Konten dari Pengguna

Kehormatan Hakim: Api Dalam Sekam

Andi Afifah Rusli Bandaso
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin. Klinik Etik dan Advokasi FH-UH
27 September 2024 11:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Afifah Rusli Bandaso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Patung Dewi Keadilan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Patung Dewi Keadilan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konon katanya keadilan tanpa kehormatan adalah sebuah ilusi, bahwa keadilan ditegakkan tanpa adanya integritas dan martabat hakim tidak akan nyata atau dapat dipercaya. Namun, pada tahun 2023 Komisioner KY, Binziad kadafi mengatakan selama 8 tahun, komisi yudisial tangani 118 kasus dugaan perbuatan merendahkan Hakim. Selain itu kasus lainnya seperti penyerangan Hakim oleh aktivis antimasker di Banyuwangi pada tahun 2021. Bahkan penyerangan melalui media sosial bukan lagi hal yang biasa, bersembunyi dibalik dalih “kebebasan berpendapat” namun menutup mata terhadap kewajiban menghormati terhadap sesama terkhusus pada “wakil tuhan” di pengadilan.
Ilustrasi Paalu Sidang. Foto: Shutterstock
Bagai api dalam sekam dimaksud menggambarkan keadaan dimana kehormatan atau integritas hakim tampak aman diluar, tetapi sebenarnya ada masalah atau ancaman yan tersembunyi, seperti api yang membara di dalam sekam. Ini menandakan bahwa meskipun tampak baik diluar, terdapat potensi kerusakan yang serius jika tidak ditangani.
ADVERTISEMENT
Ketidakpuasan masyarakat terhadap lembaga peradilan membuktikan bahwa lembaga tersebut kini telah mengalami degradasi. Istilah “wakil tuhan” bukan hanya sekadar kata, membawa beban moral dan integritas demi keadilan bagi setiap orang. Kerap kali masyarakat beranggapan bahwa keputusan yang tidak sesuai ekspetasi merupakan tanggung jawab mutlak bagi para Hakim. Bahkan pengacara pun pernah menyerang hakim, seperti halnya yang terjadi terhadap dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bukankah pemahaman tentang kehormatan hakim lebih dipahami oleh seseorang yang bekerja pada dunia hukum? Hal ini menandakan bahwa setiap individu dan/atau kelompok masyarakat harus memiliki “awareness” yang lebih terhadap PMKH. Seberapa tahu anda tentang PMKH?
Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Advokasi Hakim, PMKH atau Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim merupakan perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, menghina hakim dan pengadilan.
ADVERTISEMENT
Tanggung jawab besar memberikan resiko yang besar pula, setidaknya beberapa faktor mengapa kehormatan pada hakim masih terancam yaitu 1) Adanya pengaruh politik dan ekonomi: dalam kasus tertentu tekanan dari pihak-pihak tertentu seperti politikus atau pengusaha bahkan “ the power of netizen +62” menciptakan istilah “no viral no justice” memberikan tekanan pada keputusan hakim. 2) Kurangnya pendidikan dan pelatihan etika: baik itu bagi hakim maupun masyarakat perlu meningkatkan literasi tentang PMKH dan 3) Pengawasan Publik dan Media Sosial: di era digital, kritik dan penilaian terhadap keputusan hakim dapat tersebar dengan cepat. Keterpaparan ini bisa menambah tekanan pada hakim dan berpotensi memengaruhi mereka dalam mengambil keputusan yang seharusnya objektif dan adil.
Dengan demikian diperlukan adanya pendidikan dan pelatihan etika bagi hakim dan program klinik Etik dan Advokasi seperti yang ada di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,dan mendorong lembaga terkait pengawasan yang lebih efektif, diadakannya dialog publik untuk membangun pemahaman bersama serta penegakan sanksi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perbuatan merendahkan kehormatan hakim.
ADVERTISEMENT