Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Rohingya: Antara Simpati dan Antipati
21 Desember 2023 12:20 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Andri Firmanda Ramadhana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang dikenal sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Selain itu, Indonesia juga memiliki sejarah panjang dalam menampung pengungsi dari berbagai negara yang mendapatkan perlakuan sama, termasuk Rohingya.
Namun, belakangan ini, sikap masyarakat Indonesia terhadap Rohingya mulai berubah. Jika sebelumnya pada tahun 2015, masyarakat Indonesia menyambut Rohingya dengan simpati dan solidaritas antar sesama, kini pada tahun 2023, mereka menunjukkan antipati dan penolakan.
Apa yang menyebabkan perubahan sikap masyarakat Indonesia terhadap Rohingya? Bagaimana media berperan dalam membentuk persepsi dan sikap masyarakat terhadap Rohingya? Bagaimana Rohingya berekspresi dan berkomunikasi melalui media dan menyuarakan aspirasi dan identitas mereka?
Interaksi Simbolik: Teori Media dan Budaya
Interaksionisme simbolik adalah teori yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya melalui simbol-simbol yang memiliki makna tertentu. Simbol-simbol ini dapat berupa bahasa, gestur, tanda, atau objek. Makna simbol-simbol ini tidak bersifat tetap, melainkan bersifat dinamis dan diproduksi secara bersama-sama oleh para aktor sosial dalam situasi tertentu.
ADVERTISEMENT
Teori ini dikembangkan oleh George Herbert Mead, seorang filsuf dan sosiolog Amerika, yang mengkritik pandangan behaviorisme dan idealisme yang mengabaikan peran agensi manusia dalam menentukan Tindakan dan perilaku mereka. Menurut Mead, manusia tidak hanya bereaksi secara pasif terhadap rangsangan eksternal atau budaya, melainkan juga berpikir secara reflektif dan kreatif terhadap situasi yang sedang dihadapinya.
Manusia juga memiliki kemampuan untuk memandang diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain, yang disebut sebagai “the generalized other”. Dengan demikian, manusia dapat membentuk konsep diri, identitas, dan nilai-nilai yang menjadi dasar tindakan dan perilaku mereka.
Rohingya di Indonesia: Dari Simpati ke Antipati
Pada tahun, 2015, Indonesia bersama dengan Malaysia dan Thailand berupaya untuk menyelamatkan ribuan Rohingya yang terdampar di laut akibat ditolak oleh pemerintah Myanmar dan Bangladesh. Pada saat itu, masyarakat Indonesia menunjukkan rasa simpati dan solidaritas yang begitu tinggi terhadap pengungsi ini. Mereka menyumbangkan bantuan, menyediakan tempat tinggal, dan memberikan dukungan moral kepada Rohingya.
ADVERTISEMENT
Bahkan media juga meliput secara luas dan mendalam terhadap kondisi dan kisah-kisah Rohingya yang membangkitkan empati dan kesadaran masyarakat terhadap nasib mereka. Namun, belakangan ini, sikap masyarakat Indonesia terhadap pengungsi Rohingya mulai berubah, hal ini terlihat dari gelombang kedatangan Rohingya yang terjadi sejak November 2023.
Kedatangan yang semakin masif ini menimbulkan reaksi negatif dari sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di Provinsi Aceh, tempat kebanyakan pengungsi Rohingya berlabuh. Mereka menganggap bahwa Rohingya adalah beban, masalah, dan ancaman bagi Indonesia. Mereka juga menuduh bahwa Rohingya adalah korban perdagangan manusia, perilaku kriminalitas, dan penyebab konflik sosial.
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor lain yang paling mempengaruhi mengapa masyarakat Indonesia mengalami perubahan sikap terhadap pengungsi Rohingya adalah peran media dalam membentuk persepsi dan sikap masyarakat terhadap Rohingya. Media adalah salah satu sumber informasi utama termasuk isu Rohingya. Media juga merupakan sarana bagi masyarakat untuk mengekspresikan pendapat dan sikap mereka terhadap isu-isu tersebut.
Dalam kasus Rohingya, media Indonesia lebih cenderung memberikan liputan yang negatif, sensasional, dan bias terhadap pengungsi Rohingya seperti jumlah yang terus bertambah, dugaan mereka sebagai korban perdagangan manusia, dan perilaku menyimpang dan meresahkan warga sekitar, sehingga dapat menimbulkan menimbulkan ketakutan, kebencian, dan prasangka terhadap negatif.
Media Indonesia juga jarang memberikan ruang bagi suara dan ekspresi untuk Rohingya, apalagi terkait peran dan tanggung jawab komunitas Internasional, termasuk pemerintah Myanmar, dalam menyelesaikan krisis kemanusiaan yang telah diciptakannya. Dengan demikian, yang pada awalnya masyarakat Indonesia mendukung dan rela untuk membantu Rohingya atas dasar sesama manusia dan sesama muslim, kini rasa simpati dan empati tersebut berubah menjadi antipasti.
ADVERTISEMENT
Peran media Indonesia telah berkontribusi dalam membentuk persepsi dan sikap masyarakat Indonesia ke arah negatif dan antipasti terhadap pengungsi Rohingya.
Rohingya di Media: Eksistensi dan Resistensi
Meskipun media Indonesia cenderung memberikan liputan yang negatif dan bias terhadap Rohingya, bukan berarti mereka tidak memiliki cara untuk mendapatkan ruang berekspresi dan berkomunikasi melalui media. Rohingya juga memiliki aktor sosial yang memiliki agensi, identitas, dan aspirasi, yang dapat mereka sampaikan melalui simbol-simbol yang mereka pilih dan produksi. Salah satu media yang mereka gunakan adalah media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube.
Melalui media sosial, Rohingya menyuarakan kondisi, pengalaman, dan harapan mereka kepada dunia. Sama halnya dengan masyarakat di Indonesia, pengungsi Rohingya juga dapat melakukan aktivitas di media sosial seperti membagikan foto, video, cerita, dan opini mereka tentang situasi yang sedang dihadapi, baik di Myanmar maupun di negara-negara lain. Mereka juga dapat mengungkapkan identitas, budaya, dan agama mereka sebagai Rohingya, yang sering diabaikan atau ditolak oleh media mainstream.
ADVERTISEMENT
Melalui media, sosial Rohingya juga dapat berinteraksi dan berdialog dengan berbagai pihak yang terkait dengan isu mereka, seperti komunitas internasional, LSM, aktivis, jurnalis, akademisi, dan masyarakat umum. Selain itu mereka juga memanfaatkan media sebagai wadah untuk meminta bantuan, dukungan, dan advokasi dari berbagai pihak yang mau membantu mereka.
Dengan demikian, media sosial juga telah menjadi media yang memberikan eksistensi dan resistensi tanpa terkecuali termasuk kepada Rohingya. Media sosial memberikan ruang bagi Rohingya untuk menjadi subjek dan bukan objek dalam narasi media, sehingga tentunya ini memberikan kesempatan dan kekuatan yang besar bagi mereka untuk menjadi aktif dan bukanlah pasif dalam komunikasi di media.