Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Diskriminasi Mahasiswa Kritis di Indonesia
5 September 2024 17:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Andi Redani Suryanata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi mahasiswa kritis di Indonesia itu bagaikan berjalan di atas tali tipis yang menggantung di antara dua jurang: di satu sisi, ada jurang cibiran, dan di sisi lain, ada jurang kesalahpahaman. Melangkah sedikit saja ke arah yang salah, bisa-bisa kita terjerembab ke dalam salah satu jurang tersebut. Mengapa situasi ini bisa terjadi? Di negeri ini, sikap kritis sering kali disalahpahami sebagai ajang pamer kepintaran atau bahkan cari muka di depan dosen. Sebuah stigma yang menyedihkan, mengingat kampus seharusnya menjadi tempat bagi pemikiran bebas dan diskusi yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Bayangkan ketika di kelas ada sesi presentasi materi. Seorang mahasiswa kritis mengangkat tangannya, melontarkan pertanyaan yang seharusnya memicu diskusi menarik dan mendalam. Namun, apa yang terjadi? Alih-alih menyambut pertanyaan tersebut dengan antusiasme, banyak teman sekelas justru menggerutu, "Ah, sok pintar!" atau "Ini pasti mau cari perhatian dosen." Lebih parah lagi, ketika sesi tanya jawab itu jatuh pada jam kritis menjelang akhir kelas, si kritis ini tiba-tiba dicap sebagai penghambat pulang. Padahal, niatnya murni hanya ingin memperdalam pemahaman, bukan mengulur waktu.
Stigma semacam ini menjadi penghalang utama bagi terciptanya lingkungan akademis yang sehat. Mahasiswa yang sebenarnya memiliki potensi untuk berpikir kritis dan analitis justru memilih diam dan mengikuti arus demi menghindari cibiran atau cap negatif. Kampus yang seharusnya menjadi tempat lahirnya gagasan-gagasan baru, malah menjadi ajang pengulangan ide-ide lama tanpa inovasi.
ADVERTISEMENT
Namun, mari kita telaah lebih jauh. Apakah benar bahwa menjadi kritis itu semata-mata soal pamer kepintaran? Ataukah sebenarnya ada masalah lain yang lebih mendasar? Salah satu akar masalahnya adalah budaya yang tidak mengapresiasi perbedaan pendapat. Di banyak kampus, diskusi sering kali hanya menjadi formalitas belaka, tanpa ada ruang untuk debat yang sesungguhnya. Mahasiswa diajarkan untuk mencari jawaban yang benar, bukan untuk mempertanyakan mengapa jawaban tersebut benar.
Lebih dari itu, ada pula tekanan sosial yang membuat mahasiswa enggan untuk berbeda. Di usia yang masih mencari jati diri, mahasiswa sering kali lebih memilih untuk diterima oleh lingkungan sosialnya daripada berani berbeda. Mereka khawatir bahwa menjadi kritis akan membuat mereka terasing dari kelompok.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa solusi dari permasalahan ini? Pertama, penting bagi institusi pendidikan untuk mengubah pendekatan dalam pembelajaran. Memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berpikir kritis tanpa takut dihakimi adalah langkah awal yang harus diambil. Dosen harus berperan sebagai fasilitator yang mendorong diskusi dan debat sehat, bukan sekadar pemberi materi yang harus diterima mentah-mentah.
Kedua, mahasiswa itu sendiri harus berani untuk menjadi agen perubahan. Memahami bahwa kritik bukanlah serangan, melainkan upaya untuk menemukan solusi yang lebih baik. Berani berbicara dan menyampaikan pendapat adalah langkah kecil yang bisa membawa perubahan besar.
Fenomena ini mencerminkan betapa rendahnya budaya diskusi di kalangan mahasiswa saat ini. Alih-alih merayakan perbedaan pendapat sebagai sumber pembelajaran, kampus kita malah penuh dengan ketakutan untuk bersuara. Diskriminasi terhadap mahasiswa yang berani bersikap kritis bukan sekadar isu sepele; ini adalah penyakit yang menggerogoti esensi pendidikan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, kampus menjadi arena di mana ide-ide beradu, tempat di mana debat dan diskusi bukanlah momok yang menakutkan, melainkan bagian integral dari proses belajar. Namun, kenyataannya berbeda. Banyak mahasiswa lebih memilih diam daripada harus menghadapi stigma sebagai “pengacau” atau “pemberontak” hanya karena mereka berani berpikir di luar kotak. Ironisnya, dalam tempat yang seharusnya menjadi gudang ilmu, suara-suara kritis justru dibungkam.
Jadi, apa yang sebenarnya salah? Mungkin akar masalahnya ada pada minimnya budaya bertukar pikiran di lingkungan akademik kita. Kampus yang seharusnya menjadi lahan subur untuk tumbuhnya ide-ide segar justru menjadi tanah tandus yang menolak benih pikiran kritis. Ketika seorang mahasiswa berani menyuarakan pandangannya, alih-alih dihargai, ia sering dianggap sebagai ancaman. Ini adalah cerminan dari minimnya penghargaan terhadap pluralitas pikiran.
ADVERTISEMENT
Budaya homogenitas yang stagnan ini tidak hanya membahayakan perkembangan intelektual mahasiswa tetapi juga merugikan bangsa secara keseluruhan. Bagaimana kita bisa berharap menghasilkan generasi pemikir dan inovator jika suara-suara kritis justru dianggap sebagai gangguan?
Solusinya adalah menciptakan lingkungan akademik yang menghargai perbedaan pendapat dan menjadikannya sebagai dasar pembelajaran. Kita harus mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan kreatif tanpa takut dikucilkan. Kampus harus kembali menjadi tempat di mana setiap ide, seberapa pun kontroversialnya, mendapatkan ruang untuk diperdebatkan.
Diskriminasi terhadap mahasiswa kritis dalam dunia akademik bukanlah masalah sepele. Bayangkan jika kampus, yang seharusnya menjadi ladang subur bagi pemikiran dan ide-ide segar, malah menjadi arena di mana suara-suara berani dihukum dengan stigma negatif. Jika kita terus membiarkan ini terjadi, maka kita sedang menciptakan generasi yang lebih suka memilih diam ketimbang menghadapi risiko menjadi "si sok pintar." Kampus akan berubah menjadi tempat bagi para mahasiswa untuk belajar cara menghindari konflik daripada berani mempertanyakan status quo.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi jika kita mengabaikan masalah ini? Kita akan memiliki masyarakat yang pasif—sekelompok individu yang lebih memilih untuk menjadi pengikut yang patuh ketimbang pemikir yang aktif. Bayangkan, jika kebijakan yang diterapkan oleh para pengambil keputusan tidak pernah diuji dengan pemikiran kritis, maka kita akan terus berada dalam siklus kebodohan yang tidak berujung. Kita akan menjadi generasi yang hanya menurut tanpa berpikir panjang, seolah-olah otak kita hanya berfungsi untuk menghafal materi kuliah dan bukan untuk membangun argumen yang berlandaskan logika dan fakta.
Jadi, sudah saatnya untuk melakukan revolusi budaya akademik kita. Mahasiswa kritis—yang berani mempertanyakan dan berdiskusi—harus didukung, bukan dijatuhkan. Mereka bukanlah ancaman bagi kestabilan kampus, tetapi aset berharga untuk kemajuan intelektual. Diskusi dan perdebatan harus menjadi bagian integral dari proses belajar. Ini bukan hanya soal memberi ruang bagi pendapat yang berbeda, tetapi tentang mendorong proses berpikir yang mendalam dan analitis.
ADVERTISEMENT