Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Remaja dan Fenomena Krisis Seperempat Kehidupan
27 November 2021 11:07 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Andini Rohmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Anak-anak sudah bukan, dewasa masih belum. Remaja adalah masa-masa cinta monyet, syndrom kelas dua, halu akut, dan gabungan momen-momen memalukan lainnya yang lebih baik dikubur di belakang rumah. Fase remaja memiliki tiga tingkatan; remaja awal, remaja pertengahan, dan remaja akhir atau dewasa awal.
ADVERTISEMENT
Remaja dapat dikatakan memasuki fase dewasa awal apabila berusia kisaran 18 hingga 30 tahun. Masa dewasa awal adalah masa tanggung dan krisis identitas. Bayangkan saja, remaja yang sebelumnya selalu dimomong-momong, disediakan ini-itu, tiba-tiba harus menentukan tujuan hidupnya, memilih jenjang karirnya, memikirkan kehidupan cintanya untuk nanti bisa berumah tangga, memomong anak di halaman rumah tingkat dua yang luas dengan pagar putih. Semuanya terjadi dalam periode yang singkat dan tentu dapat mengejutkan. Layaknya burung yang baru menetas kemudian disuruh terbang dengan sayap yang masih basah oleh lendir.
Peristiwa ini dalam ilmu psikologi disebut dengan istilah “quarter life crisis” atau yang diterjemahkan secara kasar menjadi “krisis seperempat kehidupan”. Quarter life crisis adalah fase pencarian jati diri. Seperti sebuah petualangan mencari harta karun yang akan mengantarkan seorang remaja mendapati koin emas di ujung pelangi. Pada masa ini, layaknya sebuah petualangan yang sering digambarkan di film-film, pasti terdapat tantangan yang harus dilewati oleh si tokoh utama demi mendapatkan harta karun yang didambanya.
ADVERTISEMENT
Setiap tantangan yang dialami tentu tidak selamanya berjalan dengan mulus. Terkadang ada masa sulit yang harus dilalui dalam proses pendewasaan dan tidak jarang dapat menimbulkan tekanan batin. Meski terdengar menyeramkan—bahkan 86% remaja menilai mereka sering merasa tidak nyaman, kesepian, dan depresi pada periode ini—fase quarter life crisis merupakan proses penting yang perlu dialami individu untuk lebih mengenali dirinya.
Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hal ini mungkin,
Dengan beberapa malam mempertanyakan eksistensi dirinya dapat membawa seseorang lebih mengenali dirinya sendiri. Beberapa waktu cemas dengan ketertinggalannya dapat memimpinnya kepada jalan hidupnya. Beberapa masa terhanyut dalam kebimbangan dapat menuntun seseorang menjadi pribadi yang lebih bijak dan tangguh.
Namun, setiap individu memiliki ketahanan mental yang berlainan satu dengan yang lain ketika menghadapi suatu permasalahan yang tentunya tidak boleh dipukul rata atas dasar apa pun. Dapat kita gambarkan seperti karakter dalam game yang dibekali penciptanya dengan ketahanan yang berbeda. Permasalahan dalam kehidupan, dalam hal ini kita ibaratkan dengan serangan dari musuh, dapat mengurangi HP (health point) karakter dengan nilai yang berbeda dengan karakter lain yang memiliki defense lebih kuat atau lemah. Artinya, permasalahan yang sama boleh jadi ditanggapi dengan cara yang berbeda dan memiliki dampak yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Beruntunglah mereka yang tahan banting. Remaja dengan mental yang kuat cenderung lebih dapat memposisikan dirinya terhadap masalah yang dihadapi, vice versa. Masalah yang ada dan dirasa berat untuk dijalani ditambah keadaan mental yang cenderung lemah dikhawatirkan menjadi bom waktu yang berpotensi memicu depresi.
For your information, nih ya, depresi bisa menjadi pemicu seseorang terkena stroke, diabetes dan kanker karena mental illness ini memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Bahkan, penelitian dari Mental Health Foundation menyebutkan bahwa seseorang dengan depresi memiliki risiko peningkatan risiko penyakit jantung koroner. Menakutkan.
Oleh karena itu, bahasan tentang kesehatan mental menjadi penting. Apalagi selama Pandemi Covid-19, sebesar 30,1% yang melaporkan dirinya mengalami gejala kecemasan dan atau gangguan depresi. Pandemi ini merupakan tantangan global yang anyar. Tidak semua orang dapat beradaptasi dengan situasi baru, apalagi mereka yang berada dalam fase dewasa awal. Menghadapi perubahan tantangan dalam hidupnya sudah cukup mengguncang, ditambah dengan masalah sebesar pandemi. Sungguh tahun yang tidak menyenangkan bagi mereka, bukan?
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kesehatan mental sering kali tidak dihiraukan urgensinya. Sama nasibnya seperti pencapaian-pencapaian lagu “Butter” milik BTS yang tidak digubris oleh Grammy. Bagaimana bisa “Butter” yang selama sepuluh pekan menduduki singgasana #1 HOT 100 Billboard tidak dinominasikan sebagai Record of The Year atau Song of The Year? Sungguh mengherankan. Namun, begitulah adanya, gangguan kesehatan kurang diperhatikan karena tidak terlihat dampak nyatanya. Padahal, kesehatan mental mempunyai dampak yang signifikan terhadap manusia.
Kesehatan mental juga perlu diprioritaskan, sama halnya dengan kesehatan fisik. Keduanya bagaikan dua sayap burung yang berbarengan menyokong manusia. Dua sobat seperti Sherlock Holmes dan rekannya, Dr. John Hamish Watson--sebenarnya kita tidak benar-benar mengetahui nama tengah Watson karena sumber yang menyebutkan nama tengahnya adalah Hamish merupakan sumber non-canon, yaitu cerita yang tidak ditulis langsung oleh Conan Doyle, tapi kalian tau maksudku, kan? Seperti larutan Alpha Hydroxy Acid yang berkawan dengan Beta Hydroxy Acid. Kesehatan fisik dan kesehatan mental berhubungan erat seperti itu.
ADVERTISEMENT
Pembahasan akan pentingnya kesehatan mental sering menimbulkan stigma dalam masyarakat. Maka dari itu, pembahasan terkait hal ini harus mulai digemborkan agar topik ini tidak lagi menjadi pembicaraan yang tabu. Kesehatan mental bukan merupakan masalah individu. Semua lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencegah dan membantu penyembuhan pengidap gangguan kesehatan mental.
Apabila topik kesehatan mental berhasil dinormalisasikan, akan tercipta lingkungan yang ramah dan suportif. Lingkungan yang seperti ini turut mendorong kesempatan bagi mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental untuk mendapatkan rehabilitasi tanpa perlu mengkhawatirkan anggapan negatif yang selama ini berkembang di masyarakat.
Penulis: Andini Rohmawati dan Verdiana Nailuvar El Sandy
Data Referensi:
Industry.co.id (2020). Ada Hubungan Kesehatan Mental dengan Kesehatan Fisik, Jangan Remehkan! - Industry.co.id. [online] Industry.co.id. Available at: https://www.industry.co.id/read/73236/ada-hubungan-kesehatan-mental-dengan-kesehatan-fisik-jangan-remehkan [Accessed 27 Nov. 2021].
ADVERTISEMENT
KFF. (2021). The Implications of COVID-19 for Mental Health and Substance Use – Issue Brief – 9440-03. [online] Available at: https://www.kff.org/report-section/the-implications-of-covid-19-for-mental-health-and-substance-use-issue-brief/ [Accessed 27 Nov. 2021].
Redaksi Halodoc (2021). Jangan abaikan kesehatan mental. Pasalnya, kesehatan mental juga bisa pengaruhi kesehatan fisik. Ini alasannya. [online] halodoc. Available at: https://www.halodoc.com/artikel/kesehatan-mental-bisa-memengaruhi-kesehatan-fisik [Accessed 27 Nov. 2021].