Konten dari Pengguna

Kaget (dengan dunia) Digital

4 Februari 2017 23:13 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andin Rahmana Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kata kaget sedang hangat dibicarakan kembali akhir-akhir ini. Gara-garanya adalah ekspresi kaget dalam video Presiden Joko Widodo, saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI dan ditanya wartawan apakah ia kaget saat mengetahui teleponnya disadap.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, apa yang kita lihat sehari-hari di timeline Facebook, Twitter, atau WhatsApp grup saat ini, adalah bentuk kekagetan dari masyarakat Indonesia yang seperti mempunyai mainan baru tanpa buku manual. Saling hujat yang berujung unfriend, banyaknya hoax, hingga riuhnya kolom komentar foto artis di Instagram adalah makanan sehari-hari. Aktivitas berdigital-media ini dilakukan hanya berbekal rasa ingin tahu yang tinggi dan kreativitas khas rakyat Indonesia, sehingga iklim media digital - termasuk social media didalamnya - sangat dinamis dan menghangat dalam 2 tahun terakhir.
Hal ini menurut pandangan saya terjadi karena setidaknya dua hal, yaitu perubahan pola komunikasi dan generation gap. Setidaknya selama 32 tahun masyarakat Indonesia memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi dan menyuarakan pendapat. Hanya ada satu stasiun televisi pada selama tahun 1962-1989, dan meskipun selanjutnya ada banyak media cetak dan elektronik, semuanya tunduk dibawah kontrol dan harus menjalankan propaganda pemerintah. Hampir tidak ada atau sangat sedikit media yang bersuara berbeda, karena bisa jadi hari esoknya mereka tinggallah nama. Semua pesan yang diterima masyarakat pun relatif sama dan terarah. Ruang untuk berekspresi juga sangat terbatas, karena salah bicara sedikit saja, maka siap-siap masuk penjara.
ADVERTISEMENT
Dalam posisi yang serba homogen ini, tiba-tiba semua berubah. Soeharto tumbang, reformasi datang. Datanglah era baru keterbukaan informasi, yang ditandai dengan dihilangkannya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) pada masa pemerintahan B. J. Habibie dan pembubaran Departemen Penerangan pada masa pemerintahan Gus Dur.
Banjir informasi datang. Akses internet semakin mudah digapai dan perangkat untuk mengaksesnya juga semakin murah dari tahun ke tahun. Platform berkomunikasi secara dua arah bermunculan. Informasi yang tadinya datang satu arah, kini datang dari delapan penjuru arah mata angin. Hoax bertebaran, dan celakanya kita kadang tidak bisa atau tidak mau membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Ada versi A, B, C hingga G, semuanya diterima mentah-mentah.
ADVERTISEMENT
Cara untuk berdiskusi pun kini tanpa batasan ruang dan waktu. Obrolan warung kopi pindah ke portal berita di kolom diskusi. Suara satu orang yang tadinya tidak bernilai, kini bisa berbunyi nyaring sekali melalui media sosial.
Ibu-ibu dan calon ibu-ibu tidak mau kalah. Obrolan umum dengan tetangga yang sedianya dilakukan di pasar atau saat bertemu di tukang sayur, pindah ke kolom komentar Instagram selebriti. Norma-norma bertetangga dibawa ke dunia maya. Bila ada artis yang bajunya terbuka, maka ceramah agama akan berderetan dengan dalih saling mengingatkan sesama saudara. Setiap aktivitas pun tak luput menjadi bahan update, mulai dari gendong cucu sampai beli blender baru.
ADVERTISEMENT
Mulai gelisah?
Bila ada yang berharap situasi yang terlalu dinamis ini untuk menjadi lebih wajar dan tenang, semuanya akan kembali ke literasi dan edukasi. Masyarakat - termasuk kita - yang sedang kaget ini perlu untuk mendewasakan diri untuk memanfaatkan media digital dengan mengevaluasi tingkah diri sendiri. Caranya adalah dengan bersama-sama membangun kesadaran untuk memperlakukan media digital dengan baik, dewasa dan bijaksana.
Setiap orang punya peran untuk menyelesaikan masa kaget digital ini. Para millenials yang lebih melek teknologi dan informasi, bisa mengingatkan orang tua disekelilingnya untuk mengecek terlebih dahulu validitas informasi sebelum meneruskan pesan ke grup alumni. Para pengajar, bisa menumbuhkan kesadaran sejak dini kepada para siswa untuk berpikir dua kali sebelum posting, sekalipun di akun sendiri. Pemerintah sendiri sudah bergerak dengan usaha menertibkan portal berita dan Dewan Pers yang akan memverifikasi media online. Beberapa media ikut berpartisipasi seperti Kompas dengan gerakan BeriMakna dan Republika yang memiliki kolom khusus informasi Hoax untuk mengedukasi masyarakat. Dan kita, siapapun yang sedang membaca tulisan ini, juga wajib menjaga tangan untuk tidak melakukan hal-hal yang akan membuat kita menyesal di kemudian hari. Karena perubahan, dimulai dari diri kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Seperti kata pepatah jawa, berlakulah seperti ini di media digital : Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman Yang artinya : Kita hendaknya tidak mudah merasa heran, tidak mudah merasa menyesal, jangan mudah terkejut dengan sesuatu, dan jangan kolokan atau manja.
social media on gadget (Foto: fancycrave1)