Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Kendaraan Listrik: Benarkah Sebuah Solusi Polusi?
12 Desember 2024 12:48 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Andiaz Catur Prayoga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Penyebab utama lonjakan tersebut adalah penggunaan energi fosil, khususnya batu bara, serta alih fungsi lahan dan deforestasi yang signifikan. Dalam sektor penggunaan lahan, Indonesia menduduki peringkat kedua penyumbang emisi terbesar secara global, dengan rata-rata emisi dari alih fungsi lahan selama 2013-2022 mencapai 930 juta ton atau sekitar 19,9% dari total emisi global pada sektor tersebut. Bersama Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia bertanggung jawab atas 58% emisi dari sektor lahan di tingkat global. Dengan sebab demikian, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,8% atau setara 358 juta ton dengan upaya mandiri dan mencapai 41% atau 446 juta ton pada tahun 2030 dengan bantuan internasional melalui pembiayaan, transfer teknologi, serta pengembangan dan peningkatan kapasitas. Pemerintah tidak main-main dengan komitmen ini. Salah satu bentuk optimisme menurunkan emisi karbon tersebut dapat dilihat dari salah satu langkah strategis pemerintah dalam akselerasi program pengadaan kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
Guna mendukung program tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2023. Dalam aturan tersebut, pemerintah Indonesia menyediakan subsidi untuk pembelian mobil listrik. Bantuan ini dimaksudkan untuk menekan harga mobil listrik di pasar, sehingga dapat dijangkau oleh lebih banyak kalangan masyarakat. Selain itu pemerintah memberikan dana insentif bagi masyarakat yang berminat mengonversi kendaraan bermotor berbahan bakar minyak (BBM) menjadi kendaraan listrik. Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah, apakah kendaraan listrik sehijau yang kita pikirkan? Meskipun kendaraan listrik digadang-gadang menjadi solusi untuk mengatasi problematika lingkungan seperti pengurangan emisi karbon sebagaimana tujuan utama pemerintah. Namun, penyediaan dan penggunaan kendaraan listrik secara masif bukanlah solusi yang menjamin kerusakan lingkungan tidak dapat terjadi.
ADVERTISEMENT
Ketergantungan Sumber Listrik dari PLTU
Berdasarkan Laporan Statistik Tenaga Kelistrikan tahun 2023, dari total kapasitas pembangkit listrik nasional sebesar 91.164 gigawatt (GW), sekitar 54,58% di antaranya berasal dari PLTU berbahan bakar batu bara. Dengan kata lain, sebagian besar pasokan energi listrik di Indonesia masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dengan semakin meluasnya penggunaan kendaraan listrik di masa depan, permintaan akan energi listrik diperkirakan akan meningkat secara signifikan. Walaupun penggunaan kendaraan listrik dapat mengurangi polusi dari sektor transportasi, dampak negatif terhadap kualitas udara dari emisi PLTU kemungkinan masih akan tetap ada. Hal ini akan terus berlangsung jika Indonesia tidak segera beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, seperti pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
Permasalahan Baterai Kendaraan Listrik
Permasalahan lainnya yakni soal baterai kendaraan listrik. Baterai pada kendaraan listrik adalah komponen yang kompleks dan mengandung berbagai elemen tanah jarang atau rare earth element (REE), seperti lithium, nikel, kobalt, dan grafit. Proses pengambilan bahan-bahan ini pun cukup rumit dan memerlukan metode ekstraksi yang kompleks, termasuk penambangan yang berat serta teknik pemisahan yang berpotensi mencemari lingkungan. Hal inilah yang menjadikan produksi baterai untuk kendaraan listrik sebagai tantangan besar bagi kelestarian alam.
Tidak hanya itu, dampak negatif lain dapat timbul akibat dari limbah baterai kendaraan listrik yang sudah tidak terpakai. Melihat dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014, limbah baterai ternyata memenuhi kriteria sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Mengutip dari laman resmi Dinas Lingkungan Hidup, limbah baterai digolongkan sebagai limbah berbahaya dan beracun karena limbah baterai memiliki kandungan logam berat yang memiliki karakteristik mudah meledak, beracun, dan menyebabkan iritasi. Berdasarkan penelitian yang diakukan oleh Luh Putu Risna Maharani Putri dan kawan-kawan, baterai kendaraan listrik yang sering digunakan yakni lithium-ion yang telah habis masa pakainya biasanya memiliki komposisi 5%–20% cobalt, 5%–10% nikel, 5%–7% litium, 5%–10% logam lain seperti tembaga, aluminum, besi, dan lainnya, 15% senyawa organik, serta 7% plastik. Komposisi logam-logam berat yang terdapat dalam baterai lithium-ion ini seperti kobalt, litium, dan nikel ini memiliki resiko pencemaran pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Suprayetno, Head of Service Planning and Strategy Department PT Hyundai Motors Indonesia (HMID) juga mengungkapkan bahwa baterai lithium-ion memiliki rata-rata usia efektif pemakaian hingga 10 tahun. Setelah jangka waktu tersebut, baterai kendaraan listrik perlu diganti agar kendaraan dapat dipakai seterusnya secara optimal. Jika melihat perkembangan populasi warga negara Indonesia pengguna kendaraan pribadi, bukan tidak mungkin pada masa di mana kendaraan listrik sudah mendominasi akan terjadi pelonjakan limbah baterai kendaraan listrik. Ini akan menciptakan permasalahan baru apabila tidak dibarengi dengan penanganan dan pengelolaan limbah B3 tersebut secara tepat. Perlu adanya kesiapan pemerintah untuk merancang sedini mungkin sistem pengelolaan atau daur ulang limbah baterai secara seksama untuk dapat meminimalisir pencemaran lingkungan yang akan terjadi.
ADVERTISEMENT
Langkah Efektif yang Dapat Ditempuh
Akan lebih baik apabila Pemerintah memprioritaskan pengembangan armada kendaraan umum berbasis listrik daripada kendaraan pribadi. Langkah ini dapat mengurangi kebutuhan energi listrik secara signifikan, mengingat transportasi umum melayani banyak pengguna dengan lebih efisien. Dengan demikian, beban konsumsi listrik dapat ditekan, menghindari lonjakan permintaan listrik yang berpotensi meningkatkan polusi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang saat ini masih mendominasi dengan bahan bakar batu bara. Selain itu, penggunaan kendaraan pribadi berbasis listrik dalam skala besar dapat meningkatkan produksi limbah baterai, yang tergolong bahan berbahaya dan beracun (B3).
Tanpa sistem pengelolaan limbah baterai yang memadai, ini akan menimbulkan masalah lingkungan baru. Untuk menciptakan ekosistem kendaraan listrik yang benar-benar berkelanjutan, pemerintah harus mempercepat peralihan ke sumber listrik yang lebih bersih, seperti pembangkit listrik tenaga surya, angin, atau air. Dengan memperkuat infrastruktur energi terbarukan, kendaraan listrik dapat memberikan dampak lingkungan yang lebih positif dan mendukung target pengurangan emisi karbon secara signifikan. Kombinasi pengembangan transportasi umum berbasis listrik dan optimalisasi sumber listrik bersih akan memberikan solusi yang lebih holistik dalam menghadapi tantangan perubahan iklim terutama dalam mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca pada 2030.
ADVERTISEMENT