Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pengakuan Dosa terhadap Pancasila
1 Juni 2018 0:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Andri Purnawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah falsafah hidup dan kepribadian bangsa Indonesia. Itu adalah remah-remah kenangan yang tertinggal dari bangku sekolah dulu. Bagaimana dengan kini?
Dengan yakin kuucap pengakuan iman pada Tuhan Yang Maha Esa, namun tanpa ragu kuteriakkan ‘Kafir!’ pada sesamaku. Ah, betapa tak Pancasilaisnya aku!
ADVERTISEMENT
Kunafikan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kuingkari kesetaraan manusia. Bagaimana mungkin dapat kukasihi dan kuhormati mereka yang berbeda denganku, sementara kuyakini mereka sebagai makhluk-makhluk najis yang dibenci Tuhan?
Tanganku mengepal sambil memekik persatuan Indonesia, namun sesungguhnya aku diskriminatif. Kubedakan dan kupilah-pilah orang berdasarkan agama, suku, ras, status sosialnya. Alih-alih bersatu, aku malah ingin berpisah, kalau perlu memecah belah dan membumihanguskan mereka!
Aku mengaku demokratis, namun rajin menggembar-gemborkan konsep mayoritas-minoritas. Dan jangan harap minoritas mendapat tempat untuk memimpinku!
Sesungguhnya aku tak paham, tak mengahayati dan mengamalkan “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan/permusyawaratan perwakilan.” Yang ada adalah aku menganut hukum rimba, yang meniscayakan prioritas bagi suara terbanyak dan terkuat.
ADVERTISEMENT
Hikmat dan nalar tak membimbingku, melainkan nafsu dan arogansi. Musyawarah bagiku hanyalah formalitas, sebab kebenaran itu mutlak dan tak perlu dinegosiasikan!
Aku sibuk berseru: Keadilan! Namun memperkaya diri sekaya-kayanya, menghisap sumber daya sebanyak-banyaknya bersama gerombolan korporasiku, sambil sibuk membangun seribu istana yang tak pernah cukup memuaskan ketamakanku.
Sementara di sudut-sudut remang negeri ini masih ada orang yang rela menjadi apa saja–termasuk menjual diri dan kejujurannya–hanya untuk mendapat sesuap nasi bertabur garam.
Oh, betapa tak Pancasilaisnya aku. Seharusnya dengan merengkuh Pancasila kuabdikan hidupku pada Tuhan yang menghargai manusia dan peradaban. Dengan Pancasila aku menjadi punggawa keharmonisan di tengah perbedaan.
Dengan Pancasila aku turut mencari hikmat dalam musyawarah mufakat–dan bukan berambisi mendominasi. Dengan Pancasila aku tak lagi bungkam jika kesenjangan.
ADVERTISEMENT
Ternyata Pancasila masih sebatas retorika basi bagiku. Ampunilah aku saudaraku! Semoga engkau lebih Pancasilais dibandingkan diriku. Selamat hari Pancasila!
Oleh: Pdt. Andri Purnawan