Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
“Hati Rakyat” dalam Perkara Harvey Moeis
27 Februari 2025 9:00 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Andreas Calvin Tamara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Terdapat hal yang menarik dalam Putusan Harvey Moeis, yaitu munculnya “hati rakyat” sebagai salah satu pertimbangan dalam putusan. Majelis Hakim memperberat hukuman Harvey dengan alasan perbuatannya sangat menyakiti “hati rakyat”, yang mana ia melakukan korupsi disaat kondisi ekonomi rakyat sedang sulit.
ADVERTISEMENT
Hal ini menarik, karena pertimbangan emosional seperti “hati rakyat” jarang disebutkan secara eksplisit dalam putusan pengadilan. Di satu sisi, pendekatan ini dapat membuat rakyat merasa suaranya lebih didengar sehingga meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengadilan. Namun di sisi lain, pendekatan ini berisiko mendorong penal populism, di mana putusan lebih dipengaruhi oleh tekanan publik daripada prinsip hukum yang objektif.
Sebelum melangkah lebih jauh, berikut adalah duduk perkara putusan Harvey Moeis. Pada Kamis, 13 Februari 2025, Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (PT DKI) membacakan putusan banding atas nama Terdakwa Harvey Moeis. Putusan ini memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 70/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst yang sebelumnya menjatuhkan hukuman pidana selama 6 (enam) tahun dan 6 (enam) bulan kepada Harvey, diperbaiki menjadi hukuman penjara selama 20 (dua puluh) tahun atas keterlibannya dalam Tindak Pidana Penyuapan dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
ADVERTISEMENT
Partisipasi Publik dalam Pertimbangan Putusan
Secara tradisional, proses pemidanaan dianggap sebagai ranah para profesional, yakni para hakim yang berdasarkan kebijaksanaannya menentukan nasib seorang Terdakwa. Namun, belakangan pelibatan suara publik dalam proses pemidanaan semakin mendapat tempatnya dalam perdebatan hukum (Roberts & Keijser, 2014).
Dalam konteks Putusan Harvey Moeis oleh PT DKI, pertimbangan terhadap suara publik dinilai sebagai langkah progresif untuk mencapai keadilan substantif yang baik untuk ditiru dalam perkara-perkara lainnya. Namun demikian, pendekatan ini dapat memengaruhi objektivitas dan independensi hakim, sehingga perlu diterapkan dengan hati-hati.
Memperkuat legitimasi putusan
Putusan Harvey dapat dilihat sebagai upaya meningkatkan legitimasi Peradilan. Sebuah putusan dianggap memiliki legitimasi yang kuat jika memenuhi dua aspek: legitimasi normatif dan legitimasi empiris. Legitimasi normatif menilai apakah putusan telah menerapkan prinsip-prinsip hukum dengan baik, sedangkan legitimasi empiris berkaitan dengan bagaimana masyarakat menerima putusan tersebut (Roberts dan Plesničar, 2015).
ADVERTISEMENT
Mencapai legitimasi empiris dalam Sistem Peradilan di Indonesia merupakan tantangan tersendiri, karena secara umum, sistem di Indonesia sama sekali tidak melibatkan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan oleh Hakim. Hal ini berbeda dengan sistem hukum common law yang menggunakan sistem juri (masyarakat) dalam menentukan suatu putusan pengadilan.
Konsekuensi dari Sistem Peradilan yang diterapkan di Indonesia ini dapat memperkuat fenomena dikotomi “orang dalam” (insider) dan “orang luar” (outsider) dalam Sistem Peradilan (Bibas, 2006), di mana publik akan merasa semakin terasingkan dari Sistem Peradilan, serta membuat transparansi dan akuntabilitas Peradilan dipertanyakan.
Putusan Harvey Moeis kembali membuka ruang agar “hati rakyat” semakin didengar dalam putusan-putusan pengadilan. Menurut Roberts dan Plesničar (2015), mempertimbangkan pendapat publik dalam proses penjatuhan pidana dapat memberikan dampak positif terhadap legitimasi empiris suatu putusan.
ADVERTISEMENT
Risiko terhadap Independensi Hakim
Mempertahankan independensi hakim adalah tugas yang krusial bagi suatu Sistem Peradilan. Bersamaan dengan impartialitas, independensi hakim adalah prinsip paling penting dari Kekuasaan Kehakiman (Asshiddiqie, 2017). Sebagaimana dijelaskan oleh Ferejohn (1999), independensi kehakiman berarti bahwa pengaturan institusional terhadap hakim tidak berada di bawah pengaruh pihak manapun di luar Majelis Hakim.
Jika hakim terlalu mengikuti opini publik, independensinya dapat terkikis. Mengutip pendapat Hough & Roberts (1998), para hakim tidak kebal terhadap opini publik dan dapat terpengaruh oleh sikap masyarakat dalam menjatuhkan hukuman kepada seseorang. Hal ini berisiko memicu penal populism, yaitu kondisi di mana putusan lebih dipengaruhi oleh sentimen masyarakat daripada pertimbangan hukum yang objektif (Roberts & Keijser, 2014).
ADVERTISEMENT
Penguatan Amicus Curiae sebagai solusi
Untuk menjaga keseimbangan antara legitimasi empiris dan independensi hakim, peran amicus curiae (sahabat pengadilan) perlu diperkuat. Amicus curiae adalah sebuah mekanisme yang memungkinkan pihak di luar perkara (masyarakat) untuk memberikan perspektif dan pendapat mereka tentang suatu kasus (Kearney & Merill, 2000).
Sistem amicus curiae lebih objektif dibandingkan pendekatan yang dipraktikkan Majelis Hakim dalam Putusan Harvey Moeis. Ketika Majelis menggunakan istilah “hati rakyat”, sulit untuk menentukan siapa yang dimaksud dengan rakyat tersebut. Selanjutnya, jika kita melihat pada kondisi “ekonomi susah” yang disebutkan oleh Majelis Hakim, tidak ada data spesifik yang digunakan atau dirujuk oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan tersebut. Praktik seperti ini berpotensi menjadi tindakan kesewenang-wenangan karena majelis hakim dapat secara subjektif menggunakan istilah “rakyat” atau “kondisi rakyat” dalam menjatuhkan putusan tanpa alasan yang mendasar.
ADVERTISEMENT
Sistem amicus curiae, di sisi lain, mengharuskan suatu pihak untuk terlebih dahulu menjelaskan bahwa mereka memiliki kepentingan yang nyata dalam suatu perkara. Selain itu, pendapat mereka harus disampaikan kepada Pengadilan dalam bentuk tertulis. Sistem ini memperjelas siapa rakyat yang dimaksud dan apa yang diminta oleh kelompok masyarakat tersebut (Kearney & Merill, 2000).
Dengan demikian, perlu adanya penguatan peran amicus curiae dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Saat ini, belum ada kewajiban dari Pengadilan untuk mempertimbangkan amicus curiae dalam putusan (Pralampita, 2020). Jika dibandingkan, dalam Pengadilan HAM Eropa (European Court of Human Rights), keberadaan amicus curiae wajib dipertimbangkan dengan serius oleh Pengadilan. Hal ini pada akhirnya menciptakan putusan yang lebih dihargai oleh masyarakat tanpa harus mengorbankan independensi hakim dan tanpa menimbulkan potensi kesewenang-wenangan dari hakim (Van den Eyne, 2013).
ADVERTISEMENT
Rekomendasi
Sebagai rekomendasi, Penulis menyarankan agar Indonesia memperkuat sistem amicus curiae dalam Sistem Peradilan. Amicus curiae yang memenuhi syarat harus dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Apabila, Majelis Hakim tidak setuju dengan pendapat dalam amicus curiae tersebut, maka ketidaksetujuan tersebut haruslah memiliki argumen dan dijelaskan dalam putusan pengadilan.