Menjadi Biasa-biasa Saja di Umur 20

Andien Destiani R
Seorang mahasiswa jurnalistik Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
26 Desember 2021 15:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andien Destiani R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi seorang perempuan yang memikirkan pencapaian di umur 20. Sumber: Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi seorang perempuan yang memikirkan pencapaian di umur 20. Sumber: Pribadi.
ADVERTISEMENT
“They said, "All teenagers scare the living' sh*t out of me"” - Teenagers, My Chemical Romance
ADVERTISEMENT
Bagi pembaca yang sering membuka aplikasi Tiktok ataupun bagian reels di Instagram, mungkin tidak asing dengan lirik di atas yang seringkali dijadikan sound di beberapa konten video. Biasanya, konten tersebut menggambarkan bagaimana remaja saat ini terlihat jauh lebih produktif, lebih ter-schedule, dan juga lebih ambisius untuk menata masa depan ketimbang young adults di umur 20 tahunan yang kerjaannya malah leha-leha.
Lantas, apakah hal tersebut semengerikan itu sehingga penggalan reff lagu “Teenagers” dari band rock My Chemical Romance ini mewakilkan perasaan para “remaja tua” di usia 20 tahun awal?
Jawabannya adalah: Iya, semenyeramkan itu.
Melihat anak SMA yang kini sudah mulai aktif mengikuti magang dan juga volunteer di berbagai bidang dengan list prestasi yang sama panjangnya dengan gulungan rahasia Desa Konoha, membuat para “remaja tua” ini jadi jiper sendiri. Meskipun tidak semua orang yang berada di usia 20 tahun itu kerjaannya menjadi beban keluarga yang berkedok mahasiswa, ada juga mereka yang hustling ikut volunteer sana-sini demi “mendapat pengalaman”.
ADVERTISEMENT
Ya, mereka juga salah satu jenis manusia yang membuat penulis dan manusia-manusia sejenis kure-kure (kuliah-rebahan, kuliah-rebahan) ini merasakan FOMO alias Fear of Missing Out yang amat besar. Pokoknya, orang-orang “produktif” macam itu buat kami takut. Sedih kalau dipikir-pikir jadi orang seperti itu. Sekumpulan orang biasa yang bisanya takut dengan kesempatan.
Tapi, apa salah untuk menjadi orang yang “biasa-biasa saja” itu?
Tentu saja tidak, pembaca. Sama sekali tidak salah kok.
Ada sebuah kata dalam bahasa inggris untuk mereka yang hidup menjadi orang yang biasa saja, mediocre yang artinya merupakan biasa-biasa saja. Jika di Indonesiakan, maka kata tersebut menjadi medioker dengan arti yang serupa juga.
Walaupun di Amerika Serikat sana kata mediocre mempunyai konotatif yang negatif, tetapi di Indonesia kata itu ibarat “pil penenang” bagi mereka yang diberi tahu artinya. Mereka diibaratkan sebagai golongan orang yang menjalani kehidupannya seperti apa yang selazimnya semua orang jalani. Bangun, berangkat kerja, bekerja, pulang kerja, dan istirahat.
ADVERTISEMENT
Ya intinya, tidak ada yang spesial, begitupun dengan para mediocre yang ada di usia 20 ini. Menjalani kehidupan kampus dengan biasa saja. Mengikuti organisasi secukupnya, begitupun dengan volunteer atau magang dan yang lainnya. Tidak perlu terlalu mengikuti tren yang sedang hits di media sosial, maupun terus-terusan mengejar “pengalaman” agar resume penuh dan kolom pengalaman LinkedIn terisi hingga pilihan more ada di sana. Bagi para medioker ini, cukuplah menjadi diri mereka sendiri dengan goals yang seadanya dan sebisa kemampuan mereka.
Mungkin pembaca berpikir, “Terus, mereka gak berkembang gitu?” Ya, justru orang yang menjadi biasa-biasa saja ini yang nantinya kemungkinan besar akan lebih memahami diri mereka sendiri karena “biasa”-nya mereka itu. Hal ini dikarenakan dengan menjadi biasa, maka kalian pertama-tama akan diajak mengenal kembali diri kalian itu seperti apa.
ADVERTISEMENT
Apa yang sebenarnya kalian suka? Seberapa jauh kalian mampu untuk melakukan suatu hal? Cara seperti apa yang paling tepat bagi kalian untuk menempuh dan menanggapi suatu hal? Apa saja yang mau dijadikan sebagai tujuan kalian? Dan sebagainya.
Menjadi medioker bukan berarti kita berdiam diri, rebahan, dan tak melakukan apa pun. Bukan juga berarti bahwa kita menerima nasib dan mundur atas kesempatan-kesempatan yang terbuka untuk kita. Namun, menjadi medioker berarti kita tidak lantas terburu-buru dalam memilih keputusan, mengambil kesempatan secukupnya dan sesuai dengan kemampuan, tujuan, juga keinginan kita. Menjadi medioker juga berarti kita juga tidak “kejar-kejaran” dengan prestasi orang lain, terlebih bagi kita yang kini menginjak usia 20.
Tak ada salahnya bagi para generasi Z untuk menjadi orang-orang biasa di awal 20 tahunnya. Toh sebenarnya perjalanan kita masih panjang, juga masih banyak hal yang perlu diselami dan dijelajahi satu persatu. Tak perlu bagi kita untuk terus-terusan tancap gas ketika memilih melakukan sesuatu tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Memang apa sih yang kita kejar hingga berani-beraninya ikutan ini dan itu tanpa memikirkan bagaimana efeknya ke diri kita? Siapa juga yang menyuruh kita seperti sekarang ini? Apa benar orang di sekitar kita seperti orang tua, atau justru sebenarnya diri kita sendiri karena takut menjadi yang paling akhir?
Mengapa kita harus merasa demikian? Memangnya hidup ini sebuah perlombaan?
Saat inilah di mana kita mesti stop untuk terlalu mengejar apa yang selama ini dibebankan pada kita di umur 20. Tidak perlu merasa takut melihat teman sepermainan maupun orang-orang yang lebih muda sari kita memiliki berbagai prestasi daripada kalian. Hal ini tak lantas buat kita jauh lebih kecil dibanding mereka. Semuanya punya start point-nya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Tak usah menyamakan dengan khalayak karena sejatinya satu cara tak selamanya berfungsi untuk semua orang. Biarkan mereka dengan ke-hustle-an mereka dan kita dengan cara kita sendiri. Semuanya juga sama saja kok. Tidak ada yang lebih baik, tidak ada juga yang lebih buruk. Carilah cara mana yang lebih pas untuk kamu geluti, mau itu menjadi “luar biasa” atau mau menjadi “biasa saja”. Namun satu hal yang perlu diketahui: menjadi biasa-biasa saja pun, di umur 20, bukan hal yang buruk juga kok.