Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menolak Darurat Sipil Dalam Penanganan Covid-19
7 April 2020 20:18 WIB
Tulisan dari Andi Muhammad Rezaldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana darurat sipil mengemuka, setelah Presiden Jokowi dalam rapat terbatasnya, meminta gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 dapat menjalankan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan physical distancing dengan efektif serta perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil.
ADVERTISEMENT
Arahan Jokowi perihal darurat sipil itu sontak mendapat penolakan dari berbagai pihak, bahkan sempat menjadi trending topic di media sosial dengan tagar tolak darurat sipil. Alasan penolakannya beragam, ada yang menganggap darurat sipil itu tidak menyentuh akar masalah dan ada juga kekhawatiran dapat berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan karena kewenangan yang begitu besar dimiliki Presiden.
Kecemasan publik terhadap rencana tersebut sangatlah berdasar, sebab pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, dalam hal keadaan darurat sipil pemerintah memiliki kewenangan yang begitu besar, pemerintah dapat mengontrol semua akses informasi (termasuk pertunjukan, penerbitan, penyebaran tulisan-tulisan/gambar), menggeledah tempat-tempat diluar persetujuan pemilik, hingga dapat melarang atau membatasi pengiriman berita atau percakapan melalui telpon maupun radio.
ADVERTISEMENT
Meskipun juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, telah menjelaskan bahwa penerapan darurat sipil yang dimaksud Jokowi ialah langkah terakhir. Menjadikan kebijakan tersebut sebagai pilihan mencerminkan kegagapan pemerintah, padahal sebetulnya kita sudah memiliki berbagai instrumen hukum yang mumpuni tanpa harus dengan ditetapkannya status darurat sipil. Misalnya dengan memaksimalkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Kekacauan seperti di India yang dicemaskan pemerintah sebenarnya dapat dicegah, apabila mengaplikasikan Undang-Undang tentang kekarantinaan kesehatan secara konsekuen dan mendorong kebijakan yang berpihak terhadap si miskin. Kerusuhan di India timbul bukan karena soal ketidakpatuhan, tetapi minimnya perencanaan pemerintah yang berdampak pada kelaparan masal.
Menerapkan darurat sipil dalam situasi tersebut justru dapat memperkeruh keadaan. Tingkat kelaparan justru dapat semakin meningkat, dikarenakan kekeliruan dalam mendiagnosa akar masalah, yang mana harusnya pemerintah menggunakan pendekatan pemenuhan terhadap hak-hak ekonomi warga negaranya dengan memastikan tersedianya bahan pokok bagi setiap keluarga selama karantina dilakukan.
ADVERTISEMENT
Patut diketuahui, bila status darurat sipil diaktifkan, pemerintah tidak memiliki kewajiban memberikan pemenuhan kebutuhan hidup dasar bagi setiap orang saat ruang bergeraknya dibatasi. Berbeda halnya apabila pemerintah mengoptimalkan Undang-Undang tentang kekarantinaan kesehatan, melalui kegiatan karantina pemerintah harus menyediakan kebutuhan hidup dasar bagi setiap orang bahkan kebutuhan hewan ternak pun wajib dipenuhi.
Selain itu, sebenarnya penanganan Covid-19 tidak bisa menggunakan Undang-Undang tentang keadaan bahaya. Sebab, lahirnya Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk menangani masalah yang berkaitan dengan ancaman pemberontakan, kerusuhan maupun akibat bencana alam. Sedangkan wabah penyakit Covid-19, diklasifikasikan sebagai bencana non-alam.
Bilamana darurat sipil tetap dipaksakan untuk diterapkan, hanya ada satu Pasal yang relevan berkaitan dengan pengendalian Covid-19 yaitu Pasal 19, bahwa penguasa berhak membatasi orang berada di luar rumah, selebihnya tidak ada. Jikalau hanya ingin membatasi ruang gerak, Undang-Undang tentang kekarantinaan kesehatan pun sudah menyediakan mekanismenya melalui kegiatan karantina dan pembatasan sosial berskala besar.
ADVERTISEMENT
Dalam lintasan sejarah, pemerintah menetapkan status darurat sipil baru sebanyak 2 (dua) kali. Pertama, darurat sipil di Maluku dan Maluku Utara yang diberlakukan pada 27 Juni 2000 melalui Keppres Nomor 88 tahun 2000, berkaitan dengan adanya konflik komunal agama. Kedua, di Aceh yang ditetapkan pada 19 Mei 2004 melalui Keppres Nomor 43 tahun 2004, berkaitan dengan perubahan status darurat militer menjadi darurat sipil.
Didasari dari kedua pengalaman itu, tampak bahwa penatapan darurat sipil erat kaitannya dengan penanganan konflik yang mengancam stabilitas keamanan negara. Lebih lanjut, dalam penganannya pun, pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan, dengan mengerahkan pasukan militer dan polisi ke wilayah konflik. Lalu kemudian, masyarakat mau tidak mau, kebebasannya berkaitan dengan ekspresi maupun pendapatnya dibatasi untuk jangka waktu tertentu, atas nama keamanan.
ADVERTISEMENT
Mengerahkan pasukan kemanan dan merepresi kebebasan sipil lebih dalam malah akan mempertebal rasa takut masyarakat. Maka dari itu, tidak tepat bila penyelesainnya dilakukan dengan pendekatan keamanan, sebab masalah yang dihadapi negara saat ini adalah darurat kesehatan.
Untuk situasi seperti sekarang ini, pemerintah baiknya memaksimalkan Undang-Undang tentang kekearantinaan kesehatan. Sebab, dalam Undang-Undang tersebut agaknya sudah cukup baik memberikan mekanisme atau prosedur hukum bagi pemerintah dalam menangani wabah penyakit seperti Covid-19.
Ada 3 (tiga) skenario yang bisa dijalankan, berdasarkan Undang-Undang tersebut. yaitu pembatasan sosial skala besar, karantina wilayah dan gabungan antara pembatasan sosial skala besar dengan karantina wilayah. Dari ketiga skenario itu, pemerintah telah menerapkan kebijakan pembatasan sosial skala besar.
Melalui kebijakan PSBB, pemerintah dapat melakukan pembatasan kegiatan, antara lain peliburan sekolah, tempat kerja, kegiatan keagamaan dan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Jadi, dalam praktiknya sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang sudah dijalankan sekarang oleh masyarakat, hanya saja kini pemerintah melalui aparat penegak hukum dapat melakukan upaya paksa jika masyarakat tidak patuh.
ADVERTISEMENT
Bila nantinya kebijakan PSBB saat dilaksanakan tidak efektif, pemerintah dapat menggabungkannya dengan kebijakan karantina wilayah. Maksud dari karantina wilayah ialah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya. Sehingga masyarakat untuk sementara, tidak dapat melakukan perpindahan dari satu wilayah ke wilayah lainnya guna meminimalisir resiko penularan. Dari karantinwa wilayah ini lah timbul tanggung jawab pemerintah yang mewajibkan pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap orang dan makanan hewan ternaknya.
Berdasarkan dari berbagai skenario tersebut, menunjukan bahwa tidak ada urgensinya menetapkan darurat sipil dan pemerintah sebenarnya memiliki banyak pilihan yang efektif untuk diambil dalam menangani wabah penyakit Covid-19 tanpa harus mengorbankan kebebasan sipil warga negaranya lebih jauh.