Konten dari Pengguna

Fenomena Doom Spending : Tekanan Sosial dan Krisis Konsumsi Generasi Z

Andrean Maulana
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada
7 Desember 2024 15:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andrean Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi Apa itu Doom Spending.   Sumber: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi Apa itu Doom Spending. Sumber: shutterstock
ADVERTISEMENT
Ketika Generasi Z menghadapi tekanan ekonomi, media sosial, dan kebutuhan akan pengakuan sosial, fenomena doom spending belanja impulsif yang dipicu oleh stres atau kecemasan menjadi jalan keluar yang menggoda. Namun, apakah kebiasaan ini hanya bentuk modern dari perilaku konsumtif lama, atau tanda bahwa kita berada di persimpangan krisis ekonomi dan budaya?
ADVERTISEMENT
Konsumsi Sebagai Jalan Pelarian atau Gaya Hidup Baru?
Ilustrasi Konsumsi Impulsive Gen Z Sumber: shutterstock
Menurut survei Qualtrics (2023) yang dilansir Psychology Today, 27% orang Amerika mengaku terlibat dalam perilaku doom spending. Di Indonesia, fenomena ini lebih mengkhawatirkan, khususnya di kalangan Generasi Z yang lahir antara 1997 dan 2012. Mereka tidak hanya harus menghadapi ketidakpastian ekonomi akibat pandemi, tetapi juga tekanan untuk "hidup sesuai standar" yang ditetapkan oleh media sosial.
Algoritma media sosial menciptakan echo chamber konsumsi, di mana iklan dan promosi terus-menerus menggiring mereka untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Fenomena fear of missing out (FOMO) dan you only live once (YOLO) memperburuk situasi, menjadikan konsumsi impulsif sebagai norma baru dalam hubungan sosial.
“Ini bukan sekadar belanja, ini tentang validasi sosial,” ungkap seorang pengguna TikTok yang mengaku membeli produk-produk tren demi tampil relevan di komunitasnya. Hal ini mengingatkan kita pada konsep ketertanaman (embeddedness) dalam sosiologi ekonomi: keputusan ekonomi tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu terhubung dengan konteks sosial dan budaya.
ADVERTISEMENT
Literasi Keuangan: Penyelamat atau Ilusi?
ilustrasi Literasi Financial penyebab Doom Spending Sumber: shutterstock
Sayangnya, rendahnya literasi keuangan di Indonesia—hanya 65,43% menurut survei OJK 2024 membuat Generasi Z sangat rentan terhadap jebakan konsumtif. Fitur buy now, pay later (BNPL) dan pinjaman online menawarkan solusi instan, tetapi menjadi bom waktu finansial.
Studi terbaru menunjukkan bahwa 37,17% kredit macet pinjaman online berasal dari Generasi Z dan milenial. “Generasi ini tumbuh dengan akses mudah terhadap teknologi, tetapi tidak dibekali pemahaman finansial yang memadai,” ujar seorang ekonom dari Universitas Indonesia.
Namun, fenomena ini lebih dari sekadar kurangnya pengetahuan. Dalam konteks antropologi, doom spending mencerminkan perubahan norma budaya di mana konsumsi menjadi cara utama untuk menunjukkan status sosial dan identitas.
Ekonomi Digital dan Kesenjangan Konsumsi
ADVERTISEMENT
Ilustrasi kemudahan akses dalam berbelanja sumber : shutterstock
Di sisi lain, tidak semua Generasi Z terjebak dalam lingkaran konsumsi impulsif ini. Generasi Z di perkotaan cenderung lebih rentan karena paparan media sosial dan kemudahan akses terhadap e-commerce. Sementara itu, Generasi Z di pedesaan lebih fokus pada kebutuhan dasar, mencerminkan dualisme ekonomi yang masih kuat di Indonesia.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa solusi tidak bisa satu ukuran ofsemua. Pemerintah harus merancang kebijakan yang menyesuaikan kebutuhan kelompok ini. Contohnya, memperluas akses literasi keuangan di daerah terpencil dan menciptakan program pengelolaan keuangan berbasis komunitas di perkotaan.
Solusi: Mengatasi Tekanan Ekonomi dan Sosial
Mengatasi look ko Ii membutuhkan pendekatan lintas disiplin. Berikut adalah langkah yang bisa diambil:
1. Edukasi Literasi Keuangan: Mulai dari tingkat sekolah hingga kampanye digital di media sosial. Pemahaman tentang risiko utang dan pentingnya investasi harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari Generasi Z.
ADVERTISEMENT
2. Kampanye Kesadaran Digital: Mendorong Generasi Z untuk lebih kritis terhadap konten media sosial yang sering kali memanipulasi keinginan mereka. Pemerintah dan platform media sosial dapat bekerja sama untuk menciptakan kampanye yang menekankan pentingnya konsumsi bijak.
3. Kebijakan Ekonomi yang Berkelanjutan: Program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Kartu Prakerja harus disertai edukasi finansial agar tidak hanya habis untuk konsumsi jangka pendek, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas finansial jangka panjang.
Belajar Hidup Bijak di Era Konsumerisme
Fenomena doom spending bukan hanya soal konsumsi berlebihan, tetapi juga tentang bagaimana tekanan sosial, ekonomi, dan teknologi membentuk perilaku manusia. Dengan memahami akar masalah dari perspektif ekonomi dan antropologi, kita dapat mulai membangun solusi yang lebih inklusif.
ADVERTISEMENT
Generasi Z adalah masa depan bangsa. Membantu mereka menavigasi tantangan ekonomi modern bukan hanya tentang menciptakan stabilitas finansial, tetapi juga membentuk budaya konsumsi yang lebih sehat. Apakah kita siap menghadapi tantangan ini?