Belajar Online Bisa Pinter Kok, Asalkan...

Andrias Pujiono
Dosen di Sekolah Tinggi Teologi Syalom Bandar Lampung
Konten dari Pengguna
27 September 2021 20:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andrias Pujiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Compare Fibre_unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Compare Fibre_unsplash
ADVERTISEMENT
Anak saya yang nomor dua sedang duduk di TK B. Hampir tiap hari, karena Work From Home atau WFH saya menemaninya belajar. Waktu belajar menulis, saya punya trik tersendiri. Saya akan menuliskan kata atau huruf, kemudian sedikit dihapus, supaya agak buram, tapi masih terlihat bentuknya. Nah setelah itu, saya memintanya untuk menebalkannya. Lumayan, tugas sekolahnya cepat selesai. Kalau dibiarkan menulis sendiri, hasilnya masih amburadul dan lama.
ADVERTISEMENT
Saya berpikir sederhana, bahwa hal pertama yang dia harus miliki adalah kemampuan motorik. Dia perlu bisa memegang dan mengikuti pola huruf atau angka. Itu saja dulu. Berbulan-bulan trik itu saya terapkan. Hasil tulisannya cukup baik, karena hanya menebalkan saja. Kalau difoto dan dikirim ke gurunya tidak malu-maluin.
Beberapa waktu lalu, saya berpikir untuk menggunakan cara lain untuk meningkatkan kemampuannya. Dari yang hanya mengikuti pola yang saya buat, ke menulis sendiri berdasarkan contoh. Jadi, contoh tulisan ada di sebelah kiri dan ia akan menulis sendiri di sebelah kanan. Hasilnya cukup menggembirakan, tulisannya cukup berbentuk dan jelas terbaca. Dia jauh melampaui bapaknya, ketika dulu seusianya.
Bagi anak-anak, kemampuan untuk menulis angka dan huruf adalah hal yang fundamental. Kemampuan dasar tersebut menjadi titik pijak untuk memperoleh kemampuan lain, seperti membaca, menulis kalimat dan paragraf, hingga akhirnya menjadi suatu tulisan artikel atau buku.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, kemampuan membaca atau menulis pada tahap selanjutnya kurang mendapatkan perhatian. Ini terbukti di mana saat ini, Indonesia memiliki kemampuan literasi yang rendah. Jangankan anak-anak, yang dewasa saja literasinya masih memprihatinkan.
Elizabeth Sulzby berkata bahwa “Literasi adalah kompetensi berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi, seperti membaca, berbicara, menyimak dan menulis”. Singkatnya, literasi ini berkaitan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Pembelajaran online semasa pandemi menimbulkan kekhawatiran di pihak guru maupun orang tua. Bagi keduanya, belajar online sangat sedikit manfaatnya. Seorang guru Sekolah Dasar berkata, “Kalau online terus, anak-anak mau jadi apa?” Selain guru, ada banyak orang tua khawatir pada hasil dari belajar online, terkhusus terkait baca dan tulis.
Kemampuan literasi di Indonesia masih rendah. Khususnya dalam hal menulis. Kita yang pernah bersekolah pasti bisa menulis, tapi belum tentu menghasilkan tulisan yang baik. Banyak dari kita bisa atau bahkan biasa beropini lewat lisan, namun belum tentu dalam bentuk tertulis. Karena beropini dalam bentuk lisan dan tulisan itu berbeda. Dalam komunikasi lisan, kita dibantu oleh gestur tubuh dan lingkungan. Tetapi dalam tulisan, tidak ada bantuan sejenis itu. Komunikasi dalam bentuk tulisan bergantung pada pemilihan kata, struktur kalimat dan paragraf, serta ketepatan dalam menulis kata.
ADVERTISEMENT
Setelah mampu menulis seperti di atas, langkah selanjutnya adalah membuat tulisan yang memiliki gagasan yang baru dan kukuh, serta enak dibaca. ‘Baru’ bicara tentang sesuatu yang unik, dan ‘kukuh’ bicara tentang kesesuaian dengan logika. Sedangkan, ‘enak’ dibaca terkait beberapa hal, pertama terkait pemilihan kata dan bagaimana merangkainya. Kedua, tentang bagaimana struktur kalimat dan paragraf. Juga, terkait struktur yang paling tidak memuat pembukaan, isi, dan penutup.
Menulis adalah kompetensi yang sangat penting untuk dimiliki. Namun tidak semua orang mau berusaha untuk menguasai kemampuan ini. Ada banyak alasannya, seperti tidak berbakat, tidak punya ide, sibuk dan lain sebagainya. Dulu, kalau menulis saya sering kaku, kurang fokus dan banyak typo.
Masa pandemi, memberikan kita kesempatan untuk banyak belajar, tentang apa saja. Salah satunya tentang menulis. Di masa PPKM bukan berarti pasif dan mager ya. Karena banyak waktu luang, saya ingin meningkatkan kemampuan literasi. Kemudian, memutuskan untuk belajar menulis, terkhusus menulis artikel.
ADVERTISEMENT
Sarana belajar pertama yang saya tuju adalah youtube. Di sini, ada banyak konten tentang menulis artikel opini, esai, dan beberapa jenis tulisan lainnya. Belajar dari akun satu, ke akun yang lain. Saya mencatat dan mempraktikkan apa yang disarankan oleh para youtuber tersebut. Tapi kok merasa masih kurang. “Saya membutuhkan mentor yang memberikan feedback, kelas yang support, dan kelas yang mengedepankan praktik menulis.”
Tak disangka saya ‘ketemu’ iklan kelas menulis online. Saya ‘kepoin’ dan melihat profil si mentor. Penasaran, sehebat atau se-qualified apa guru ini? Karena tidak mau ‘beli kucing dalam karung’. Kemudian saya pun mencari artikel-artikelnya, saya baca dan tiba pada kesimpulan, dia yang saya cari. Di akhir Juni saya mendaftar untuk kelas bulan Juli, tapi sudah penuh. “Wah laris juga ini kelas,” pikirku. Karena semakin yakin, saya rela menunggu dan mendaftar untuk kelas bulan Agustus.
ADVERTISEMENT
Sebelum memulai kelas, saya diberikan akses materi, berupa teks dan video. Saya bersemangat, dan mempelajarinya sambil kerja. Malamnya, saya mulai praktik menulis, berdasarkan materi kelas menulis online, dan dari youtube. Lima hari kemudian, saya berhasil menghasilkan tulisan pertama saya di media online.
Agustus saya memulai kelas, dan menerima banyak materi melalui grup telegram. Tidak hanya memberi teori, mas mentor juga memberikan contoh tulisan-tulisan yang bagus dan tembus media online bergengsi. Di sesi praktik, tulisan saya dipuji, dikritik dan diberikan berbagai masukan berharga. Di sinilah proses menulis semakin ‘naik level’. Jadi saya tahu apa dan bagaimana menyusun tulisan yang enak dibaca, memiliki gagasan yang jelas dan unik.
Kemudian, nasehat yang berharga dan masih saya lakukan adalah, membiasakan menulis di facebook. Alasannya, tulisan di facebook mudah mendapatkan feedback. Selain itu, tulisan yang berkisar 300-400 kata, cukup mudah dikerjakan. Hal itu dapat menjadi latihan untuk “membentuk otot-otot” menulis.
ADVERTISEMENT
Perjalanan saya dalam menulis artikel seperti “from zero to hero”. Dari belum tahu banyak hal tentang menulis, sampai mampu menghasilkan berbagai jenis artikel. Total sudah ada belasan artikel yang tersebar di berbagai media. Kemudian, sesuai goal awal, tulisan saya akhirnya dimuat di media online nasional ternama.
Belajar online memiliki banyak kekurangan, tetapi bukan tanpa kelebihan. Buktinya, anak saya bisa mulai menulis dan berhitung walaupun belajar online. Kenapa? Karena punya ‘guru’ yang lumayan bisa diandalkan. Saya sendiri, dari belajar online, akhirnya memiliki kemampuan menulis artikel dan dimuat di media online ternama.
Jadi sebenarnya, bukan melulu ‘online’ nya yang disalahkan. Persoalannya, lebih kepada apakah murid punya mentor atau ‘guru’ yang baik, cara atau tekniknya efektif, dan apakah semangat belajar si murid tinggi? Belajar online, jika memiliki hal-hal tersebut pasti akan memberikan hasil yang menggembirakan.
ADVERTISEMENT
Walaupun sering diragukan, belajar online memiliki dua keunggulan lainnya. Yaitu, kita bisa belajar kapan saja dan di mana saja, dan mendorong kemandirian dalam belajar. Di masa depan, kemungkinan besar, belajar bukan lagi online atau offline tetapi keduanya. Yang dikenal dengan istilah blended learning.
Saat ini, karena kasus Covid-19 terus menurun, kelas tatap muka terbatas mulai dilakukan. Dari online ke offline, dari daring ke luring. "Jika belajar online aja bisa pintar, apalagi offline?” Jika nanti ternyata belajar offline tidak memberikan hasil yang diharapkan, pembelajaran tatap muka tersebut perlu dievaluasi.