Konten dari Pengguna

Poskolonialisme Novel Tetralogi Buru Karya Pramoedya Ananta Toer

Andini Dwi Putri
Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang
16 Desember 2022 16:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andini Dwi Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://unsplash.com/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://unsplash.com/
ADVERTISEMENT
Poskolonialisme masih dianggap bahasan sensitif karena mengandung unsur terbelaka. Jika kita kilas balik, terdapat karya sastra yang ditahan peredarannya karena mengandung unsur penjajahan. Namun, arti dari poskolonialisme itu sendiri apa, sih? Apa yang menjadi isu sensitif dari bahasan tersebut?
ADVERTISEMENT
Poskolonialisme diawali dengan adanya kata poskolonial, yang diartikan sebagai teori yang memahami seluk-beluk suatu negara yang mengalami bentuk kolonisasi atau penjajahan. Poskolonial lahir sebagai bentuk kritik penyadaran terhadap kolonialisme. Kritik yang dilakukan bisa berupa dari budaya, politik, bahasa, dan hal sosial lainnya yang dilakukan oleh kaum penjajah pada masa itu.
Penggambaran bentuk kolonisasi atau bentuk mimikri kehidupan yang dilakukan penjajah tidak semata-mata mengarang keadaan, namun dapat digambarkan melalui sastra. Sastra dianggap sebagai potret kehidupan pengarang yang melihat realitas kehidupan. Hal ini dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam seri Novel Tetralogi Buru. Tetralogi Buru dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer ketika ia ditahan di Pulau Buru. Pada saat itu, ia diberikan kebebasan dalam menuangkan ide kreativitas sehingga ia membuat cerita kolonial dengan bahan yang ia punya. Cerita tersebut diawali dengan cara dilisankan olehnya kepada tahanan-tahanan lainnya. Setelah Pramoedya Ananta Toer bebas, ia mulai menerbitkan seri novel ini. Seri novel ini tidak mulus alur dalam penerbitannya. Novel Pramoedya ini pernah dilarang peredarannya karena dianggap mengangkat isu sensitif dan mengandung makna marxisme-lexisme dalam cerita yang dibuat. Seri Novel Tetralogi Buru terdiri dari empat novel, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
ADVERTISEMENT
Bumi Manusia adalah novel pertama yang diterbitkan dalam seri Tetralogi Buru pada tahun 1980. Novel ini menceritakan Minke dan Nyai Ontosoroh melawan penghinaan yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda. Salah satu bentuk penjajahan kolonial yang digambarkan dalam novel ini adalah perihal ekonomi masyarakat pribumi. Sistem ekonomi masyarakat Indonesia pada saat itu diatur oleh kolonial Belanda. Pribumi dianggap budak dengan dipekerjakannya mereka di perkebunan, sawah, dan memulai dagang. Bahkan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh priayi, khususnya pekerjaan pemerintahan, diambil alih oleh kekuasaan Belanda. Hal ini tidak berhenti dipekerjaannya saja, honor juga menjadi pembeda golongan. Honor masyarakat Belanda dibayar lebih tinggi dibandingkan dengan honor masyarakat pribumi. Selain itu, Nyai Ontosoroh juga menjadi korban dari sistem perekonomian pada saat itu. Ia dijual oleh ayahnya kepada Herman Mellema, untuk dijadikan sebagai istri. Hal ini merupakan bentuk penindasan dari masyarakat Belanda yang menganggap rendah masyarakat pribumi. Sebagai informasi tambahan, Novel Bumi Manusia sudah diadaptasi menjadi film di Indonesia dengan judul yang sama, dan dirilis pada tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Anak Semua Bangsa. Anak Semua Bangsa adalah novel kedua dari seri Tetralogi Buru yang diterbitkan pada tahun 1981. Dalam novel ini terdapat bentuk mimikri poskolonialisme seperti perihal bahasa. Pada saat masa penjajahan, bahasa Belanda hanya diajarkan kepada golongan bangsawan. Pribumi yang menggunakan bahasa Belanda dianggap mengejek atau mendiskriminasi bangsa Belanda. Minke yang dikenal sebagai pribumi yang pandai dalam menulis, ia juga pandai dalam berbahasa Belanda. Tanpa sadar, Minke masuk ke dalam dunia penjajah dan juga memahami kebudayaan mereka. Hal ini mampu mengangkat derajat Minke menjadi setara dengan kolonial Belanda. Perlu diingat, masyarakat Pribumi dianggap rendah oleh bangsa kolonial. Dengan kepandaian Minke, Minke mampu melawan penilaian negatif dari masyarakat Belanda.
ADVERTISEMENT
Lalu, ada Jejak Langkah. Jejak Langkah adalah seri novel ketiga Tetralogi Buru yang diterbitkan pada tahun 1985. Dalam novel ini, terdapat bentuk mimikri poskolonialisme seperti perihal kesenian. Nyai Ontosoroh harus menghadapi waktu tiga bulan untuk membiasakan diri mendengarkan opera dari musik eropa karena pengaruh Belanda dari suaminya, yaitu Herman Mellema. Hal ini memengaruhi gaya hidup pribumi Nyai Ontosoroh atas dorongan Herman Mellema. Herman Mellema berusaha mendoktrin rasa nasionalisme Nyai Ontosoroh dengan membuat dirinya mengikuti dunia kebaratan.
Terakhir, Rumah Kaca. Novel ini diterbitkan pada tahun 1988. Novel ini menjadi pembeda dari novel sebelumnya, karena sudut pandangnya diambil dari polisi Belanda, yaitu Jacquess Pangemanann. Terdapat bentuk mimikri poskolonialisme yang terjadi, yaitu perihal alat dan kelengkapan hidup. Pribumi yang berpakaian modern tidak akan mendapatkan pelayanan dari pekerja Belanda. Hal ini serupa dengan mimikri bahasa, karena dianggap melakukan diskriminasi kepada bangsa Belanda. Namun, Minke selalu berpakaian bangsawan Jawa, seperti menggunakan destar, rantai emas, arloji, batik, dan selop kulit. Hal ini menggambarkan Minke mampu melawan konotasi negatif yang diciptakan Belanda perihal pakaian.
ADVERTISEMENT
Nah, apakah kalian sudah paham dengan poskolonialisme? Poskolonialisme dalam Tetralogi Buru menjelaskan adanya bentuk peniruan gambaran pada kehidupan bangsa kolonial. Dengan adanya gambaran ini, masyarakat Indonesia yang ingin belajar tentang sejarah, dapat menggunakan seri Novel Tetralogi Buru sebagai media pembelajaran. Di setiap novelnya menceritakan masing-masing bentuk kolonialisme yang berbeda-beda dan tokoh utama yang berusaha melawan bentuk penindasan yang dilakukan oleh bangsa kolonial. Sebagai masyarakat muda yang hidup di zaman millenial ini, kita harus memiliki keberanian seperti Minke dan Nyai Ontosoroh dalam melawan segala bentuk penindasan yang terjadi di masa sekarang.
Andini Dwi Putri, Mahasiswi Universitas Pamulang.