Konten dari Pengguna

Harmoni Puasa dari Tanah Amerika

3 Juni 2017 9:53 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andika Putra Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Amerika. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Amerika. (Foto: Thinkstock)
Tentu saja, ada beberapa perbedaan yang kita dapat rasakan ketika menjalankan puasa di negeri asing dibanding ketika puasa di Indonesia. Saya diberi kesempatan untuk dapat merasakan bulan Ramadhan di Amerika Serikat (AS) selama beberapa tahun ketika menjalanan studi S3, khususnya di daerah New Jersey-New York (daerah timur laut AS). Pengalaman yang saya rasakan mungkin tidak dapat digeneralisasi ke konteks daerah lain di AS maupun ke rekan-rekan saya yang tinggal di daerah yang sama, karena setiap pengalaman pada dasarnya memiliki nilai instrinsik yang unik dan subjektif. Justru karena subjektif, setiap pengalaman memiliki nilai. Disini, mungkin saya juga akan sedikit menceritakan perbedaan (juga persamaan) kehidupan yang dirasakan secara umum, khususnya sebagai muslim dan umumnya sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Saya coba menceritakan pengalaman saya dalam kerangka mempelajari budaya, khususnya dalam cara berpikir menggunakan metafora gunung es (iceberg). Dalam metafora gunung es, kita mengerti bahwa apa yang kita lihat secara tampak (visible) pada permukaan gunung es hanya sebagian kecil saja dari apa yang sebenarnya ada (ketika kita menyelam dalam). Semakin dalam kita menyelam, semakin nafas kita tersesak karena keluar dari zona nyaman kita.
Pada akhirnya, yang kita dapatkan atau harapkan untuk didapat adalah pelajaran berharga yang mungkin sulit terungkap, tapi dapat dirasakan secara jelas dan cukup personal.
Hal-hal yang Tampak
Selain perbedaan lama waktu puasa yang sangat jelas dirasakan (yang saya rasa dirasakan cukup jelas oleh rekan-rekan Indonesia saya juga karena puasa jatuh pada musim panas), saya rasa tidak ada banyak perbedaan dari kebiasaan-kebiasaan di bulan puasa. Sahur, bekerja dari pagi hingga sore, buka puasa, dan tarawih adalah rangkaian kegiatan normal yang saya amati (cukup sama dengan apa yang saya alami di Indonesia).
Muslim di Amerika menjalankan shalat teraweh (Foto: REUTERS/Amr Alfiky)
zoom-in-whitePerbesar
Muslim di Amerika menjalankan shalat teraweh (Foto: REUTERS/Amr Alfiky)
Yang membuat beda adalah pengalaman bercakap dan berada dalam satu ruangan (misal, dalam masjid) dengan orang-orang yang berasal dari berbagai negara dan suku dunia. Ada orang Afrika-Amerika dan orang dari negara-negara di Afrika dan Timur Tengah. Di masjid, masing-masing dari kami akan memanggil masing-masing lainnya dengan sebutan "brother" atau "sister". Karena kami berasal dari berbagai negara, khususnya untuk para wanita, cara berpakaian pun sangat beragam. Tapi tidak ada satu jenis atau model pakaian yang mendominasi. Ini dirasakan, baik di bulan puasa maupun di bulan-bulan lainnya.
ADVERTISEMENT
Satu lagi perbedaan unik adalah mengenai imsak. Di Indonesia, kita diharapkan untuk selesaisSahur pada periode waktu yang namanya imsak. Di AS, yang menandakan berakhirnya sahur adalah azan subuh. Yang namanya imsak tidak begitu dikenali (tidak lumrah). Dalam kalender-kalender salat dalam bulan puasa pun tidak tercantum istilah imsak, tidak seperti yang dapat dijumpai di Indonesia.
Beberapa Pelajaran
Khususnya selama Ramadhan, yang juga dapat diaplikasikan dalam bulan lain, salah satu pelajaran yang berharga adalah pentingnya merasakan sebagai bagian dari minoritas.
Sebagai bagian dari minoritas, saya merasakan adanya penghargaan yang baik oleh kelompok mayoritas (yang tidak menjalankan puasa di bulan Ramadhan). Di Indonesia (tidak di semua tempat), menjalanan ibadah puasa adalah kegiatan kelompok mayoritas. Sehingga relatif lebih mudah untuk menjalankan ibadah puasa, sebagian karena didorong secara psikologis dan sosial oleh masyarakat sekitar.
ADVERTISEMENT
Menjalankan ibadah puasa sebagai bagian dari minoritas membuat saya pribadi harus berusaha setidaknya mengerti dan menghargai siapapun minoritas yang ada di lingkungan kita. Sebagai mayoritas, kita berada dalam zona aman. Pertarungan batin yang saya lalui adalah bagaimana saya bisa keluar dari zona aman dan masih merasa bersyukur, tidak hanya bersyukur ketika semuanya baik-baik saja (dalam zona aman) tapi ketika semuanya sangat menantang eksistensi kita. Kontemplasi seakan menjadi lebih optimal ketika saya berada dalam lingkungan dimana saya menjadi minoritas, bukan dalam zona aman ketika saya menjadi mayoritas.
Shalat Jumat Pertama di Ramadhan (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Shalat Jumat Pertama di Ramadhan (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Terkait dengan poin di atas adalah pentingnya menghargai orang atau kelompok yang tidak berpuasa. Sering saya mendengar dalam konteks di Indonesia bahwa kita yang berpuasa ingin dihargai, dengan beberapa kebijakan publik yang mendukung mayoritas. Tapi buat saya agak beda. Saling pengertian adalah dua arah. Puasa adalah pilihan saya dan tugas saya adalah menghargai mereka yang tidak puasa. Sempat kejadian ketika saya diundang rekan-rekan saya dari berbagai negara untuk makan siang dalam rangka perayaan kelulusan salah satu teman kami. Pada saat itu, hanya saya satu-satunya yang puasa. Pada suasana ini, saya benar-benar harus mengerti dan menempatkan diri saya sebagaimana mestinya. Saya masih dapat menjalankan puasa dan menikmati keriangan dan pertemanan kami sambil menyaksikan mereka menyantap makanan khas Ethiopia. Tentu saja tidak mudah, tapi bermakna.
ADVERTISEMENT
Puasa kali itu juga bertepatan dengan proses pencarian topik disertasi saya (saya merasa ingin mengganti topik disertasi saya menjadi sesuatu lebih berarti atau meaningful). Pada akhirnya, saya "diarahkan" untuk dapat meneliti fenomena religiusitas, spiritualitas, dan etika dalam konteks bisnis dan manajemen (studi saya berada dalam program di sebuah sekolah bisnis). Mungkin ini tidak akan terjadi apabila saya tidak ditempatkan dalam konteks dimana saya bukan kelompok minoritas dan dalam konteks dimana saya harus mencari jawaban dari sebuah permasalahan hidup. Saya ditempatkan pada kondisi di mana sayalah yang harus mencari jawaban atas permasalahan penelitian yang saya hadapi (dalam kasus saya, persoalan penelitian saya sangat sentral dan integral terhadap perjalanan hidup saya). Yang saya dapat lakukan adalah bergantung pada ilham disamping kebingungan-kebingungan yang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Memaknai Perbedaan
Pelajaran besarnya bagi saya adalah bagaimana saya memaknai perbedaan (dan persamaan) budaya yang saya alami. Lalu saya teringat sebuah ayat yang berbunyi (Al-Hujurat: 13)
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti."
ADVERTISEMENT
Bagi saya, ayat ini merupakan perpanjangan dari surat Al-Fatihah di mana dikatakan bahwa Yang Maha Kuasa adalah Pemilik Semesta Alam. Alam adalah bentuk yang menyatu tapi dengan berbagai sudut pandang dan cara pandang yang berbeda. Perbedaan budaya bukan hanya sekedar perbedaan kebiasaan yang tampak, tapi juga perbedaan pola pikir dan cara pandang bahkan perbedaan tentang apa yang disebut sebagai "bijak." Bahasa, walaupun dimaknai sebagai penyatu manusia, juga dapat menjadi pemisah manusia. Satu kata bisa bermakna bermacam-macam, belum lagi cara kata tersebut disampaikan.
AS yang cenderung individualis sering dimaknai sebagai kultur yang egois oleh kita yang berasal dari Timur. Apa yang saya rasakan, penyebutan ini tidak sepenuhnya menggambarkan dan bahkan pelabelan ini bisa dikatakan kurang bertanggung jawab. Sisi lain dari kultur yang individualis adalah penekanan pada kewajiban dari seorang individu (personal responsibility), di samping hak individu, untuk dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam struktur sosial yang lebih cenderung kolektif seperti Indonesia, tentu saja ada kebijaksanaan lain yang dapat dipelajari. Tapi jarang saya mendapat pelajaran tentang personal responsibility pada level itu. Penekanan yang saya rasakan di Indonesia adalah bahwa manusia saling berhubungan dan bergantung, sehingga harmoni perlu dijaga. Tapi kadang-kadang, terlalu menekankan pada harmoni dapat membuat masyarakat terlalu menjunjung tinggi kewajiban kolektif (collective responsibility) dengan mengorbankan hak individu. Tentu saja, ini perlu dimaknai sebagai proses sosial yang normal yang diakibatkan oleh proses historis yang panjang. AS dan Indonesia secara objektif berada dalam alam yang sama, tetapi secara subjektif memiliki cara pandang yang cenderung berbeda terhadap kehidupan.
Ketika puasa ditempatkan dalam konteks personal responsibility, puasa dapat dimaknai sebagai pilihan individu walaupun sekelilingnya tidak melakukan hal yang sama. Tentu saja, saya merasa nyaman ketika bersama dengan rekan-rekan saya yang juga menjalankan puasa (comfort zone). Tetapi bukan berarti saya harus tinggal di zona ini selamanya.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, saya berharap untuk dapat menyampaikan bahwa, sering kali kita melihat masyarakat terpecah karena perbedaan ideologi, cara pandang, kebiasaan dan lain sebagainya. Bahkan agama menjadi sesuatu alat pemisah, bukan penyatu untuk saling mengerti. Pengalaman saya berada di AS membantu saya untuk memaknai esensi dari perbedaan pada level lain yang tidak saya dapatkan di daerah asal saya, melalui praktek puasa yang dirasakan maupun keseluruhan pengalaman, dan memberikan saya peluang untuk berpikir tentang proses beragama secara inklusif (merangkul perbedaan).
Di samping ini, tentu banyak hal lainnya yang saya tidak tahu. Tapi bukankah itu esensi dari proses mengerti? Secara konstan memetakan kembali posisi diri di alam ini dan berserah diri, menemukan.
ADVERTISEMENT
Salam,
Andika Putra Pratama