Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Guru dari Kampung Wulung
25 Januari 2025 14:17 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Junius Andria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aku tertegun saat desas-desus teman-teman mengenai guru baru dari Kampung Wulung ternyata benar. Senin, sebelum upacara bendera rutin, semua murid SD Negeri Lubung mulai memadati lapangan. Semua sudah berbaris rapi. Seolah-olah Senin adalah hari yang sakral, yang tidak boleh dilewatkan tanpa upacara. Dalam diam, aku mencuri pandang, mencari-cari guru baru yang katanya akan menggantikan Bu Ratna, guru Bahasa Inggris kami yang lama.
ADVERTISEMENT
Senin pagi adalah jadwal pelajaran Bahasa Inggris. Guru baru itu sudah memasuki kelasku. Di sinilah aku bertemu guru baru dari Kampung Wulung. Tubuhnya gemuk dan wajahnya penuh riasan tebal yang tampak mencolok. Kelopak matanya dihiasi bayangan kuning emas dan bibirnya berkilau oleh gincu merah. Anehnya, kelas menjadi gaduh karena teman-teman sekelasku berbisik-bisik. Aku tetap diam di tempatku, berpura-pura tidak tahu.
Sementara teman-temanku terus membicarakan desas-desus tentang Kampung Wulung, yang sering kali menjadi perbincangan hangat orang-orang di kampung. Katanya, Kampung Wulung adalah tempat “perempuan ndak benar”. Perempuan nakal yang suka merebut suami orang. Kampung wanita penghibur.
Guru baruku mulai memperkenalkan dirinya sebagai Bu Catur. Catur Lembayung. Sungguh nama yang indah dan anggun. Kelas pun kembali bergemuruh saat Bu Catur mengajari kami mengucapkan nama-nama hewan dan buah-buahan dalam Bahasa Inggris. Bu Catur juga menunjukkan lebih dari 30 gambar peraga, yang membuat kami semakin bersemangat belajar. Kami saling berlomba menebak gambar-gambar itu dalam Bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, desas-desus tentang Kampung Wulung pun tak pernah terdengar lagi di kelasku. Yang tersisa hanyalah kekaguman kami pada Bu Catur. Berkat Bu Catur, aku dan teman-temanku jadi menyukai pelajaran Bahasa Inggris. Kami begitu menanti-nantikan pelajaran itu setiap minggunya.
Meskipun saat aku pulang, desas-desus tentang Kampung Wulung masih menjadi perbincangan hangat ibu-ibu yang kebanyakan menceritakan tragedi memalukan hingga memilukan. Seperti kejadian Pak RT yang tertangkap basah berzina di Kampung Wulung atau Bu Misirah yang telah menjadi istri kedua Pak Yaqub, juga berasal dari Kampung Wulung.
Begitu banyak peristiwa tidak bermoral terjadi di sana. Apalagi saat sebagian laki-laki beristri dari kampungku terseret ke dalam beberapa peristiwanya. Sehingga orang-orang dewasa di tempatku menjuluki Kampung Wulung sebagai kampung tempat "perempuan ndak benar". Meskipun aku tidak begitu mengerti, aku tahu bagaimana artinya bagi Sari, anak Pak RT yang jadi teman mainku. Dia menjadi sangat tertutup dan tidak lagi main bersamaku sejak ayahnya dipergoki berzina di Kampung Wulung.
ADVERTISEMENT
Tetapi benarkah perempuan-perempuan yang tinggal di Kampung Wulung semuanya adalah "perempuan ndak benar"? Benarkah perempuan itu termasuk Bu Catur, guru Bahasa Inggrisku? Sedangkan dia sudah berhasil mendapat tempat istimewa di hatiku. Darinya aku jadi sangat menyukai Bahasa Inggris. Dia juga selalu menjawab setiap pertanyaanku dengan senyum dan tidak ragu meminjamkan kamus Bahasa Inggris bergambar untukku.
Suatu kali setelah pelajaran Bahasa Inggris berakhir.
“Nun, kamu boleh datang ke rumah Ibu, jika mau belajar Bahasa Inggris lebih banyak,” katanya dengan suara lembut.
“Memang boleh, Inun ke rumah Bu Catur?”
“Ya, boleh dong, kenapa tidak?” ujarnya lagi.
“Inun akan meminta izin Ibu dulu, ya Bu?”
“Tentu saja.”
Dadaku bergemuruh, seperti ada sesuatu yang membuatnya gugup. Apa benar aku bisa belajar di rumah Bu Catur, sedangkan orang tuaku sangat melarangku menginjakkan kaki di Kampung Wulung.
ADVERTISEMENT
“Apa, kamu mau belajar Bahasa Inggris ke Kampung Wulung?” timpal ibuku dengan suara setengah menjerit.
“Iya, Bu. Inun mau belajar di tempat Bu Catur.”
“Kamu tahu tidak, Kampung Wulung itu banyak demitnya. Kamu nanti bisa dirasuki demit dan ikut jadi "perempuan ndak benar." Teriaknya lagi.
“Perempuan tidak benar" itu apa, Bu?” Tanyaku, spontan.
Serta-merta ibuku terdiam memandangiku lekat-lekat, seperti hendak mengeluarkan kata-kata namun terhirup lagi.
“Pokoknya kamu tidak boleh ke sana!” Ibu menutup percakapan kami.
...O0O...
Hari berlalu, namun pertanyaan itu masih menggantung. Bagaimana aku bisa memahami berbagai macam pikiran orang dewasa? Bagaimana mereka membuat konsep "perempuan ndak benar"? Apakah mereka yang sudah berzina dengan Pak RT atau Bu Misirah yang sudah menjadi istri kedua Pak Lurah? Bagaimana dengan Bu Catur? Kenapa ibuku tidak membiarkan aku datang ke rumahnya, sementara dia diizinkan datang ke sekolah dan menjadi guruku? Apa hanya karena tempat tinggal Bu Catur di Kampung Wulung, mereka mengira Bu Catur "perempuan ndak benar"?
ADVERTISEMENT
Suatu malam, Pakdhe Puji mengadakan hajatan pernikahan putri sulungnya, Mbak Nadia. Aku tidak sabar untuk menyaksikan paguyuban campur sari di malam hari. Hiburan-hiburan seperti ini memang sangat top di kampung kami. Saat suara teriakan memanggil nama Bu Catur, aku terkejut. Kenapa Bu Catur ada di sini dan menjadi penyanyi? Meski sedikit rikuh, aku pun mencari tempat duduk dan menyaksikan Bu Catur bernyanyi dengan suara merdu. Tubuhnya yang tambun, dibalut gaun berkilauan. Riasannya pun jauh lebih tebal dari biasanya. Aku terpesona, tetapi juga merasakan perasaan tidak nyaman. Saru.
Malam semakin gelap, tapi aku masih bertahan di sana mendengar Bu Catur bernyanyi. Panggung yang sebelumnya sepi menjadi riuh. Beberapa laki-laki naik ke panggung, berjoget dengan Bu Catur, tanpa lupa memberikan uang sawer. Uang sawerannya pun disimpan di dada Bu Catur. Tua-muda, memberikan saweran pada Bu Catur dengan cara seperti itu.
ADVERTISEMENT
Aku menjadi sangat canggung. Kenapa Bu Catur boleh diperlakukan begitu? Bahkan tak sedikit yang mencoba mencium Bu Catur atau membiarkan tangan mereka menyentuh Bu Catur. Tapi, Bu Catur tampak tak keberatan dan tetap sabar diperlakukan demikian. Dia tetap bernyanyi dan meliukkan badan, seperti tidak ada keganjilan.
Dalam kerumunan laki-laki yang asyik menari di atas panggung, aku menyadari ada sosok yang sangat aku kenal. Laki-laki itu seperti tak menyadari keberadaanku, ikut berjoget ria dengan Bu Catur. Hatiku mencelos. Tidak mungkin laki-laki yang aku panggil Bapak ikut berjoget dengan Bu Catur.
“Bapakmu ikut joget, Nun,” ungkap Dista dengan suara geli. Hati kecilku berdesir. Apakah ini yang dimaksud Ibu dengan "tidak benar"?
ADVERTISEMENT
Kejadian setelahnya begitu cepat. Entah dari mana ibuku bisa naik ke atas panggung, melabrak dan menyeret Bapak di depan umum. Sebuah kursi terhempas ke lantai, disusul teriakan dan keributan terjadi. Ibuku membuat Bapak babak belur. Aku hanya bisa menangis dalam pelukan Dista, tak ingin mengingat-ingat kejadian ini sepanjang hidupku. Aku memejamkan mata, membiarkan keributan itu menghilang dengan sendirinya.
Keesokan harinya di kelas, aku mendekati Bu Catur saat jam pelajaran Bahasa Inggris berakhir.
“Bu, maafkan Inun. Inun nggak bisa pergi belajar ke rumah Bu Catur,” kataku sambil mengembalikan kamus Bahasa Inggris bergambar padanya.
Bu Catur tersenyum, meskipun aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. “Tidak apa-apa, Nun. Belajar di sekolah saja sudah cukup.”
ADVERTISEMENT
“Bu, apakah Ibu "perempuan ndak benar"?” tanyaku dengan perasaan hancur.
Bu Catur terdiam sejenak, lalu berlutut di depanku. “Apa menurutmu Ibu seperti itu, Inun?”
Aku menggeleng. “Tidak, Bu,” ujarku lirih.
“Kalau begitu, itu sudah cukup bagi Ibu,” jawabnya sambil menepuk pundakku.
...O0O...