Konten dari Pengguna

UU ITE vs KUHP: Dilema Hukum Pers di Era Digital

Andini Putri Caniago
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
13 September 2024 12:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andini Putri Caniago tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era digital saat ini, perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pers. Kemudahan akses dan penyebaran informasi melalui media online menawarkan peluang besar bagi kebebasan berpendapat. Namun, hal ini juga menciptakan tantangan baru dalam hal pengaturan hukum, terutama terkait delik pers. Dua regulasi utama yang berperan dalam pengaturan hukum pers di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan pers dan informasi digital, dan perbedaan ini sering menimbulkan dilema hukum.
sumber pexels
ADVERTISEMENT
KUHP telah lama menjadi dasar hukum dalam menangani berbagai jenis delik, termasuk yang berkaitan dengan pers. Dalam konteks pers, KUHP mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pencemaran nama baik, fitnah, dan penghinaan. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi reputasi individu dari serangan yang tidak berdasar atau merugikan. Namun, pendekatan KUHP dalam hal ini seringkali dianggap kaku dan tidak sepenuhnya mampu mengakomodasi dinamika dunia digital.
UU ITE, yang diberlakukan pada tahun 2008 dan mengalami beberapa perubahan, hadir untuk mengatur transaksi elektronik dan informasi digital. Undang-undang ini mencakup berbagai aspek, mulai dari perlindungan data pribadi hingga pengaturan konten di media sosial. Dalam konteks delik pers, UU ITE mengatur tindakan seperti pencemaran nama baik dan penghinaan dalam ranah digital. UU ini memberikan sanksi pidana bagi pihak-pihak yang menyebarluaskan informasi yang merugikan reputasi seseorang melalui media elektronik.
ADVERTISEMENT
Namun, penerapan UU ITE dalam kasus delik pers sering kali menimbulkan kontroversi. Kritikus berpendapat bahwa UU ITE cenderung lebih mudah digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat, terutama karena ketentuan yang dianggap terlalu luas atau ambigu. Dalam beberapa kasus, penggunaan UU ITE untuk menuntut jurnalis atau aktivis dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan pers.
Dilema utama yang muncul adalah bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan terhadap individu dari pencemaran nama baik dan penghinaan dengan menjaga kebebasan pers yang merupakan bagian penting dari demokrasi. KUHP dan UU ITE, meskipun memiliki tujuan yang serupa dalam mengatur delik pers, menawarkan solusi yang berbeda dan terkadang bertentangan. KUHP cenderung lebih berfokus pada perlindungan reputasi individu, sedangkan UU ITE lebih menitikberatkan pada pengaturan konten digital yang berpotensi merugikan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi dilema ini, perlu adanya upaya untuk menyelaraskan kedua regulasi tersebut sehingga dapat menciptakan kerangka hukum yang lebih harmonis dan efektif. Salah satu solusinya adalah dengan memperbaharui atau merevisi UU ITE agar lebih jelas dan tidak menimbulkan multi-tafsir, serta memastikan bahwa implementasinya tidak menyimpang dari prinsip-prinsip kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi. Selain itu, pengawasan yang ketat dan transparansi dalam penegakan hukum juga menjadi kunci untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
sumber pexels
UU ITE dan KUHP memiliki peran penting dalam mengatur delik pers di Indonesia, tetapi perbedaan pendekatan mereka menimbulkan dilema hukum yang signifikan di era digital. Menyelaraskan kedua regulasi ini untuk menciptakan sistem hukum yang adil dan efektif, sambil tetap menjaga kebebasan pers, adalah tantangan yang harus dihadapi. Hanya dengan pendekatan yang seimbang dan reformasi yang tepat, kita dapat memastikan bahwa kebebasan berpendapat dan perlindungan hukum dapat berjalan berdampingan dengan harmonis di dunia digital yang terus berkembang.
ADVERTISEMENT