Konten dari Pengguna

Cinta, Kehilangan dan Koran Minggu

Junius Andria
Halo, saya Junius Andria, Founder dari komunitas literasi bernama Kampus Cerita di Kutai Timur. Saya lulusan Ilmu Komunikasi Univesitas Mulawarman-Kalimantan Timur.
31 Oktober 2024 10:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junius Andria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
dockumen pribadi, 'Karachi' by Dall-E
zoom-in-whitePerbesar
dockumen pribadi, 'Karachi' by Dall-E
ADVERTISEMENT
Akhir pekan adalah waktu berharga untukku dan Arham. Di tengah kesibukan bekerja, kami hanya bisa benar-benar bertemu dan berbincang di hari Minggu. Setiap Minggu pagi, Arham selalu mencari koran, membolak-balik halamannya dengan mata berbinar. Aku tahu, ini bukan sekadar kebiasaan membaca. Di antara lembaran koran itulah, Arham bisa merasakan hidup yang tenang dan rutin, sesuatu yang mungkin jarang ia temukan di hari-hari sibuknya.
ADVERTISEMENT
“Apa korannya sudah datang?” tanya Arham dari ruang tamu.
“Ini, baru saja diantar,” jawabku sambil menyodorkannya, memperhatikan wajahnya yang tampak lelah.
Kami terbiasa berbagi cerita dari Koran Hari Minggu. Aku menyukai cerita pendek dan artikel wisata, sedangkan Arham dengan berita dunia, meski sebagian besar isinya berisi kabar yang kadang membuatnya geram.
Pada suatu hari Minggu, Arham menatap halaman depan koran dengan kepala berkerut.
“Banyak berita buruk di sini,” ucapnya singkat.
Aku mendekat, mencoba melihat apa yang membuatnya tampak begitu stres.
“Sepertinya hidup ini rentan sekali, ya?” gumamnya pelan. “Kadang aku takut tidak bisa melindungimu, terutama di tengah kesibukanku bekerja, belum lagi, kondisi dunia benar-benar tidak baik-baik saja.” Ungkap Arham kecut.
ADVERTISEMENT
Rasanya dunia ini penuh berita buruk. Berita memanasnya geopolitik hingga perubahan iklim menjadi headline news dimana-mana. Belum lagi, masalah-masalah internal di tempat kerja yang kami hadapi akhir-akhir ini.
Aku menggenggam tangannya, merasakan getaran ketakutan yang ia sembunyikan.
“Sayang, kamu selalu berpikir berlebihan. Tapi, apapun yang terjadi kita hadapi bersama.”
“Apapun?” Katanya, meminta ketegasan.
“Apapun.” Kataku meyakinkan.
“Aku mencintaimu.” Arham tersenyum, tetapi tatapannya tak bisa menghapus kerisauan di matanya.
Aku melangkah duduk ke pangkuannya dan mencium bibirnya. Kami menghabiskan Minggu itu dengan bermesraan diatas sofa.
...O0O..
Beberapa minggu kemudian, kami menerima undangan makan malam dari kerabat dekat. Arham mengenakan kurta dan aku mengenakan salwar kamis seperti saran Arham.
“Kita perlu membawa hadiah.” Ujarku.
ADVERTISEMENT
“Apa yang sebaiknya kita bawa?” Tanyanya.
“Bagaimana dengan buah-buahan?” tawarku.
“Tapi itu jarang dilakukan di sini.” Jawabnya, sambil berpikir sejenak.
“Baiklah, kita beli kue saja,” putusku sambil tersenyum.
Arham mengemudikan sedan kami ke salah satu toko kue terbaik di kota. Kami memilih dua potong cheesecake.
Jalanan malam begitu padat. Berbagai macam kendaraan memenuhi jalan, tanpa terkecuali kuda atau keledai yang menarik gerobak. Benar-benar kota yang tak tertebak.
Dalam kemacetan panjang, aku mencoba menenangkan diri dengan membaca koran digital, berusaha melupakan waktu yang berlalu sia-sia. Selagi diluar sana, jalanan padat merayap dengan bunyi klakson bersahut-sahutan, mirip suara burung-burung liar yang terjebak di belantara gedung-gedung pencakar langit, Karachi.
Tiba-tiba saja, dikejauhan terdengar suara tubrukan keras memekakan telinga. Aku dan Arham terperanjat dan hampir terhuyung menabrak dasbord. Suara sirene ambulan mulai memecah padatnya jalanan malam. Semua mobil mulai bergerak menepi, memberi jalan pada iringan darurat yang melintas. Aku dan Arham saling bertatapan.
ADVERTISEMENT
“Sepertinya itu kecelakaan.” Bisikku, gelisah. Di kota besar ini, hampir setiap saat ada berita pengeboman ataupun serangan teror dari kelompok militan tertentu, yang kerap mengklaim tindakan mereka sebagai jihad.
Sejenak, mata kami tertuju pada sedan Corolla putih yang ringsek di bagian depan, dinaikkan ke truk derek. Bersama sirine ambulan yang meraung, kami bergandengan erat.
“Itu mirip mobil kita, ya?” Tanya Arham, suaranya terdengar tegang. Kami tak bisa berpaling, seolah-olah kecelakaan itu menarik kami dengan keintiman yang asing. Aku kehilangan jawaban.
...O0O..
Koran Minggu datang, tetapi aku tidak mendapati Arham di ruang tamu seperti biasa. Aku mencarinya dan menemukannya berdiri di dekat jendela, dengan tatapan kosong yang menembus ke luar."
ADVERTISEMENT
“Sayang, ini koranmu.” Sapaku lembut, menyadarkannya dari lamunannya.
Ia menatap koran itu dengan cemas, lalu duduk dan mulai membolak-balik halaman, merasa tak tenang. Di halaman tengah, ia mendapati berita yang mengabarkan kecelakaan maut di jalan utama tadi malam. Arham pun mulai terdiam."
Aku pun ikut menatap koran itu, dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Di sana ada foto sedan Corolla putih yang ringsek, dengan nomor pelat yang sangat kukenal. Aku tertegun tak percaya. Tidak mungkin kan, ada mobil yang berpelat nomor sama?
“Itu… itu mobil kita, kan?” bisikku dengan suara bergetar.
Arham mengangguk pelan, tetapi tidak ada ketakutan di wajahnya. Seolah-olah, dia sudah mengtahui semuanya. Kami berpandangan, dalam keheningan yang menggantung, merasakan bahwa mungkin, hidup ini telah melewati batas yang tak kami sadari. Bahwa, aku dan Arham kini hanya sebatas energi.
ADVERTISEMENT
Koran Minggu terlepas dari tangan Arham, dan ia memelukku erat. Kami menangis sesenggukan. Dalam dekapannya, aku mendengar detak jantungnya. Namun, di dalam keheningan itu, aku bertanya-tanya apakah yang kudengar hanyalah gema dari suatu kenangan yang telah lalu.
...O0O..