Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Wacana Trump Menyoal Relokasi Masyarakat Gaza Adalah Ide Paling Absurd
31 Januari 2025 11:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Andi Muhammad Haekal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah 471 hari perjuangan, kesabaran, dan kegigihan pejuang Palestina di Gaza, akhirnya gencatan senjata pun telah resmi disetujui.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Associated Press (19/1/2025), terdapat tiga fase perjanjian gencatan senjata yang implementasinya akan berakhir di bulan Mei, yang mana Israel terikat untuk berhenti melakukan penyerangan di Gaza secara permanen.
Jelas, ini merupakan kemenangan awal bagi pejuang Palestina di Gaza. Israel sebagai pihak aggressor hanya bisa dikatakan menang jika berhasil menguasai wilayah yang diserang, sementara pihak resistance (Palestina) menang jika mampu bertahan. Dengan kesepakatan ini, Israel gagal mencapai tujuannya.
Namun, di tengah kegagalan ini, muncul kembali wacana absurd dari Donald Trump mengenai relokasi masyarakat Gaza ke luar wilayah mereka. Ide ini bukan hanya tidak realistis, tetapi juga mengabaikan fakta bahwa masyarakat Palestina, khususnya di Gaza tetap teguh mempertahankan tanah air mereka.
ADVERTISEMENT
Kegagalan Israel Selama di Gaza
Selama lebih dari setahun terhitung dari eskalasi penjajahan 7 Oktober 2023, Israel mengeklaim akan menghancurkan Hamas, namun kenyataannya, Hamas masih berfungsi sebagai otoritas de facto di Gaza. Seperti yang disoroti oleh Zvi Bar’el, jurnalis senior Haaretz, Hamas tetap mengatur kehidupan sipil di Gaza, termasuk mengawasi distribusi bantuan kemanusiaan dan kembalinya warga ke wilayah mereka.
Israel telah menjatuhkan ribuan ton bom, tetapi mereka tidak mampu menghilangkan Hamas. Alih-alih menghancurkan organisasi tersebut, penjajahan yang dilakukan oleh Israel justru memperlihatkan ketahanan dan kegigihan masyarakat Gaza, Palestina.
ADVERTISEMENT
Israel kini menjadi aktor yang terisolasi di dunia internasional. Rezim Zionis menjadi terdakwa di persidangan pelanggaran Konvensi Genosida di Den Haag, sedangkan Netanyahu adalah buronan dari Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).
Wacana Relokasi Gaza: Ide yang Tidak Realistis dan Melanggar Hukum Internasional
Di tengah kegagalan Israel, Trump kembali mengusulkan ide relokasi masyarakat Gaza. Wacana ini bukan hanya tidak manusiawi, tetapi juga mengabaikan realitas di lapangan.
Masyarakat Gaza tidak memilih untuk meninggalkan tanah mereka, bahkan setelah kehancuran di Gaza. Ribuan warga yang kembali ke wilayah utara Gaza menjadi bukti bahwa mereka tidak menyerah pada agresi Israel.
Lebih jauh lagi, relokasi paksa ini bertentangan dengan Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat yang secara tegas melarang pemindahan paksa penduduk oleh kekuatan pendudukan. Resolusi PBB 194 (1948) juga menjamin hak pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah mereka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Majelis Umum PBB secara berkala mengeluarkan resolusi terkait situasi di Palestina. Sebagai contoh, pada 18 September 2024, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menyerukan Israel untuk mengakhiri pendudukan ilegalnya di wilayah Palestina dalam waktu satu tahun.
Bahkan, selain wacana absurd dari Trump, muncul pula pernyataan menggelikan dari seorang public figure Indonesia, Guru Gembul. Ia memberikan sentimen terhadap pihak yang menolak gagasan relokasi masyarakat Gaza dengan menyatakan:
Pernyataan ini menunjukkan pemahaman yang dangkal terhadap esensi perjuangan Palestina. Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina di atas tanah mereka sendiri, bukan sekadar memberi tempat bagi para pengungsi. Memindahkan bangsa Palestina ke negara lain, termasuk Indonesia, berarti menyerahkan tanah mereka kepada Israel dan mengukuhkan proyek kolonialisme yang selama ini ditentang.
ADVERTISEMENT
Relokasi Paksa: Bentuk Pembersihan Etnis dalam Sejarah
Jika kita melihat sejarah, relokasi paksa selalu menjadi bagian dari praktik kolonialisme yang tidak pernah membawa keadilan bagi korban. Mahmood Mamdani dalam bukunya Neither Settler Nor Native menyoroti bagaimana perpindahan paksa suatu kelompok etnis tidak pernah menjadi solusi yang adil, melainkan hanya memperpanjang ketidakadilan struktural. Hal ini juga terjadi dalam berbagai peristiwa sejarah, seperti:
Sejak penjajahan dan genosida yang dilakukan oleh Israel pada 7 Oktober 2023, lebih dari 1,9 juta warga Gaza telah mengungsi, menurut data UNRWA (4/12/2023). Mendorong mereka keluar dari wilayahnya bukan hanya tidak bermoral, tetapi juga mendukung pembersihan etnis yang terang-terangan.
ADVERTISEMENT
Posisi Indonesia
Indonesia menolak relokasi bukan karena ketidaksediaan menampung pengungsi, tetapi karena ingin memastikan Palestina tetap memiliki tanahnya sendiri. Sejak era Soekarno, Indonesia konsisten
mendukung kemerdekaan Palestina dalam berbagai forum internasional, termasuk di Konferensi Asia-Afrika 1955.
Tantangan diplomasi bagi Indonesia adalah tekanan dari negara-negara Barat dan AS yang berusaha mendorong solusi relokasi sebagai "jalan tengah." Namun, sejarah menunjukkan bahwa solusi sejati bagi Palestina bukan dengan eksodus massal, melainkan dengan penghapusan penjajahan.
Kini, dukungan terhadap Palestina semakin menjadi konsensus global, ditandai dengan bertambahnya negara-negara Eropa yang mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, seperti Irlandia, Spanyol, Norwegia, dan Slovenia. Dunia tidak boleh membiarkan sejarah Nakba terulang kembali.
Jika dunia serius ingin menyelesaikan penjajahan ini, maka yang perlu dilakukan bukanlah membahas relokasi, melainkan menekan Israel untuk mengakhiri penjajahan dan genosida. Palestina tidak butuh suaka—mereka butuh keadilan.
ADVERTISEMENT