Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
22 Ramadhan 1446 HSabtu, 22 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Jangan Percaya Zionis: Penjajahan dan Kebohongan yang Sudah Jadi Tabiat
21 Maret 2025 12:23 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Andi Muhammad Haekal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada Selasa (18/3/25), militer Israel kembali melancarkan serangan brutal ke Jalur Gaza dan Tepi Barat. Rudal dan roket menghantam pemukiman padat penduduk, menewaskan 413 orang dan melukai lebih dari 500 lainnya. Sehari berselang, serangan tak kunjung reda. Bangunan-bangunan runtuh, menyisakan korban yang masih tertimbun di bawah puing-puing. Jumlah korban tewas terus bertambah, mencerminkan kenyataan pahit bahwa gencatan senjata selama ini hanyalah jeda sebelum gelombang kejahatan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Serangan ini bukan sekadar aksi militer; ini adalah pola sistematis yang terus berulang. Dengan dalih mempertahankan hak historis, Israel menancapkan kukunya lebih dalam di tanah Palestina, melanggengkan penjajahan yang telah berlangsung lebih dari tujuh dekade. Dunia internasional melihat, namun sebagian besar memilih diam. Sementara itu, rakyat Palestina terus menjadi korban dari proyek kolonial yang sejak awal didasarkan pada penindasan dan pembersihan etnis.
Israel berulang kali menandatangani gencatan senjata bukan untuk mencapai perdamaian, melainkan untuk membeli waktu, menyusun strategi baru, lalu kembali menggempur Palestina dengan lebih brutal. Sejak eskalasi penjajahan kembali memuncak pada Oktober 2023, lebih dari 50.000 warga Palestina telah menjadi korban pembantaian (B'Tselem, 2024). Ratusan ribu lainnya terluka dan kehilangan tempat tinggal.
ADVERTISEMENT
Zionisme: Ideologi Rasis yang Dilegitimasi Dunia Barat
Sejak awal, Zionisme merupakan proyek kolonialisme modern yang diselimuti propaganda teologis. Para pemimpin Zionis, seperti Theodor Herzl, Golda Meir, dan Ben Gurion, terus menggaungkan narasi bahwa tanah Palestina adalah hak historis dan teologis bangsa Yahudi, merujuk pada teks-teks keagamaan. Namun, dibalik retorika tersebut tersembunyi tujuan utama: pengusiran paksa bangsa Palestina dan pendirian negara eksklusif bagi kaum Yahudi.
Majelis Umum PBB, melalui Resolusi 3379 pada 10 November 1975, telah menyatakan bahwa Zionisme merupakan bentuk rasisme dan diskriminasi rasial. Namun, kepentingan geopolitik dunia Barat terus memungkinkan Israel melanggengkan kebijakan apartheid terhadap rakyat Palestina. Ilan Pappé (2006) dalam The Ethnic Cleansing of Palestine menjelaskan bahwa pembersihan etnis sistematis telah menjadi bagian dari kebijakan Israel sejak 1948.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, Zionisme berkembang menjadi alat supremasi yang menempatkan kaum Yahudi Israel di atas hukum, sementara rakyat Palestina hidup di bawah penjajahan. Ketimpangan ini semakin ditegaskan melalui Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi yang disahkan pada 2018, yang secara eksplisit menyatakan bahwa hanya bangsa Yahudi yang memiliki hak menentukan nasib di Israel. Akibatnya, Palestina terus dimarginalkan dan terisolasi dalam sistem yang menindas.
Propaganda Zionisme dan Realitas di Gaza
Lebih jauh lagi, penjajahan ini bukan sekadar soal wilayah atau pertahanan, melainkan bagian dari proyek dominasi yang lebih luas. Samuel P. Huntington pakar politik internasional asal AS dalam bukunya Who Are We (2004) menjelaskan bahwa setelah Perang Dingin, AS memindahkan fokus perang ideologinya dari komunisme ke Islam militan. Nah, karena Hamas dikategorikan sebagai Islam militan, maka mereka harus ditumpas. Juga, siapa pun yang melindungi Hamas dan bersama Hamas, seperti wanita dan anak-anak Palestina, juga halal dibunuh. Dengan demikian, AS tidak hanya mendukung Israel secara militer, tetapi juga membentuk narasi global yang membenarkan genosida terhadap Palestina.
ADVERTISEMENT
Kesaksian dari berbagai pihak, termasuk jurnalis Yahudi sendiri, menunjukkan bagaimana propaganda Zionis telah menutupi kebenaran tentang Hamas dan perjuangan Palestina. Cuitan di X jurnalis bernama Don Cohen dari Uncaptured News pada (19/03/25), semakin mempertegas realitas yang terjadi di Gaza:
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini menegaskan bahwa Zionisme bukan sekadar ideologi nasionalisme, melainkan proyek kolonial yang mengandalkan penindasan brutal. Bahkan, Amerika Serikat—yang selama ini menjadi sekutu utama Israel—tidak sepenuhnya berdaulat dalam kebijakan luar negerinya karena pengaruh Zionis yang begitu kuat.
Zionisme dalam Krisis Eksistensial
Shofwan Al Banna, Kepala Program Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia, dalam analisisnya di media sosial X (19/3/2025), menyoroti ketidakstabilan politik Israel di bawah Netanyahu, peran Amerika Serikat dalam penjajahan, serta meningkatnya represi terhadap Palestina. Ia menjelaskan bahwa keputusan Netanyahu untuk menyepakati gencatan senjata bukan didasarkan pada niat untuk mencapai perdamaian, melainkan akibat tekanan politik internal dan pengaruh eksternal, khususnya dari Donald Trump. Selain itu, Netanyahu menghadapi tekanan tambahan akibat penyelidikan kasus korupsi yang kembali berlanjut selama gencatan senjata, semakin memperlemah posisinya secara politik. Ketergantungan Israel pada dukungan AS semakin kentara, sementara di sisi lain, dukungan terhadap Zionisme dalam politik domestik AS mulai meredup.
ADVERTISEMENT
Israel melihat pemerintahan Trump sebagai kesempatan emas yang harus dieksploitasi. Jika gagal, reaksi balik terhadap Trump bisa berujung pada reaksi balik terhadap Zionisme secara keseluruhan. Namun, Trump sendiri adalah figur tidak terduga, membuat kalkulasi geopolitik semakin sulit. Pernyataan terbaru Adam Boehler, yang menyebut Hamas sebagai manusia juga, menunjukkan sedikit pergeseran dalam elite AS. Namun, lobi Zionis segera melakukan kampanye negatif hingga Boehler dipecat dari posisinya sebagai utusan khusus untuk urusan sandera
Shofwan juga menegaskan bahwa proyek kolonial Zionisme kini berada dalam fase krisis eksistensial, yang mendorong intensifikasi genosida terhadap Palestina. Entitas yang bertumpu pada kekerasan permanen—melalui apartheid, pembersihan etnis, serta ekspansi dan teror—akan selalu bergantung pada perlindungan adidaya yang memberinya impunitas. Namun, perubahan struktural global menunjukkan bahwa supremasi AS kian melemah, sementara dukungan terhadap Zionisme di dalam negeri juga semakin menyusut, menyisakan elite tua yang masih bersikeras mempertahankan status quo.
ADVERTISEMENT
Sejarah membuktikan bahwa rezim yang mendekati kehancuran seringkali bertindak lebih brutal, sebagaimana terjadi pada apartheid di Afrika Selatan sebelum runtuh. Oleh karena itu, perlawanan terhadap Zionisme bukan sekadar pilihan moral, melainkan keharusan sejarah yang hanya menunggu momentum yang tepat.
Ia mengusulkan tiga langkah utama: meningkatkan tekanan internasional terhadap AS, memperkuat solidaritas transnasional, serta memberikan berbagai bentuk dukungan bagi Palestina, termasuk melalui aksi hukum, boikot, dan kampanye kesadaran. Di tengah represi yang semakin brutal, perjuangan global untuk keadilan Palestina menjadi semakin mendesak.
Sejarah Kebiadaban Israel
Zionisme telah mengubah sejarah Palestina menjadi tragedi kemanusiaan yang tak berkesudahan. Sejak Nakba 1948, lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari tanah mereka, dan Israel terus memperluas pendudukannya melalui kekerasan. Negara ini bukan sekadar entitas politik, tetapi proyek kolonial yang menerapkan pembersihan etnis secara sistematis. Serangan terhadap Gaza dan Tepi Barat, penghancuran rumah, serta blokade ekonomi hanyalah bagian kecil dari kebijakan apartheid yang diterapkan terhadap rakyat Palestina.
ADVERTISEMENT
Sejarah panjang kebiadaban Israel terus mencatat tragedi-tragedi kemanusiaan yang mengerikan. Salah satu contohnya adalah kisah Shaaban Al Dalou, pemuda penghafal Quran dari Gaza yang dibakar hidup-hidup selama pengeboman Rumah Sakit Syuhada Al Aqsa, Deir el-Balah, oleh tentara Zionis Israel pada 13 Oktober 2024. Padahal, area tersebut telah ditetapkan sebagai zona aman, menyangkut area pengungsi dan pasien. Peristiwa seperti ini bukanlah kejadian penyerangan biasa, melainkan bagian dari pola kekejaman yang berulang, dan kebrutalan yang terencana untuk menanamkan teror di benak rakyat Palestina.
Islam sebagai Pelindung
Sebaliknya, Islam memiliki sejarah perlakuan yang jauh lebih manusiawi terhadap kaum Yahudi. Ketika Umar bin Khattab menaklukkan Yerusalem pada tahun 636 M, ia tidak melakukan pembantaian, tidak menghancurkan tempat ibadah, dan tidak memaksa siapa pun untuk berpindah agama. Ini berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Zionisme terhadap Palestina. Bahkan, ketika kaum Yahudi diusir dari Spanyol pada abad ke-15, mereka justru menemukan perlindungan di Kesultanan Utsmani. Sultan Bayezid II membuka pintu bagi mereka, sebuah ironi besar mengingat bagaimana kini Israel justru menindas rakyat Palestina yang memberikan perlindungan kepada mereka di masa lalu.
Karen Armstrong dalam A History of Jerusalem: One City, Three Faiths (1997), mencatat bagaimana Umar menaklukkan Baitul Maqdis dengan cara damai, tanpa pembantaian, perusakan, atau paksaan untuk memeluk Islam. Armstrong menulis,
ADVERTISEMENT
Ketika Eropa melakukan pembantaian massal terhadap orang Yahudi, mereka justru menemukan perlindungan di dunia Islam, baik di Andalusia maupun di Kekaisaran Ottoman. Kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di Al-Andalus, sebagaimana Armstrong menyebutnya dalam Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World (1991):
Namun, kebaikan yang diberikan penguasa Muslim kepada kaum Yahudi akhirnya disalahgunakan oleh gerakan Zionis. Setelah mendapatkan perlindungan dari Sultan Bayezid II pada abad ke-15, kaum Yahudi kemudian bersekutu dengan kekuatan Barat dan elemen sekuler di Turki untuk menumbangkan Kekhalifahan Utsmani. Kini, setelah berkuasa, kaum Zionis justru menebar teror dan pelanggaran HAM di Palestina.
ADVERTISEMENT
Masa Depan Zionisme
Sejak awal, Zionisme berdiri di atas kebohongan. Mereka mengklaim sebagai bangsa yang teraniaya, tapi justru menjadi penindas. Mereka bicara soal perdamaian, tapi setiap gencatan senjata hanya mereka gunakan sebagai jeda untuk merencanakan pembantaian berikutnya. Janji-janji mereka kepada dunia hanyalah ilusi, strategi untuk menutupi tabiat aslinya: perampasan, penghancuran, dan genosida yang terencana.
Namun, kebohongan tidak akan bertahan selamanya. Dunia mulai melihat wajah asli Zionisme—sebuah ideologi yang tak ada bedanya dengan kolonialisme dan apartheid. Propaganda mereka semakin lemah, sementara solidaritas untuk Palestina semakin kuat. Mereka mungkin bisa membungkam media, mengontrol narasi, atau membeli dukungan dari kekuatan besar, tetapi mereka tidak bisa menghentikan gelombang kesadaran yang terus membesar.
Sejarah selalu membuktikan bahwa penindasan tak akan abadi. Setiap kejahatan punya akhir. Dan seperti semua rezim kolonial yang tumbang, Zionisme pun akan sampai pada kehancurannya. Itu bukan sekadar kemungkinan—itu adalah keniscayaan.
ADVERTISEMENT