Konten dari Pengguna

Pemuda dan Politik: Antara Apatisme dan Harapan Perubahan

Andika Putri Septianingrum
Mahasiswa aktif Universitas Pancasila, Jakarta Selatan
4 Mei 2025 13:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andika Putri Septianingrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
source: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
source: freepik.com
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk-pikuk politik nasional, generasi muda sering disebut sebagai agen perubahan. Namun, sebutan ini tampaknya lebih banyak menjadi jargon kosong ketimbang kenyataan. Sebagian besar anak muda justru terlihat menjauh dari arena politik formal, baik sebagai pemilih aktif maupun sebagai aktor politik.
ADVERTISEMENT
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pemilu 2024 lebih dari 56% daftar pemilih tetap berasal dari generasi milenial dan Gen Z. Ini berarti, dalam angka, generasi muda memegang kekuatan suara mayoritas. Namun sayangnya, data kuantitatif ini tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas partisipasi politik mereka.
Survei dari Indikator Politik Indonesia (2023) mencatat bahwa tingkat kepercayaan anak muda terhadap partai politik, lembaga legislatif, dan tokoh politik berada pada titik yang cukup rendah. Bagi mereka, politik adalah arena yang penuh drama, tidak jujur, dan jauh dari aspirasi rakyat. Banyak yang menganggap politik hanyalah ajang perebutan kekuasaan antarelite, bukan tempat memperjuangkan nilai atau visi perubahan.
ADVERTISEMENT
Fenomena apatisme ini bukanlah hal yang baru. Sejak era pasca-reformasi, generasi muda kerap mengekspresikan ketidakpuasan mereka lewat jalur nonformal seperti media sosial, seni, atau aksi sosial, ketimbang lewat jalur politik yang mapan. Media sosial memang memberikan ruang ekspresi bebas, tapi seringkali hanya berujung pada tren sesaat, tanpa dampak kebijakan yang nyata.
Namun, di balik sikap skeptis itu, ada sisi lain yang patut disorot, yaitu harapan. Generasi muda hari ini bukan apatis karena tak peduli, tapi karena mereka belum menemukan representasi yang pantas dipercaya. Mereka ingin terlibat, tapi bingung harus lewat jalur mana. Ketika ruang politik dipenuhi oleh wajah-wajah lama dan dinasti kekuasaan, sangat wajar jika mereka merasa tidak punya tempat.
ADVERTISEMENT
Sejarah memberi banyak contoh bagaimana pemuda mampu menggerakkan perubahan. Dari gerakan mahasiswa 1998, protes mahasiswa di Chile yang memperjuangkan pendidikan gratis, hingga aktivisme iklim yang digalang oleh Greta Thunberg. Semua ini menunjukkan bahwa jika diberi ruang dan kepercayaan, pemuda bisa menjadi katalisator perubahan yang signifikan.
Sayangnya, politik formal di Indonesia masih sangat tertutup terhadap regenerasi. Partai politik lebih sibuk mempertahankan struktur lama ketimbang melakukan kaderisasi yang progresif. Bahkan ketika anak muda terlibat, sering kali mereka hanya dijadikan simbol semata, bukan pengambil keputusan yang sejati.
Lalu bagaimana menjembatani jurang antara apatisme dan harapan ini?
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikatakan oleh Bung Hatta, “Kurang cerdas bisa diperbaiki, kurang cakap bisa dilatih, tetapi kalau tidak jujur, tidak ada obatnya.” Jika generasi muda ingin perubahan, mereka tidak bisa terus berharap orang lain yang bergerak. Mereka sendiri harus menjadi bagian dari sistem yang ingin mereka ubah yaitu dengan nilai dan cara baru.
Menjadi apatis mungkin terasa nyaman, tapi diam juga adalah pilihan politik. Dan dalam dunia yang penuh ketidakadilan, diam bisa berarti menyetujui status quo. Sudah saatnya anak muda tidak hanya marah di media sosial, tetapi juga terlibat secara aktif baik di parlemen, organisasi, maupun komunitas akar rumput.
Apatisme memang nyata. Tapi harapan selalu ada. Dan harapan itu kini bertumpu pada keberanian generasi muda untuk tidak hanya bermimpi, tetapi juga bertindak.
ADVERTISEMENT