Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Palestina di Era Prabowo: Komitmen atau Formalitas?
1 Maret 2025 13:52 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Andi Muhammad Haekal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia selama ini menempatkan dukungan terhadap Palestina sebagai pilar utama dalam kebijakan luar negerinya. Komitmen ini tertuang dalam konstitusi yang menolak segala bentuk penjajahan. Terekam banyak jejak, semasa Prabowo Subianto mencalonkan diri sebagai presiden dengan berbagai janji, termasuk komitmen terhadap Palestina. Kampanye 2014, 2019, Pilpres 2024, hingga pelantikannya pada Oktober 2024—semuanya diwarnai pernyataan lantang soal keberpihakan Indonesia terhadap perjuangan Palestina.
ADVERTISEMENT
Namun, belum hilang di ingatan bahwa Prabowo yang lantang menyatakan dukungan terhadap Palestina adalah Prabowo yang sama yang dalam debat capres 7 Januari 2024 menyebut bahwa permasalahan di Palestina, khususnya di Gaza, terjadi karena lemahnya kekuatan militer mereka. Lebih dari itu, ia lebih sering menyebutnya sebagai 'masalah perang' ketimbang mengakui realitas genosida yang terjadi. Pernyataan ini menuai kritik tajam karena menunjukkan perspektif militeristik yang mengabaikan akar persoalan kolonialisme dan perjuangan dekolonisasi yang menjadi inti dari perjuangan, Palestina.
Lebih tegas usai dilantik menjadi Presiden, Prabowo juga menyatakan bahwa diplomasi Indonesia akan tetap berada di garis depan dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Begitu pula dengan Menteri Luar Negeri yang baru, Sugiono, yang berjanji bahwa Indonesia "tidak akan pernah meninggalkan Palestina."
ADVERTISEMENT
Tapi seiring berjalannya waktu, apakah janji-janji ini benar-benar akan direalisasikan? Ataukah diplomasi Palestina di era Prabowo-Sugiono hanya menjadi alat pencitraan politik tanpa aksi yang konkret?
Rekonstruksi Gaza
Gencatan senjata antara Hamas dan penjajah Israel tidak serta-merta mengakhiri penderitaan rakyat Gaza. Justru, setelah serangan brutal yang menghancurkan hampir seluruh infrastruktur, pekerjaan besar berikutnya menanti: rekonstruksi Gaza. Namun, proses ini bukan hanya sekadar membangun kembali gedung-gedung yang luluh lantak, tetapi juga menegaskan bahwa Gaza adalah milik rakyat Palestina, bukan entitas penjajah yang selama ini mengekang kebebasan mereka.
Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mencatat bahwa tingkat kerusakan di Gaza mencapai 69 persen, dengan lebih dari 80 persen infrastruktur komersial hancur dan 68 persen jaringan jalan rusak. Sementara itu, 92 persen rumah di Gaza mengalami kerusakan berat atau hancur total. Ini adalah konsekuensi langsung dari agresi Israel yang menggunakan kekuatan militer secara brutal untuk menghancurkan wilayah Palestina.
ADVERTISEMENT
Namun, meski gencatan senjata telah tercapai, kendali atas Gaza tetap menjadi titik masalah utama. Israel, sebagai entitas kolonial, masih berusaha mempertahankan kontrol atas wilayah yang bukan haknya. Mereka bahkan membangun zona penyangga di seluruh perbatasan Gaza, sebagai langkah untuk terus mengontrol pergerakan rakyat Palestina. Di sisi lain, Hamas sebagai pemerintahan sah di Gaza tetap bertahan, meski dihantam oleh serangan Israel yang mencoba melemahkan posisinya.
Rekonstruksi Gaza tidak bisa dilepaskan dari perjuangan Palestina untuk merdeka. Israel dan sekutunya tentu tidak ingin melihat Gaza bangkit kembali, sebab kehancuran Gaza adalah bagian dari strategi mereka untuk mengendalikan Palestina sepenuhnya. Selain itu, dualisme kontrol yang diciptakan Israel di Gaza bertujuan untuk menghambat rekonstruksi dengan menanamkan ketergantungan pada bantuan yang dikontrol oleh Barat. Oleh karena itu, dunia Islam, terutama negara-negara yang mendukung Palestina, harus memainkan peran utama dalam membantu membangun kembali Gaza tanpa intervensi dari Israel dan sekutunya, AS yang baru-baru ini dengan rencana kontroversinya.
ADVERTISEMENT
Tantangan besar lainnya adalah pembersihan puing-puing akibat agresi Israel. United Nations Environment Programme (UNEP) dan United Nations Satellite Centre (UNOSAT) memperkirakan lebih dari 50 juta ton puing harus dibersihkan, dan proses ini bisa memakan waktu hingga 21 tahun. Biaya pembersihan sendiri diperkirakan mencapai 909 juta USD, belum termasuk biaya rekonstruksi yang jauh lebih besar.
Namun, lebih dari sekadar dana, yang paling penting adalah memastikan bahwa rekonstruksi ini tidak mengarah pada upaya Israel untuk mengontrol kembali Gaza. Setiap bantuan yang datang dari negara-negara yang memiliki kepentingan dengan Israel harus diwaspadai agar tidak menjadi alat untuk menekan Hamas atau menggiring Gaza ke dalam kontrol rezim kolonial.
Oleh karena itu, diperlukan strategi rekonstruksi yang benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat Palestina. Mekanisme pendanaan internasional harus diarahkan kepada negara-negara yang pro-Palestina dan independen dari pengaruh penjajah Israel, seperti Qatar, Turki, dan negara-negara lain yang memiliki komitmen terhadap perjuangan Palestina. Selain itu, rekonstruksi Gaza juga harus dilakukan dengan memperkuat kapasitas lokal, bukan dengan mendatangkan kontraktor asing yang hanya akan mengambil keuntungan dari penderitaan rakyat Palestina.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan antara Presiden Prabowo dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Istana Kepresidenan Bogor (12/02/2025), keduanya sepakat bahwa solusi dua negara merupakan jalan terbaik untuk perdamaian dan kemerdekaan Palestina. Namun, hingga saat ini, belum ada tindakan konkret dari pemerintah Indonesia terkait mekanisme bantuan kemanusiaan bagi Palestina.
Jika dibandingkan dengan Turki, Indonesia masih tertinggal dalam aksi nyata. Turki telah mengirimkan kapal bantuan ke-14 ke Jalur Gaza hanya beberapa hari setelah gencatan senjata berlaku, sementara Indonesia masih mengandalkan mekanisme organisasi kemanusiaan nasional seperti BAZNAS dan PMI, tanpa pengiriman bantuan langsung dari pemerintah.
Peran Indonesia: Dari Janji hingga Implementasi
Pada tahun 2024, Indonesia meningkatkan kontribusinya kepada United Nations Relief and Works Agency (UNRWA) hingga tiga kali lipat dan terus menambah dukungan di tahun berikutnya. Meski UNRWA menghadapi tekanan finansial dan campaign ‘negatif’, Indonesia tetap berkomitmen memperkuat mandatnya dalam menangani pengungsi Palestina. Selain pendanaan langsung, Indonesia juga menjajaki kerjasama dengan berbagai lembaga untuk memastikan bantuan terus mengalir.
ADVERTISEMENT
Selama menjabat, Menlu Retno Marsudi aktif dalam berbagai forum internasional, mendorong resolusi PBB, konferensi internasional, dan diplomasi kemanusiaan. Sementara itu, Menlu Sugiono, sejak menjabat pada Oktober 2024, telah melakukan beberapa pertemuan diplomatik, termasuk dengan Sekjen PLO Hussein Al-Sheikh dan Menlu Arab Saudi Pangeran Faisal Bin Farhan Al Saud.
Meskipun berbagai pertemuan telah dilakukan, kritik terhadap diplomasi Menlu Sugiono juga muncul. Ketua Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Lina Alexandra, menyoroti kurangnya inisiatif baru dari pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis di Palestina. Dalam sebuah diskusi pada 13 Januari 2025, ia menyatakan bahwa hingga saat ini, belum ada proposal atau langkah konkret yang menunjukkan perubahan strategi diplomasi Indonesia terkait Palestina.
ADVERTISEMENT
Selain itu, laporan Tempo (25/02/2025) mengungkapkan bahwa koordinasi internal di Kementerian Luar Negeri mengalami kekacauan akibat ketidakjelasan tugas pokok dan fungsi para pejabatnya. Menlu Sugiono disebut enggan membuat rancangan tertulis dalam koordinasi, hanya memberikan disposisi secara lisan kepada sekretaris pribadinya tanpa komunikasi dengan jajaran di bawahnya. Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan pejabat Kementerian.
Sebagai contoh, berdasarkan laporan Tempo, dalam pertemuannya dengan Direktur CIA William J. Burns di Washington DC pada 12 November 2024 dan dengan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer di London pada 21 November 2024, tidak ada catatan resmi yang dibuat oleh Menlu Sugiono maupun Teddy, yang mendampingi Prabowo dalam kedua kesempatan tersebut. Kekosongan dokumentasi ini menunjukkan lemahnya tata kelola diplomasi Indonesia dan membuka ruang bagi manipulasi kebijakan luar negeri oleh pihak-pihak tertentu. Kurangnya transparansi dalam diplomasi ini tidak hanya mengaburkan arah politik luar negeri Indonesia tetapi juga berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.
ADVERTISEMENT
Selain kelemahan administratif, diplomasi Indonesia di bawah kepemimpinan Sugiono juga dinilai belum mampu beradaptasi dengan dinamika geopolitik yang berkembang pesat. Jika dibandingkan dengan Turki atau Qatar yang mampu memainkan peran strategis dalam mediasi masalah penjajahan, Indonesia masih terjebak dalam retorika diplomatik tanpa implementasi konkret. Seharusnya, Indonesia tidak hanya mengutuk agresi Israel tetapi juga membangun aliansi yang lebih erat dengan negara-negara Muslim untuk menekan aktor-aktor yang mendukung pendudukan Palestina.
Menurut Broto Wardoyo, Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, dalam keterangan tertulisnya (21/02/2025), peran Indonesia dalam isu Palestina sangat bergantung pada kebijakan pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam konteks rekonstruksi Gaza, Indonesia dapat mengambil inisiatif diplomatik untuk mendorong pembentukan koalisi internasional yang mendukung proses rekonstruksi tanpa intervensi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan kolonial. Selain itu, Indonesia dapat berperan sebagai mediator dalam menyatukan faksi-faksi di Palestina guna memastikan stabilitas internal yang kondusif bagi proses rekonstruksi.
ADVERTISEMENT
Palestina dan Masa Depan Diplomasi Indonesia
Di dalam negeri, komitmen terhadap Palestina juga diuji oleh kondisi politik dan ekonomi yang semakin kompleks. Di tengah efisiensi anggaran yang mencuat, juga berbagai kontroversi kebijakan yang ambisius dari program makan bergizi gratis, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), hingga megaproyek Danantara, anggaran negara semakin terbebani. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, semakin memperburuk krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dengan kondisi ini, muncul pertanyaan: seberapa serius Indonesia dalam membantu Palestina?
Dukungan terhadap Palestina tidak bisa hanya menjadi alat diplomasi untuk menjaga citra di kancah internasional. Lebih dari itu, kontribusi Indonesia harus lebih konkret dan terukur. Realisme politik dan idealisme dukungan terhadap Palestina harus seimbang. Tanpa keseimbangan ini, peran Indonesia akan tetap minim dan tidak memberikan dampak berarti.
ADVERTISEMENT
Yang terpenting, suara rakyat Palestina sendiri harus menjadi prioritas. Mereka tidak hanya ingin rumah-rumah mereka dibangun kembali, tetapi juga menginginkan kebebasan dari kontrol Israel dan hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Rekonstruksi Gaza bukan hanya proyek kemanusiaan, tetapi bagian dari perlawanan terhadap penjajahan.
Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, memiliki tanggung jawab moral untuk berada di garis depan perjuangan ini. Namun, tanpa tindakan nyata yang melampaui sekadar retorika diplomasi, komitmen Indonesia terhadap Palestina akan terus dipertanyakan.
Saat dunia menunggu kepastian, rakyat Palestina tidak bisa menunggu lebih lama. Gaza membutuhkan rekonstruksi, tetapi yang lebih utama, Palestina membutuhkan kebebasan. Dan pertanyaannya tetap: di mana posisi Indonesia dalam perjuangan ini?
ADVERTISEMENT