah-wajah kecil penuh perjuangan. Laporan Save the Children (2024) mengungkap bahwa 80% anak-anak di Gaza hidup di bawah garis kemiskinan, sementara lebih dari setengahnya menderita trauma berat akibat penjajahan berkepanjangan. Amnesty International bahkan menyebut kebijakan Israel sebagai bentuk apartheid modern. Namun, bagi anak-anak Palestina, angka-angka ini adalah kenyataan sehari-hari yang harus mereka hadapi dengan keberanian dan tekad yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Setiap cerita ini adalah sebuah tantangan terhadap narasi Hollywood yang menjual heroisme sebagai hiburan. Anak-anak Palestina, dengan semua keterbatasan mereka, telah membuktikan bahwa heroisme sejati bukanlah soal kekuatan super atau teknologi canggih, tetapi keberanian untuk bertahan dan melawan ketidakadilan di medan perang yang secara nyata harus mereka hadapi.
Boikot: Senjata Melawan Ketidakadilan
Boikot adalah bentuk perlawanan damai yang telah terbukti efektif. Di masa lalu, gerakan boikot memainkan peran penting dalam mengakhiri apartheid di Afrika Selatan. Kini, gerakan BDS menyerukan hal serupa terhadap Israel. Dengan menolak menonton Captain America: Brave New World, kita bisa mengirimkan pesan bahwa kita tidak akan mendukung narasi yang menormalisasi pendudukan dan penindasan.
Namun, boikot ini bukan sekadar bentuk protes terhadap narasi dalam film. Ini adalah bagian dari perjuangan melawan kolonialisme yang tampak di depan mata. Hollywood bukan hanya sekadar industri hiburan, tetapi juga alat propaganda yang bisa membentuk opini publik dan membenarkan ketidakadilan sistemik. Dengan memilih untuk tidak terlibat dalam produk budaya yang mempromosikan agenda kolonialisme, kita berkontribusi dalam perjuangan yang lebih besar untuk keadilan.
ADVERTISEMENT
Heroisme sejati bukanlah tentang seragam atau kekuatan super. Heroisme sejati adalah keberanian untuk bertahan hidup dalam kondisi yang nyaris mustahil, seperti yang ditunjukkan oleh anak-anak dan pejuang Palestina lainnya setiap harinya. Mereka tidak memiliki tameng vibranium atau serum super soldier, tetapi mereka memiliki tekad yang tak tergoyahkan. Setiap langkah kecil mereka menuju sekolah yang hancur, setiap tawa di tengah blokade yang membuat mereka terisolasi, dan setiap air mata yang mereka sembunyikan dari dunia adalah bentuk perlawanan yang jauh lebih nyata daripada yang bisa ditampilkan di layar lebar dengan segala efek CGI-nya.
Ketika dunia terpukau oleh pahlawan fiksi yang diciptakan oleh Hollywood, mari kita ingat bahwa ada pahlawan sejati yang hidup di bawah penjajahan dan blokade, yang terisolasi, yang berjuang bukan untuk kemasyhuran, tetapi untuk kehidupan yang layak dan bermartabat. Mereka adalah penerus para pejuang yang telah mengorbankan segalanya demi kemerdekaan. Heroisme mereka tidak dijual—heroisme mereka diperjuangkan.
ADVERTISEMENT