Konten dari Pengguna

Apakah Pembakar Bromo Sama dengan Kita?

Muhammad Wahyudi
Bapak Rumah Tangga. Mantan Wartawan. Alumnus Magister Sosiologi Universitas Indonesia.
1 Oktober 2023 11:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Wahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kebakaran terjadi di Gunung Bromo wilayah Perum Perhutani sebelah Selatan View Point Gunung Penanjakan Kawasan pada Minggu (3/9/2023). Foto: BB TNBTS
zoom-in-whitePerbesar
Kebakaran terjadi di Gunung Bromo wilayah Perum Perhutani sebelah Selatan View Point Gunung Penanjakan Kawasan pada Minggu (3/9/2023). Foto: BB TNBTS
ADVERTISEMENT
"Nggak ada otak!" Itulah salah satu makian yang secara spontan keluar dari mulut saya selepas melihat pemberitaan masif mengenai ulah bodoh sekumpulan manusia yang berujung terbakarnya bukit di Bromo. Demi foto pra-nikah yang berharap bisa mendatangkan puja dan puji, mereka bermain bunga api di lahan penuh ilalang kering. Apakah tidak ada satupun di antara mereka yang berpikir kalau aksi itu bisa memunculkan petaka?
ADVERTISEMENT
Benar saja. Alam memberikan lebih dari yang mereka minta. Bukan lagi efek asap tipis-tipis yang mereka dapatkan, melainkan gelora api yang merambat cepat dari satu ilalang ke ilalang lain yang menimbulkan hawa panas dan kabut gas yang bikin napas sesak.
Sekitar 500 hektare lahan di kawasan hangus terbakar. Butuh berhari-hari dan berbagai macam teknologi untuk memadamkan. Entah berapa banyak uang pajak kita yang habis untuk itu. belum lagi kerugian ekonomi, sosial, dan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat sekitar. Kalau sudah begini, apa lagi yang bisa diharapkan dari para pelaku selain rasa penyesalan mendalam dan kesiapan menerima hukuman, baik dari masyarakat maupun negara.
Namun, itu tidak sepenuhnya terjadi. Enggan tanggung jawab sendirian, pembakar Bromo itu merasa perlu menyeret pihak lain untuk ikut disalahkan. Mereka berencana menuntut balik pengelola taman nasional lantaran dianggap abai memberikan aturan atau larangan, ketiadaan fasilitas pemadam kebakaran, dan lemahnya kontrol petugas.
ADVERTISEMENT
Rencana mereka tidak masuk di logika saya. Bagaimana bisa para pembakar itu menuntut pengelola yang notabene menjadi bagian dari pihak yang berusaha mati-matian memadamkan api yang sudah menjalar luas. Pihak yang secara tidak langsung berupaya menyelamatkan mereka dari murka masyarakat. Sumpah serapah saya makin menjadi.
Ilustrasi bakar sampah. Foto: Shutter Stock
Di sisi lain, saya juga merenung. Demi mencoba mencari permakluman yang bisa sedikit meringankan dosa-dosa mereka, setidaknya di mata saya. Dari perenungan itu, saya bergumam sendiri dalam hati: jangan-jangan para pembakar itu adalah perwujudan bentuk paling ekstrem dari saya dan (mungkin) Anda. Disadari atau tidak, kita juga masih sering melakukan aksi yang mengandung risiko publik hanya karena situasi anomie alias absennya aturan dan lemahnya pengawasan.
ADVERTISEMENT
Pernahkah kita membakar sampah seenaknya, membuang puntung sembarangan, berkendara melawan arah, atau menerobos palang pintu perlintasan kereta api?
Menurut Durkheim, anomie hanya akan melahirkan manusia-manusia egois. Seperti para penghancur keindahan Bromo itu. Seharusnya, terlepas dari ada-tidaknya aturan dan kontrol, mereka memakai akal sehat sebelum memutuskan untuk menyalakan suar.
Akal sehat juga perlu dilibatkan dalam berbagai tindakan yang memiliki konsekuensi publik. Termasuk tindakan mengiklankan politisi elite dalam tayangan azan di tengah suasana yang ngeri-ngeri sedap ini. Eeh, lho. Ndak bahaya, tah?