Konten dari Pengguna

Meliana dan Pesan Kepada Kawan

Andi Muhammad Rezaldy
Staf Advokasi Hak Asasi Manusia di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
17 Oktober 2018 15:06 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Muhammad Rezaldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Meliana dan Pesan Kepada Kawan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Lantunan suara takbir menggema begitu merdunya, langit-langit jakarta dihiasi kembang api dengan berbagai rupa, anak-anak berlarian dan bermain dengan suka cita menandakan hari kemenangan itu akan tiba. Ketika itu, penulis bersama remaja masjid menyalurkan api semangat kemenangan melalui pelantang suara masjid, satu per satu secara pasti bergantian melantunkan takbir dari malam hingga dini hari.
ADVERTISEMENT
Tampak seorang ibu paruh baya menghampiri, rumahnya tidak terlalu jauh dari areal masjid, Ia berpesan untuk tidak terlalu keras menggunakan pelantang suara masjid sebab ada anggota keluarganya yang sedang sakit. Permintaan Ibu itu lantas segera dilakukan karena konsekuensi logis dari hidup bermasayarakat adalah tidak hanya sekedar saling menghormati tetapi juga memahami satu sama lain.
Peristiwa yang penulis alami di atas terjadi jauh sebelum politik identitas menguat dan relasi antagonis antara “mereka” dan “kita” mencapai titik kesempurnaannya. Tidak ada persangkaan penodaan agama saat itu, justru menjadi pelajaran untuk berhati-hati dalam menggunakan pelantang suara masjid.
Pengalaman itu serupa tapi tak sama dengan kasus penodaan agama yang disangkakan kepada Meliana. Serupa terkait keluhan penggunaan pelantang suara masjid, tak sama karena Meliana dipidanakan atas anggapan telah melakukan perbuatan penodaan agama. Padahal, perbuatannya itu tidak dapat digolongkan dalam tindakan penodaan agama, melainkan perbuatan yang masih sesuai dengan koridor hukum dan kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin dalam konstitusi kita.
ADVERTISEMENT
Pesan Berantai
Awal mula kasus itu terjadi pada tanggal 22 juli 2016, ketika Meliana datang ke warung tetangganya, disana ia berbelanja dan bertanya kepada pemilik warung “Kak dulu suara masjid tidak begitu besar, sekarang kok agak besar?”. Pertanyaan itu lalu disampaikan oleh pemilik warung kepada ayahnya, lalu baru pada tanggal 29 Juli 2016 secara berantai kabar itu sampai ke para jamaah dan pengurus masjid. Namun demikian, isi informasi yang diterima secara diksi, jauh berbeda apa yang diucapkan oleh Meliana kepada pemilik warung. Perlu diingat, analisa ini bersandarkan pada keterangan Meliana yang dihubungkan dengan keterangan para saksi dihadapan persidangan. Hal itu terekam dalam putusan pengadilan negeri medan nomor 1612/Pid.B/2018/PN Mdn.
Berbekal informasi yang diragukan kebenarannya, muncul persangkaan bahwa Meliana melarang adzan. Hal itu tersingkap dari keterangan Meliana yang menyatakan ketika malam hari pada tanggal 29 Juli 2016 datang beberapa orang ke rumahnya dan salah satu dari orang tersebut bertanya perihal kebenaran bahwa Meliana melarang adzan. Lalu kemudian Meliana membantah terkait informasi tersebut, tidak benar bahwa dirinya melarang adzan.
ADVERTISEMENT
Dilingkungan rumahnya sudah tersiar kabar bahwa Meliana melarang adzan. Implikasinya, warga tersulut emosi dan melakukan tindakan-tindakan yang dapat membahayakan keselamatan keluarga Meliana. Keyakinan Meliana melakukan penodaan agama dilegitimasi oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) provinsi Sumatera Utara yang pada intinya menyatakan Meliana telah melakukan perendahan dan penistaan terhadap syariat islam. Sayangnya, fatwa tersebut buru-buru dikeluarkan tanpa adanya proses tabayyun (mencari kejelasan dan kebenaran) kepada sumber utama informasi yaitu Meliana. Sehingga kandungan kebenaran dari laporan warga yang berujung dikeluarkannya fatwa tersebut adalah kebenaran nirparipurna, kebenaran yang dapat diragukan kebenarannya karena mengandung disinformasi.
Penulis memandang, kasus yang dihadapi Meliana mengingatkan dengan permainan pesan berantai. Permainan yang dilakukan berkelompok dan lebih dari 4 (empat) orang ini, dimainkan dengan cara orang pertama berbisik menyampaikan pesan kepada orang kedua dan seterusnya, orang terakhir yang menerima pesan tersebut harus mengucapkan dengan suara lantang untuk memastikan apakah pesan yang diterima oleh orang tersebut sesuai dan sama dengan pesan sebagaimana yang disampaikan oleh orang pertama. Jika pesan itu tidak sesuai dan sama, maka kelompok tersebut dianggap kalah.
ADVERTISEMENT
Bila dikaitkan dengan kasus Meliana, ia adalah orang pertama atau sumber informasi utama yang menyampaikan pesan kepada orang kedua dan seterusnya. Perlu diketahui rentan waktu menyebarnya pesan tersebut terjadi dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari dari tanggal 22-27 Juli 2016. Sehingga isi pesan dari orang pertama ke orang-orang selanjutnya rentan mengalami distorsi. Maka sebetulnya kesalahan terletak pada orang yang keliru menyampaikan informasi yang berbeda kepada orang lain. Sehingga penghukuman seharusnya ditujukan kepada orang tersebut. Faktanya yang terjadi sebaliknya, penghukuman malah diarahakan kepada Meliana, tentu hal ini menganggu nalar dan akal sehat.
Pasal 156a huruf a KUHP
Berdasarkan putusan, Meliana dianggap telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP, serta dijatuhkan pidana dengan hukum penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.
ADVERTISEMENT
Isi dari Pasal tersebut pada intinya menyatakan dipidana barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Secara substansial Pasal tersebut bermasalah, sebagai contoh salah satu dari unsur objektifnya adalah mengenai penodaan terhadap suatu agama. Unsur ini sangatlah bersifat subjektif, sebab tidak ada tolak ukur atau indikator secara ketat yang dimaksud dengan penodaan agama. Sehingga berpotensial menjerat kepada siapapun yang menurut orang lain dianggap melakukan penodaan agama.
Seperti misalnya, pembaca bertemu dengan seorang kawan yang sudah lama tak bertemu, pertemuan itu dilakukan di restoran. Saat berdialog mengenai kegamaan, pembaca memiliki pandangan teologis dan ekspresi peribadatan yang berbeda, lalu teman pembaca merasa pandangan itu bertentangan dengan ajaran yang diyakininya selama ini. Perbuatan pembaca memiliki potensial untuk dapat dipidana atas Pasal 156a huruf a KUHP.
ADVERTISEMENT
Argumentasinya, pertama unsur dengan sengaja terpenuhi melalui paham dan peribadatan yang berbeda dari suatu agama yang dianut di Indonesia. Kedua, di muka umum, restoran dapat dikategorikan dimuka umum sebab tempat tersebut dapat didengar oleh publik. Ketiga, perbuatan penodaan agama, dengan berbedanya pandangan pembaca mengenai teologis dan ekspresi peribadatan dengan penganut agama pada umumnya hal tersebut dapat digolongkan sebagai pebuatan penodaan agama. Konkritnya adalah seperti kasus ahmadiyah dan eks gafatar.
Sesungguhnya Pasal tersebut diakui bermasalah oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya pada putusan mahkamah konstitusi nomor 140/PUU-VII/2009, yang pada intinya menyatakan bahwa secara formil maupun materiil UU 1/PNPS/1965 yang melahirkan Pasal 156a KUHP bermasalah dan menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik. Namun demikian, lembaga pembentuk undang-undang belum ada political will memperbaiki dan meninjau ulang peraturan tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu karakterisitik dari pemidanaan Pasal 156a huruf a KUHP adalah adanya proses peradilan berdasarkan tekanan massa (trial by mob). Hal tersebut berdasarkan temuan Setara Institute yang menyatakan sepanjang tahun 1965-2017 terdapat 97 (sembilan puluh tujuh) kasus penodaan agama dimana 62 (enam puluh dua) diantaranya didahuli dengan adanya tekanan massa.
Satu diantaranya yang menjadi korban adalah Meliana, jika dicermati rentetan peristiwanya, waktu kejadian yang dianggap melakukan tindak pidana penodaan agama adalah bulan juli 2016, namun baru ditetapkan sebagai tersangka pada bulan maret 2017. Penetapan tersangka tersebut terlebih dahulu didahuli dengan adanya peristiwa tekanan massa dan dikeluarkannya fatwa MUI provinsi Sumatera Utara.
Meliana adalah Korban
Menurut hemat penulis, Meliana sebetulnya menjadi korban 3 (tiga) kali. Pertama, korban dari penyebaran informasi yang tidak benar. Kedua, korban dari pasal penodaan agama yang eksistensinya sudah bermasalah. Ketiga, korban dari pemerintah yang belum punya kemauan kuat melindungi warga negaranya yang menggunakan kebebasan berpendapatnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
ADVERTISEMENT
Pendekatan penyelesaian kasus Meliana, sesungguhnya cukup diselesaikan di tingkat warga karena masalah yang terjadi adalah masalah kesalahpahaman penerimaan informasi bukan murni melakukan tindak pidana atau kejahatan. Penghukuman lebih tepat jika ditujukan kepada orang yang menyebarkan informasi yang tidak benar bukan sebaliknya.
Selama Pasal penodaan agama masih eksis, selama itu pula setiap dari diri kita berpotensial dipidanakan secara paksa atas kebebasan berpendapat dan berkeyakinan beragama yang kita lakukan. Kasus Meliana yang berujung pada pemidanaan, tepat dijadikan renungan kita bersama, sudah sejauh manakah kita memahami satu sama lain?