Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Mispersepsi Pajak Restoran dan PPN dalam bingkai UU HKPD
3 Februari 2025 18:36 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Andi Yusril Qhadafir Tawakkal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Abis makan siomay sultan, PPN nya 12%! Mau dimakan sedikit-sedikit saja, mahal banget pajaknya!”. Begitulah keluhan salah seorang warganet yang mengomentari pengenaan pajak atas makanan yang dibelinya di salah satu rumah makan di awal tahun ini. Tentunya, hal ini berkaitan dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12%, terlepas dari penyesuaian ketentuan DPP PPN sehingga tarif efektif untuk beberapa jenis barang dan jasa tetap sebesar 11%. Beragam reaksi timbul, dimana mayoritas masyarakat menyampaikan penolakannya di berbagai saluran, termasuk di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Alih-alih meningkatkan pendapatan bagi negara, kebijakan ini dianggap memberikan lebih banyak dampak negatif karena meningkatkan biaya hidup masyarakat, terutama karena PPN hampir dikenakan atas seluruh barang dan atau jasa yang dikonsumsi. Meski dirasa memberatkan, seluruh pihak wajib mematuhi aturan yang telah diberlakukan. Para pelaku usaha pun perlu menyiapkan diri, utamanya pihak yang menjual barang dan/atau jasa sebagai pihak yang akan mengenakan pajak pada konsumennya sebelum disetor kepada negara, melalui penyesuaian struktur harga produk yang dijual. Namun, melihat cuitan warganet sebelumnya, tentunya menjadi hal yang perlu dipertanyakan ketika rumah makan juga ikut mengenakan tarif 12% pada makanan dan minuman yang mereka jual. Apakah hal tersebut telah sesuai diterapkan?
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, makanan dan/atau minuman yang dijual oleh restoran dan sejenisnya merupakan objek pajak daerah melalui pajak restoran, atau yang saat ini sudah menjadi bagian dari Pajak atas Barang dan/atau Jasa Tertentu (PBJT). Hal ini diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), dimana tarif maksimalnya sebesar 10%. Lebih lanjut, dalam UU PPN disebutkan juga penyajian makanan dan/atau minuman yang telah dikenakan pajak daerah akan dikecualikan sebagai objek PPN.
ADVERTISEMENT
Melihat aturan yang ada, merupakan sebuah kekeliruan jika restoran menerapkan PPN atas makanan dan/atau minuman yang disajikan di tempat usahanya. Kesalahan pengenaan tarif juga telah di-notice oleh DJP yang memberi edukasi melalui postingan di berbagai media sosial terkait salah kaprah pengenaan pajak tersebut. DJP menjelaskan bahwa makanan dan minuman yang dijual oleh restoran bukanlah objek PPN, melainkan objek pajak daerah. Lantas, timbul pertanyaan yang mendasar, mengapa bisa kesalahan penerapan tetap terjadi? Apakah memang tidak ada batasan yang jelas mengenai objek dari kedua jenis pajak tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu faktor penyebabnya dikarenakan kemiripan karakteristik pajak restoran dan PPN, yang mana keduanya sama-sama dikenakan atas konsumsi barang dan jasa. Selain itu, perlu dilihat kembali aturan mengatur pajak restoran sebelum UU HKPD diberlakukan, yaitu UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam UU PDRD, definisi objek pajak restoran cenderung sangat luas dan tidak memberikan batasan yang spesifik, termasuk kriteria yang jelas mengenai restoran. Pajak Restoran dikenakan atas segala pelayanan yang disediakan oleh restoran dan sejenisnya, tanpa membedakan apakah makanan dan/atau minuman tersebut dikonsumsi di tempat atau di lokasi lain.
ADVERTISEMENT
Tidak terdapat batasan yang jelas yang mengatur kriteria “restoran”. Ketidakhadiran batasan tersebut menciptakan ruang interpretasi yang besar atas makanan dan/atau minuman yang dijual oleh beberapa pihak tertentu. Hal ini lah yang menyebabkan sering terjadi tumpang tindih pemahaman antara Pajak Restoran sebagai pajak daerah dan PPN sebagai pajak pusat.
Ada beberapa kasus yang sudah sering ditemui. Misalnya, mengenai aspek pengenaan pajak atas makanan dan/atau makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima yang tidak memiliki bangunan tetap untuk menjual dagangannya. Contoh lainnya berkaitan dengan toko swalayan yang dalam usahanya selain menjual berbagai kebutuhan masyarakat, juga mengolah dan menjual makanan dan/atau minuman yang dapat dikonsumsi ditempat oleh konsumen. Ketidakjelasan ini menimbulkan kebingungan, baik pelaku usaha maupun konsumen, yang dapat berujung pada kesalahan pengenaan pajak. Hal ini berdampak negatif tidak hanya dari sisi kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan kewajibannya, tetapi juga dari kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah menyadari kelemahan ini dan melakukan penyempurnaan melalui pembuatan UU HKPD, yang membawa beberapa perubahan penting berkaitan pajak daerah. Selain dengan melakukan restrukturisasi beberapa jenis pajak daerah (termasuk pajak restoran) menjadi satu jenis pajak baru yaitu PBJT, UU ini juga memberikan definisi yang lebih spesifik mengenai objek PBJT, khususnya terkait layanan yang disediakan oleh restoran. UU ini menekankan adanya “penyediaan fasilitas seperti meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan/atau minum di tempat” oleh restoran dan sejenisnya dalam menjual makanan dan atau minumannya yang termasuk dalam objek PBJT. Dengan kata lain, hanya pihak yang memenuhi kriteria tersebut yang akan dikenakan pajak daerah, dengan catatan telah melewati batasan peredaran usaha yang ditetapkan oleh tiap daerah.
ADVERTISEMENT
Penjualan makanan dan/atau minuman yang tidak memenuhi kriteria tersebut, seperti layanan take away atau pesan antar, termasuk dalam cakupan PPN sebagai pajak pusat. Selain itu, masih terdapat pengecualian bagi pihak penjual makanan dan/atau minuman tertentu yang memenuhi kriteria yang dimaksud. Dalam hal ini, pihak tersebut akan dikecualikan dari pengenaan pajak daerah apabila yang bersangkutan merupakan toko swalayan yang tidak hanya menjual makanan dan/atau minuman; pabrik makanan dan/atau minuman; atau yang disediakan pihak yang kegiatan usaha utamanya adalah jasa menunggu pesawat (lounge) di bandar udara. Pihak yang dikecualikan tersebut nantinya akan dikenakan PPN, bukan pajak daerah.
UU HKPD menggunakan pendekatan positive list dalam pengelolaan PBJT sebagai bagian dari pajak daerah. Positive list berarti bahwa hanya objek yang secara eksplisit tercantum dalam peraturan yang dikenakan PBJT. Pendekatan ini memberikan kejelasan kepada pemerintah daerah dalam mengidentifikasi wajib pajak, sekaligus mencegah tumpang tindih antara objek PBJT dan PPN. Sebaliknya, UU PPN menggunakan pendekatan negative list, di mana pada dasarnya semua barang dan jasa dikenakan PPN, kecuali yang secara tegas dikecualikan. Salah satu pengecualian dalam negative list PPN adalah objek yang telah dikenakan pajak daerah, seperti PBJT. Dengan demikian, makanan dan/atau minuman yang telah dikenakan PBJT tidak dikenakan PPN lagi. Kedua pendekatan ini dirancang untuk saling melengkapi dan menciptakan batasan yang jelas antara kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
ADVERTISEMENT
Walaupun UU HKPD telah memberikan kepastian hukum yang lebih baik, kesalahan penerapan pajak di masyarakat masih biasa terjadi. Salah satu penyebab utama adalah minimnya pemahaman pelaku usaha terhadap perubahan regulasi, yang masih mengacu pada definisi aturan yang lama atau bahkan salah menginterpretasikan ketentuan terbaru. Selain itu, kemiripan karakteristik antara PBJT dan PPN, juga menjadi salah satu penyebabnya.
Kurang optimalnya sosialisasi dari pihak yang berwenang juga turut berpengaruh terhadap situasi ini, sehingga banyak pelaku usaha, khususnya UMKM, salah mengenakan pajak kepada konsumen. Lebih lanjut, tidak adanya aturan yang terstandarisasi mengenai pencantuman jenis pajak yang dikenakan pada struk transaksi memperburuk situasi. Beberapa pelaku usaha mencantumkan jenis pajak secara sembarangan, seperti mencatutkan PPN dalam struk transaksi walaupun tarif yang digunakan sebenarnya mengacu pada tarif pajak daerah, sehingga menimbulkan kebingungan bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi tantangan yang dihadapi pemerintah, khususnya pemerintah daerah selaku administrator pajak daerah, dalam memastikan agar tidak ada lagi kesalahan pengenaan pajak atas penjualan makanan dan/atau minuman. Secara teori, UU HKPD dapat menjadi solusi untuk membatasi objek pajak daerah dan objek yang dikenakan PPN, dengan memberikan penjelasan lebih rinci mengenai definisi atau kriteria restoran. Akan tetapi, jika diterapkan secara langsung di lapangan, hal tersebut menjadi salah satu hal yang perlu menjadi perhatian khusus.
Pemerintah perlu up to date dalam mengikuti perkembangan model bisnis yang sudah tidak sepenuhnya sesuai dengan aturan yang lama, seperti cloud kitchen, ghost restaurant, dan layanan take away berbasis aplikasi. Saat ini, sudah banyak dijumpai rumah makan yang hanya menjual makanan dan/atau minuman tanpa konsep dine-in (tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum di tempat). Dalam hal ini, perlu ketelitian dalam mengidentifikasi mana saja restoran dan sejenisnya yang memenuhi ketentuan sebagai objek pajak daerah dan memastikan telah mengenakan pajak yang sesuai.
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak terlepas dari penjelasan yang dimuat dalam UU HKPD, yang mana menyebutkan bahwa dua toko yang menjual makanan dan/atau minuman dengan merk yang sama, bisa saja mendapatkan pengenaan pajak yang berbeda. Hal ini dapat terjadi walaupun masih kedua toko masih terletak di kota yang sama, disesuaikan dengan kondisi nyata yang ada di toko tersebut. Jika terdapat penyediaan fasilitas sebagaimanga , pelaku usaha akan dikenakan pajak daerah dengan tarif maksimal 10%, tetapi akan menjadi objek PPN dengan tarif 12% jika tidak terdapat penyediaan fasilitas tersebut.
Secara keseluruhan, penerapan UU HKPD diharapkan menjadi langkah penting dalam mengatasi kebingungan dalam membedakan pengenaan pajak daerah dan PPN. Untuk mengimbangi regulasi yang telah diberlakukan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas dari SDM yang dimilki. Selain itu, diperlukan sosialisasi dan edukasi yang intens agar dapat mengurangi praktik yang tidak sesuai di lapangan. Hal tersebut tentunya membutuhkan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pelaku usaha. Dengan ini, diharapkan pengenaan pajak dapat dioptimalkan untuk meningkatkan penerimaan, sekaligus menciptakan sistem perpajakan yang adil, transparan, dan mudah dipahami oleh semua pihak.
ADVERTISEMENT