Konten dari Pengguna
Krapyak Peduli Sampah: Gerakan dari Hati, Bukan Instruksi
11 Juni 2025 15:30 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Andika Muhammad Nuur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah, terutama di kawasan padat seperti pesantren, sekolah, dan desa-desa. Namun, di tengah krisis ini, muncul inisiatif akar rumput yang menawarkan solusi konkret dan berkelanjutan. Krapyak Peduli Sampah (KPS), sebuah gerakan lingkungan yang tumbuh dari Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum di Yogyakarta, membuktikan bahwa perubahan dimulai dari kesadaran, bukan instruksi dari atas.
ADVERTISEMENT
Dengan pendekatan mandiri dan berbasis gotong royong, KPS berhasil menurunkan produksi sampah harian dari 2 ton menjadi hanya sekitar 100 kg. Prinsip utamanya sederhana namun revolusioner: sampah hari ini selesai hari ini. Dari santri, pengasuh pondok, hingga dapur umum, semua pihak terlibat aktif dalam pemilahan, pengolahan, dan edukasi sampah. Model ini tak hanya menjawab krisis lingkungan, tapi juga membangun budaya sadar lingkungan dari bawah.
Potensi Besar Komunitas dan Gerakan Mandiri
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan lebih dari 18 juta ton sampah setiap tahunnya. Sektor permukiman, termasuk pesantren dan kawasan pemukiman padat, menjadi salah satu kontributor utama. Sayangnya, upaya pemerintah sering kali terhambat oleh pendekatan top-down yang mengabaikan konteks lokal dan partisipasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di sinilah keunikan KPS terlihat. Gerakan ini dibangun bukan karena proyek pemerintah atau instruksi lembaga donor, melainkan karena dorongan moral, spiritual, dan kepedulian sosial dari komunitas pondok itu sendiri. Dengan memanfaatkan teknologi sederhana seperti biogas, komposter, dan metode pemilahan langsung, KPS menjadi bukti bahwa solusi tidak selalu harus mahal atau kompleks. Yang dibutuhkan adalah konsistensi, keterlibatan, dan kepemimpinan moral.
Paradigma Baru: Lingkungan Sebagai Bagian dari Pendidikan dan Ibadah
KPS bukan sekadar program lingkungan. Ia telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan pesantren. Para santri tidak hanya belajar fikih dan tafsir, tapi juga bagaimana membuang sampah dengan benar, memproduksi kompos, dan bahkan mengolah limbah organik menjadi energi biogas untuk keperluan dapur pondok. Dalam tradisi Islam, kebersihan adalah bagian dari iman. Di KPS, prinsip ini diterjemahkan ke dalam praktik harian yang nyata.
ADVERTISEMENT
Pendekatan ini memperlihatkan bahwa isu lingkungan tidak bisa hanya diserahkan pada teknokrat atau birokrat. Perlu ada penyatuan antara nilai-nilai agama, budaya lokal, dan teknologi tepat guna. KPS berhasil menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan bisa ditumbuhkan melalui nilai, bukan sekadar aturan.
Menjawab Tantangan Nasional dengan Solusi Lokal
Berbeda dengan program-program nasional yang seringkali fokus pada skala besar dan angka-angka target, KPS bergerak perlahan namun pasti. Ia tidak membangun puluhan TPS atau membagikan ribuan tong sampah. Sebaliknya, ia membentuk budaya dan kesadaran. Hasilnya? Sistem pengelolaan sampah yang lebih efisien, rendah biaya, dan lebih berkelanjutan.
Pemerintah pusat dan daerah perlu belajar dari pendekatan seperti ini. Alih-alih mendorong proyek-proyek mahal dengan hasil jangka pendek, investasi dalam pendidikan lingkungan dan penguatan komunitas lokal akan menghasilkan dampak jangka panjang yang lebih kuat. Program seperti Koperasi Desa Merah Putih bisa belajar dari KPS: mulai dari masyarakat, bukan dari spreadsheet.
ADVERTISEMENT
Menanam Harapan Hijau dari Pesantren
KPS bukan satu-satunya, tapi ia adalah salah satu contoh paling inspiratif dari gerakan lingkungan berbasis komunitas di Indonesia. Jika direplikasi dengan pendekatan adaptif—sesuai dengan karakter desa, budaya, dan keyakinan setempat—gerakan seperti ini bisa menjadi motor transisi ekologis Indonesia. Sebagaimana gotong royong membangun irigasi dan jalan desa, gerakan lingkungan juga harus dibangun dengan semangat yang sama.
Indonesia tidak kekurangan program, tapi sering kekurangan keteladanan. Krapyak Peduli Sampah memberi contoh bahwa perubahan tidak perlu menunggu keputusan pusat. Ia bisa dimulai dari dapur santri, halaman pesantren, dan hati yang sadar bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ibadah.