Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Apakah Insinerator Jawaban Utama dari Permasalahan Sampah di Indonesia?
28 Maret 2023 8:36 WIB
Tulisan dari Andrea Christina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masalah sampah sudah tidak asing lagi di Indonesia, bahkan Indonesia menjadi negara yang mencanangkan adanya Hari Peduli Sampah Nasional . Ya, hari di mana rakyat Indonesia mengingat kembali musibah ledakan metana yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah di Jawa Barat. Musibah yang terjadi pada tanggal 21 Februari 2015 tersebut menewaskan 157 orang.
ADVERTISEMENT
Delapan tahun telah berlalu, tetapi solusi holistik dari strategi pemrosesan sampah nasional masih jauh dari harapan. Beberapa TPA bahkan sudah mengindikasikan kelebihan kapasitas, memberikan hitungan mundur menuju blokade total akibat saturasi fasilitas yang ada.
Polemik pun timbul mengenai apa yang akan terjadi ketika TPA penuh. Diskusi seringkali berujung pada kesimpulan normatif, mengembalikan tanggung jawab kepada pemerintah sebagai satu-satunya pemangku kepentingan yang terkait.
Saya bukan ahli lingkungan. Saya hanyalah seorang praktisi hidup minim sampah yang mengandaikan sebuah solusi ideal masalah darurat sampah di Indonesia. Saat ini saya bermukim di Marseille, sebuah kota di Prancis Selatan yang sering mendapat predikat minor dari sisi pengelolaan kebersihan di tingkat nasional Prancis. Cukup ironis mengingat Marseille adalah kota terbesar kedua di Prancis setelah Paris.
ADVERTISEMENT
Melalui gerakan Zero Waste Marseille, saya dan sejumlah warga Marseille berkesempatan mengunjungi fasilitas insinerator industrial yang mengolah sampah warga Marseille dan sekitarnya.
Pertama kali mendengar kata insinerator, saya membayangkan sebuah tungku besar di mana semua sampah dibakar sekaligus seperti halnya pembakaran sampah tradisional. Ternyata tidak sesederhana itu!
Fasilitas insinerator yang saya kunjungi dikelola oleh perusahaan EveRé dan berjarak 70 kilometer dari Marseille. Fasilitas ini memiliki kapasitas terpasang sebesar 400.000 ton per tahun atau setara dengan 1.100 ton per hari.
Setelah pengumpulan konvensional di tingkat kota, sampah di bak sampah hitam (alias sampah residu rumah tangga, di luar sampah daur ulang) ditransfer menuju fasilitas ini menggunakan kereta, alih-alih menggunakan truk. Penggunaan kereta bermaksud mengurangi sirkulasi 20.000 truk sampah di jalan per tahunnya, sekaligus mengurangi emisi gas buang dan risiko kecelakaan lalu lintas.
ADVERTISEMENT
Di fasilitas EveRé ini, sampah kota diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok yaitu kelompok residu daur ulang (seperti kemasan pembungkus, logam dan botol plastik), kelompok materi organik (seperti sisa makanan dan sampah kebun), dan kelompok materi bernilai kalor bakar (seperti lapisan plastik dan karton). Tujuannya adalah untuk mengarahkan materi-materi sampah ke proses yang tepat untuk memaksimalkan revalorisasi hasil akhir pengolahan.
Setelah pemilahan, kelompok residu daur ulang akan dikirimkan ke sentra daur ulang sesuai materi dasarnya, untuk pengolahan ulang sebagai bahan baku industri sesuai norma industri yang berlaku.
Materi organik akan dikirimkan ke instalasi fermentasi atau ‘’pencernaan’’ mekanika-kimia yang dimaksudkan untuk menghasilkan metana sebagai biogas. Gas metana yang dihasilkan secara terkendali digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik untuk menyalurkan +/- 200 GWh per tahun listrik ‘’hijau’’ ke jaringan listrik publik. Proses fermentasi ini akan menghasilkan kompos sebagai produk sampingan, yang disalurkan kepada konsumen agrikultur yang menjadi mitra pemerintah provinsi.
ADVERTISEMENT
Materi bernilai kalor bakar akan disalurkan sebagai bahan bakar utama ketel uap. Air yang digunakan dalam pembentukan uap merupakan air hujan yang ditampung secara khusus dan terintegrasi ke dalam kompleks pengolahan tersebut. Uap yang dihasilkan kemudian diumpankan ke sistem turbin yang menggerakkan generator pembangkit daya listrik. Residu dari proses konversi energi ini berupa materi padatan yang digunakan sebagai materi pelapis jalan raya.
Hal ini memberikan perspektif baru kepada saya mengenai revalorisasi sampah menjadi energi hijau dan produk sampingan yang bernilai tambah. ‘’Pemulung canggih!’’, pikir saya. Di sisi lain, saya mencatat bahwa instalasi ini memerlukan lahan, infrastruktur dan tentunya investasi yang tidak sedikit. Dari sisi ekologi, tetap ada emisi yang dihasilkan.
Di luar segala fitur canggih yang ada, saya menggarisbawahi salah satu informasi penting yang disampaikan yaitu bahwa kecanggihan proses pemilahan yang ada saat ini masih tidak bisa menandingi proses pemilahan yang dilakukan oleh masing-masing warga masyarakat di rumah. Sampah residu rumah tangga yang bercampur dengan limbah B3 seperti baterai, komponen elektronik, dan sebagainya, tentunya akan menghasilkan impuritas pada produk akhir pasca pengolahan.
ADVERTISEMENT
Setiap harinya, fasilitas insinerasi ini mampu mengolah 1.100 ton sampah. Mari kita bandingkan dengan kota Jakarta yang per harinya menghasilkan sekitar 7.200 ton sampah. Kesimpulannya, dengan asumsi timbulan sampah tidak berubah drastis dan teknologi pengolahan sampah sama canggih dengan fasilitas EveRé, dibutuhkan setidaknya 7 fasilitas pengolahan sampah serupa di kota Jakarta.
Terlebih lagi, Jakarta juga masih harus mengolah akumulasi sampah dari TPA yang ada, contohnya TPA Bantar Gebang yang hampir mencapai kapasitas maksimalnya sebesar 49 juta ton. Berdasarkan perhitungan kasar saya, jika insinerator sejenis digunakan untuk mengolah sampah yang sudah ada di TPA Bantar Gebang saja, tanpa pasokan sampah baru, akan dibutuhkan waktu sekitar 120 tahun untuk bisa memusnahkan seluruh sampah tersebut!
ADVERTISEMENT
Ini membawa saya ke refleksi selanjutnya; apakah hal ini mungkin direalisasikan di Jakarta? Jika jawabannya ya, berapa dana pajak yang harus dialokasikan? Saya berhenti sejenak, menyadari bahwa semua hal ini di luar kendali saya.
Kabar baiknya, sebagian besar sampah ke TPA dapat dihindari. Sampah organik yang mendominasi sebanyak 60 persen dari sampah rumah tangga di indonesia, bahkan dapat diolah sendiri di tempat tinggal kita masing-masing, baik dengan komposter atau biopori.
Sampah wadah makanan dapat dihindari dengan inisiatif menggunakan wadah guna ulang. Disadari atau tidak, sebenarnya masyarakat kita saat ini tidak berkesempatan untuk terus acuh terhadap masalah sampah, mengingat konsekuensinya semakin mendekati kehidupan kita sehari-hari.
Di Indonesia secara khusus, inisiatif-inisiatif ini memungkinkan interaksi yang lebih humanis kepada populasi pemulung, yang sejatinya bertujuan memanusiakan manusia secara adil dan beradab.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini saya buat sebagai seorang diaspora Indonesia yang berkesempatan mengamati rantai pengolahan sampah di sebuah negara maju; predikat yang menjadi cita-cita mulia Indonesia pada tahun 2045 nanti. Terlepas dari segala fasilitas yang tersedia, kota besar seperti Marseille masih bergulat dengan sampah yang berserakan di tempat umum akibat apatisme sebagian besar warganya. Ternyata, solusi teknologi tidak bisa menjadi satu-satunya jalan keluar sempurna dari problematika sampah. Perilaku masyarakat tetap memainkan peran kunci yang menjadi prasyarat.
Kembali ke polemik di awal tulisan ini, sesungguhnya langkah awal proses pengolahan sampah yang efektif ada di rumah kita masing-masing melalui inisiatif mengurangi konsumsi, memakai ulang, memilah sampah, mengompos dan banyak lagi. Mari kita mulai membangun solusi masalah nasional ini. Dari diri kita masing-masing, di rumah kita masing-masing.
ADVERTISEMENT