Tanya yang Menganga tentang Nasib Anak-anak Teroris

Konten dari Pengguna
19 Mei 2018 1:57 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andri Purnawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Doa bersama di GKI Diponegoro Surabaya (Foto: kumparan/Ardhana Pragota )
zoom-in-whitePerbesar
Doa bersama di GKI Diponegoro Surabaya (Foto: kumparan/Ardhana Pragota )
ADVERTISEMENT
Malam ini aku bersyukur menjadi bagian dari penggerak acara bertajuk “Suroboyo Guyub” di GKI Diponegoro. Aksi yang dikerjakan bersama oleh Majelis dan Jemaat GKI Diponegoro, Roemah Bhinneka dan Jaringan Gusdurian ini terbilang sukses. Setidaknya tujuan membangkitkan kerukunan dan menyeruan pesan perdamaian tergapai dengan manis.
ADVERTISEMENT
Di luar ekspektasi, berdasarkan absensi ada 1.719 orang, dari 102 organisasi kemasyarakatan lintas iman (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan Penghayat), Komunitas akademik, Jurnalis, Polri, Marinir, PGIS Kota Surabaya, IKUB Jatim, FKUB Surabaya, dan sebagainya.
Mereka hadir dan menghangatkan suasana. Ingatan traumatik dan tangis keprihatinan digantikan dengan kebersamaan yang cair dan penuh cinta.
Di “Suroboyo Guyub” ada simpati, doa, dukungan terhadap para korban terorisme. Ribuan orang bersatu dengan pekik, “Suroboyo Wani!”--juga “Teroris Jancuk!”
Ada juga seruan untuk bangkit dan bergandengan tangan dalam perdamaian dan kasih. Ada ajakan untuk mengampuni. Ada keyakinan bahwa Indonesia terlalu besar untuk dirusak oleh peristiwa terorisme. Itu sungguh mengharukan. Syukur kepada Allah atas keberhasilan acara itu.
ADVERTISEMENT
Namun syukur yang haru biru itu terjeda selepas acara, ketika seorang ibu, guru sekolah minggu sekaligus dokter yang bekerja di Departemen Kesehatan bernama Fitri (Vita) menghampiriku dan mengungkap kegalauan yang mengusik nuraninya.
Doa bersama di GKI Diponegoro Surabaya (Foto: kumparan/Ardhana Pragota )
zoom-in-whitePerbesar
Doa bersama di GKI Diponegoro Surabaya (Foto: kumparan/Ardhana Pragota )
Di antara kesibukan banyak orang berfoto, bersalaman dan merayakan kebersamaan, Fitri mulai bersaksi.
Di satu sisi ia adalah korban, bahkan ibunya mengalami trauma sehingga harus pulang sementara ke Yogyakarta untuk menenangkan pikiran. Ia sendiri masih terguncang dengan peristiwa ledakan di GKI Diponegoro yang merenggut nyawa sang pelaku dan anak-anaknya.
Namun di sisi lain perannya sebagai tenaga kesehatan ‘mengamanatkan’ ia untuk turut merawat dan mendampingi para korban terorisme ini.
Di antara para korban itu Dr Fitri juga tengah merawat dan mendampingi anak-anak teroris yang terluka--namun tak terenggut nyawanya. Ia sangat miris melihat nasib anak-anak itu. Mereka terluka secara fisik, mental dan spiritual.
ADVERTISEMENT
Orang tua yang melibatkan mereka dalam aksi terorisme telah tewas, sementara anak-anak itu tergolek dalam keterasingan tanpa simpati. Mereka harus menanggung beban moral dan sosial seumur hidup dan tengah mendapati kenyataan penolakan yang sangat telak.
Jasad orang tuanya 'terlantar'. Masyarakat menolak tegas untuk menguburkan teroris. Langit memalingkan muka, bumi tak rela dinajiskan dengan jasad seorang pelaku teror.
Sementara itu, beban berat akan terus menghantui anak-anak yang (dipaksa) terlibat dalam tindakan teror tersebut. Anak teroris adalah teroris! Cap itu tak mungkin dapat dihapus dalam sejarah kehidupan mereka.
Ilustrasi anak anak bomber. (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak anak bomber. (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Fitri menggungat, "aliran cinta dan doa tanpa henti kepada korban ledakan. Tetapi bagaimana dengan anak-anak teroris itu? Mereka tergolek sendiri, sepi, terasing, terancam teror seumur hidup mereka."
ADVERTISEMENT
Dengan mata menyala dan berlinang air mata ia melanjutkan gugatan nuraninya, “Pak Pendeta mohon jangan lupakan mereka dalam doa. Tolong doakan dan pikirkan nasib mereka! Kita akan segera pulih, ada banyak dukungan, karangan bunga, dan puisi cinta bagi kita. Sementara bagaimana nasib anak-anak teroris itu?”
Pertanyaan itu begitu memukulku. Seolah haru dan hangat acara Surabaya Guyub itu lenyap seketika dalam kehampaan. Apakah gempita nyanyian Indonesia Raya, Bahasa Cinta, dan Satu Nusa Satu Bangsa itu bisa menyelamatkan nasib anak-anak malang tersebut?
Tanya yang menganga itu membutuhkan sebuah jawaban!
Oleh: Pdt Andri Purnawan, Anggota Departemen Oikumene dan Kemasyarakatan GKI (SW) Jawa Timur